banner 728x250

Dari Diskusi Universitas Paramadina: Ekonomi Indonesia Rapuh, Pengangguran dan PHK Diprediksi Meningkat

Hasil diskusi Universitas Paramadina menyebut fundamental ekonomi Indonesia saat ini dinilai rapuh dampak dari perang dagang internasional. (Foto: istimewa)

ABNnews — Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, mengungkapkan, dampak perang dagang internasional, khususnya proteksionisme Amerika Serikat, telah meningkatkan ketidakpastian ekonomi dunia, memperlambat konsumsi global, dan menunda investasi korporasi. Meski demikian, ia melihat peluang baru dari kebijakan tarif terhadap produk asal China, Vietnam, dan Bangladesh.

Namun, lanjutnya pada diskusi publik yang diadakan Universitas Paramadina bertajuk “IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7%: Indonesia Bisa Apa?” secara daring melalui Zoom Meeting pada Senin (28/4/2025), di tengah peluang tersebut, Handi menilai fundamental ekonomi Indonesia saat ini cukup rapuh.

“Utang negara yang mencapai Rp8.000 triliun, menurunnya daya saing, deindustrialisasi, serta lemahnya produktivitas dan kualitas SDM, membuat Indonesia dikategorikan sebagai negara berisiko ekonomi tinggi. Apalagi, kebutuhan pembiayaan utang pada 2025 dan 2026 masing-masing mencapai Rp800 triliun,” ujarnya.

Dalam enam bulan pertama pemerintahan baru, menurut Handi, belum terlihat rencana konkret yang realistis dan rasional. Ia menekankan pentingnya evaluasi mendalam terhadap program-program unggulan seperti pembangunan 3 juta rumah per tahun, makan bergizi gratis untuk 83 juta siswa, Koperasi Merah Putih, serta Program Danantara.

Tiga Kekuatan

Dia menegaskan, untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional, pemerintahan Presiden Prabowo perlu fokus pada tiga langkah utama: memperbaiki komunikasi kebijakan, memperkuat teknokrasi pemerintahan, dan meningkatkan kapasitas eksekusi di lapangan.

“Kita butuh langkah nyata, bukan hanya program ambisius. Pemerintah harus membangun fondasi ekonomi yang kokoh agar Indonesia mampu keluar dari jebakan risiko tinggi dan mencapai pertumbuhan berkelanjutan” tutup Handi.

Dalam diskusi yang sama, Kepala Departemen Makroekonomi INDEF, Dr. M. Rizal Taufiqurrahman, menekankan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah meningkatkan minat dan daya tarik investasi di tengah ketidakpastian global. Ia juga menyoroti dampak signifikan dari kebijakan Trump Tariff terhadap perekonomian Indonesia.

Rizal mengungkapkan, situasi global yang tidak stabil telah menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi pesimistis. IMF memperkirakan pertumbuhan negara-negara berkembang hanya sebesar 3,7%, dan pertumbuhan ekonomi global diprediksi turun menjadi 2,8% pada 2025. “Ini membuat target pertumbuhan 5,2% dalam APBN menjadi tantangan berat, apalagi target pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun ini ditetapkan sebesar 8%” ujar Rizal.

Ia mengingatkan, periode krisis ekonomi global akan berlangsung lebih cepat, sehingga Indonesia perlu lebih inovatif, adaptif, dan responsif. Rizal juga menyoroti tren menguatnya bilateralisme dan melemahnya multilateralisme yang dapat mengubah arah kebijakan ekonomi nasional.

Dalam konteks hubungan dagang, Indonesia tercatat menyumbang 18% dari defisit perdagangan Amerika Serikat. Kebijakan tarif resiprokal hingga 32% terhadap produk Indonesia dinilai akan berdampak besar terhadap sektor manufaktur dan menyebabkan penurunan output beberapa komoditas.

Pengangguran Meningkat

Selain itu, Rizal memperkirakan tingkat pengangguran di Indonesia akan meningkat pada 2025 akibat fenomena jobless growth serta ketergantungan pada sektor informal dan industri berproduktivitas rendah. Ia juga memproyeksikan penurunan angka impor jika tidak segera diantisipasi dengan kebijakan yang lebih efektif.

Sebagai antisipasi, Rizal merekomendasikan pemerintah untuk fokus pada industrialisasi berbasis value chain, khususnya membangun industri intermediate dan manufaktur berbasis teknologi menengah.

Pengembangan riset dan pengembangan (R&D) di sektor baterai kendaraan listrik (EV) dan semikonduktor juga dinilai penting, disertai insentif fiskal agresif, reformasi perpajakan, serta penguatan sistem Online Single Submission (OSS). “Pasar Indonesia besar, namun gap antara desain kebijakan dan realisasi di lapangan masih menjadi kendala utama” ujarnya.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Dr. Piter Abdullah, dalam kesempatan tersebut mengungkapkan keprihatinannya terhadap tren penurunan kondisi ekonomi domestik.

“Gelombang PHK saat ini merupakan kelanjutan dari fenomena 2024, namun skalanya diperkirakan jauh lebih besar tahun ini” ungkap Piter.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menegaskan bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah fenomena tunggal, melainkan dialami juga oleh banyak negara lain.

“IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,0%. Namun perlu digarisbawahi bahwa proyeksi yang direvisi ke bawah ini juga terjadi di banyak negara, termasuk Vietnam yang bahkan diperkirakan turun 1,3%” ujar Yose Rizal.

Meski demikian, Yose mengingatkan bahwa Indonesia yang kerap disebut sebagai ‘Komodo Dragon’ karena ketangguhan ekonominya, kini menghadapi tekanan yang cukup besar dari dalam negeri.

“Kondisi domestik kita tidak baik-baik saja. Kita menghadapi berbagai masalah mulai dari persoalan fiskal, moneter, neraca eksternal, sektor riil, iklim usaha, ketenagakerjaan hingga daya beli masyarakat” jelasnya.

Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa arah kebijakan ekonomi yang tidak menjanjikan turut memperbesar risiko tersebut. Yose juga menyoroti fenomena melemahnya dolar Amerika Serikat (US Dollar) sejak Januari 2025 terhadap berbagai mata uang dunia.

“Ini menjadi sinyal yang perlu diwaspadai karena dapat berdampak pada stabilitas ekonomi kita, terutama di sektor eksternal” tegasnya.

Ilham Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *