ABNnewes – Musisi dan komposer progresif Fadhil Indra resmi meluncurkan album solonya bertajuk Bermusik Untuk Bangsa, sebuah karya yang menandai kebangkitan semangat nasionalisme musikal di Indonesia.
Lebih dari sekadar album, Bermusik Untuk Bangsa menjadi pemantik gerakan dan ajakan bagi para musisi untuk menjadikan Indonesia sebagai sumber inspirasi, identitas dan energi kreatif bersama.
“Gue pengen banget Indonesia bisa jadi inspirasi dunia. Lihat ke sini deh, lihat Indonesia. Lu bikin lagu, bunyi, gambar semuanya bisa jadi inspirasi,” katanya, Kamis, 23 Oktober 2025.
Gagasan Besar
Rencana membuat album solo telah muncul sejak 2004, namun baru terwujud setelah pandemi CovidI-19 memberi ruang bagi Fadhil untuk kembali berkarya dari nol. Bersama gitaris Benny Kurniawan (Montecristo), ia mulai merancang Bermusik Untuk Bangsa di masa pandemi dan menuntaskannya pada awal 2025.
Dalam enam bulan, proyek yang semula berupa mini album berkembang menjadi album penuh. Momentum AMI Awards 2025 dan semangat Sumpah Pemuda mendorong percepatan produksinya, meski seluruh biaya dibiayai mandiri.
Album ini terdiri dari sembilan lagu yang terbagi dalam dua babak besar: Propaganda dan Bermusik untuk Bangsa. Lagu-lagu seperti “Kita” dan “Big Bangsaku” memancarkan optimisme dan cinta tanah air, sementara “GriP Loh Jinawi” menghadirkan keindahan alam Nusantara dalam bentuk instrumental.
Sedangkan “Meet The GIANT” menjadi lagu manifestasi kebanggaan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Melalui album terbarunya, Fadhil sebagai penyanyi, pemain kibord, dan piano mengajak kita merenungkan kembali makna bermusik: bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk tanah air.
Album ini menjadi simbol bahwa musik progresif Indonesia bisa berbicara lantang tentang jati diri, sejarah dan semangat kebangsaan.
Dan pada 28 Oktober 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, Fadhil Indra akan membawakan karya-karya dari album ini secara langsung di Museum Stovia, Jakarta — tempat lahirnya semangat persatuan bangsa.
Acara ini terbuka untuk umum.
Mari hadir dan ikut merasakan getaran musik yang lahir dari cinta pada negeri.
Bermusik untuk Bangsa
Peluncuran Bermusik Untuk Bangsa bersamaan dengan inisiatif sosial, yang menyerukan kolaborasi lintas musisi dan daerah untuk menciptakan karya yang merepresentasikan semangat Indonesia. “Kalau ngerjain sesuatu untuk bangsa, itu harus ramai-ramai, gak bisa sendiri-sendiri,” tegas Fadhil.
Pemilihan hari Sumpah Pemuda sebagai momentum rilis juga sarat makna. Salah satu lagu dalam album ini, “Warnerin” (Warga Negara Republik Indonesia), diangkat langsung dari teks asli Sumpah Pemuda yang ia beri melodi baru.
“Liriknya gue ambil kata per kata. Lagu ini jadi simbol bahwa musik bisa menghidupkan lagi semangat persatuan,” ujarnya.
Dari lagu itu pula muncul ide membuat merchandise tematik dan disambut antusias oleh publik. “Di balik lagu itu, sejatinya kita sudah mengaku bertumpah darah yang satu. Dari situlah gerakan ini dimulai,” katanya.
Diplomasi Budaya
Inspirasi nasionalisme dalam Bermusik Untuk Bangsa berakar dari pengalaman pribadi Fadhil saat tur bersama Discus di luar negeri.
“Waktu itu di AS, gue lihat sendiri orang ngejek presiden kita. Dari situ gue mikir, kenapa sih kita sering diremehkan? Padahal negara ini keren banget,” tuturnya.
Sejak itu, ia mulai menggali sejarah dan budaya Indonesia — dari Sumpah Pemuda hingga kisah kecil yang terlupakan.
“Ternyata banyak banget momentum inspiratif. Musik bisa jadi cara untuk menceritakan itu semua ke dunia.”
Ia bahkan tengah menyiapkan tur diplomasi budaya, bukan dengan berkeliling dunia, tapi melalui kedutaan asing di Jakarta. “Titip pesan aja ke mereka: kasih tahu negara lo, Indonesia itu keren,” ujarnya.
Musik Fisik
Berbeda dari kebanyakan musisi masa kini, Fadhil memilih untuk tidak langsung merilis albumnya secara digital. Ia justru memproduksi CD fisik secara mandiri. “Royalti digital belum jelas. Kalau beli CD gue, royalti langsung ke gue. Selesai,” ungkapnya.
Dalam liner note albumnya ia menulis: “Tidak dilarang membawakan lagu-lagu dalam album ini.” Filosofinya sederhana — musik ini untuk bangsa, bukan untuk dimonopoli.
Kerja sama dengan label Jepang Disk Union Record pun membuka jalan promosi lintas negara, diawali dengan perilisan video lyric teaser di platform mereka.
Archipelago Power
Lebih dari sekadar album, Bermusik Untuk Bangsa adalah ajakan untuk memikirkan ulang cita-cita kebangsaan.
“Gue belum pernah dengar Indonesia punya cita-cita besar,” ujarnya serius. “Amerika dikenal sebagai superpower. Gue pengen Indonesia dikenal sebagai archipelago power — bangsa kepulauan yang punya kekuatan besar.”
Ia pun mendorong kolaborasi nasional lintas daerah, misalnya “Musisi Aceh bisa nulis soal kuliner, Manado tentang laut, Ambon tentang musiknya. Kalau mereka gak bisa bikin melodinya, sini kita bantu. Yang penting gotong royong.”
Fadhil juga menggandeng sejumlah kolaborator muda untuk memperkaya warna album ini, di antaranya Nonny (Cindy Manuputty) dan Leahi, yang menambah sentuhan vokal segar dan perspektif generasi baru dalam proyek album ini.
Fadhil berharap Bermusik untuk Bangsa dapat menjadi agenda tahunan nasional, misalnya setiap Hari Musik Nasional (9 Maret) diadakan pengumpulan lagu bertema Indonesia dari seluruh nusantara.
“Kalau bola saljunya sudah jalan, hasilnya bisa kita bawa ke siapa pun — ke menteri, ke presiden. Lihat, musik ini berkembang, kenapa gak dijadikan gerakan nasional?” ujarnya optimistis.
Dengan Bermusik Untuk Bangsa, Fadhil Indra tidak hanya menciptakan musik, tetapi juga menyalakan api harapan — agar Indonesia kembali memiliki lagu-lagu yang mencerminkan jati diri bangsanya, dengan semangat gotong royong yang tak lekang oleh zaman.
Komposer Idealis
Nama Fadhil Indra menempati posisi penting dalam peta musik progresif Indonesia. Sebagai musisi, komposer, dan produser, ia dikenal karena idealismenya: menjadikan musik bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan media kesadaran kolektif tentang identitas bangsa.
Perjalanan karier pria kelahiran Jakarta, 26 Mei 1967 ini dimulai sejak masa sekolah dengan band Sea Serpent dan Iwan Hasan pada era 1980-an. Ia kemudian membentuk band-band berpengaruh seperti Discus dan Montecristo, dua nama yang berhasil menembus label internasional dan meraih dua Anugerah Musik Indonesia (AMI Awards).
Selain dua band tersebut, Fadhil juga aktif di berbagai proyek seperti Atmosfera, KJP, GELAP, OPUS’86, dan Magnum Opus — grup tribut bagi band legendaris Kansas.
Lebih dari tiga dekade berkarya, Fadhil tetap berpegang pada satu keyakinan: musik harus punya makna dan arah. Ia percaya bahwa bangsa sebesar Indonesia layak memiliki cita-cita musikal yang sama besarnya — menjadi archipelago power, kekuatan kepulauan yang bersuara untuk dunia.
Dengan karya yang melintasi batas genre dan generasi, Fadhil Indra bukan hanya musisi progresif, tetapi juga penggerak kebangkitan musikal Indonesia.