ABNnews – Tahun 2017 terbit buku yang cukup menghentak banyak orang berjudul The Death of Expertise ditulis oleh Tom Nichols. Buku itu ditulis memang dalam komunitas akademik Amerika sehingga konteksnya pun di negara Amerika. Namun, sejatinya apa yang ditulis Nichols tetaplah mencerminkan fenomena global seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Buku ini pun kala itu cepat menyebar berkat komunikasi global yang supercepat sehingga seluruh dunia membaca buku itu tidak terkecuali di Indonesia.
Tulisan ini bermaksud menjelaskan__merujuk pada pendapat Nichols itu, bahwa para ahli justru gagal memahami gejala diluar bidang keahliannya dan memberikan dampak besar akibat kekeliruannya itu dikemudian hari. Dicontohkan, di Amerika para ahli medis menjelaskan kolesterol dalam telur harus dihindari dan akhirnya masyarakat mengurangi konsumsi telur dan dikuatkan juga dengan program diet nasional. Namun, yang menjadi permasalahan makanan pengganti telur yang “diperbolehkan” tadi justru mengakibatkan efek samping yang lebih buruk terutama menyebabkan dua pertiga masyarakat Amerika mengalami obesitas (kelebihan berat badan) yang rentan terhadap serangan berbagai penyakit.
Di Indonesia apa yang menjadi contoh Tom Nichols cukup banyak dan sangat relevan, misalnya, di bidang hukum. Kasus di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur 1 Oktober 2022, ketika digelar pertandingan antara Persebaya dengan Arema Malang terjadi kerusuhan dan kekerasan suporter setelah tim mereka kalah. Pihak keamanan (polisi dan panitia) berusaha meredakan kerusuhan itu, namun pihak kepolisian yang menyemprotkan gas air mata menyebabkan penonton semakin panik yang pada akhirnya menelan korban 135 orang meninggal ratusan luka-luka dan kehancuran stadion.
Dari kasus itu jelas telah terjadi kegagalan pengamanan bahkan ada kesalahan prosedur dalam penggunaan gas air mata menurut standar pengamanan FIFA. Dalam kasus itu banyak para ahli hukum meyakini penyelesaiannya akan adil dan para korban dapat tertangani sebagaimana mestinya menurut hukum. Apa lacur, ternyata para ahli hukum itu umumnya keliru. Hukuman terhadap pihak yang bertanggungjawab dalam kasus itu sangat mengecewakan, tidak sesuai dengan ekspektasi. Dengan korban mencapai 135 meninggal dan ratusan luka-luka pihak keamanan yang dianggap bersalah hanya dihukum rata-rata kurang dari 2 tahun penjara. Jelas itu jauh dari rasa keadilan. Para ahli hukum itu telah keliru dalam analisisnya.
Infallible dan Humilis
Keahlian memang melekat dalam diri seseorang, tetapi bukan berarti secara absolut. Banyak kenyataan menunjukkan bahwa analisis para ahli gagal menjawab fenomena konkret terutama karena terkungkung oleh bidang keahliannya. Dengan kata lain, keahlian justru menghalangi pemahaman akan faktor lain yang bisa lebih berperan (Surjani Wonorahardjo,2017). Disinilah faktor infallible ternyata in heren dalam seorang ahli itu, maka seorang ahli perlu juga humilis (menyadari keterbatasan dirinya).
Infallible dan humilis artinya menunjukkan bahwa seseorang itu bukanlah superhero ilmu pengetahuan, ia tetap saja ada keterbatasan pengetahuan; seorang ahli tetap saja termungkinkan adanya kesalahan interpretasi dan tentu terbuka lebar adanya perbedaan dengan pendapat orang lain.
Atas dasar itulah, siapa pun harus dalam kerangka humilis yang dalam bahasa Latin maknanya tetap “rendah hati” atau “tidak sombong”. Seorang ahli justru harus memahami dan mengakui dirinya tetaplah memiliki keterbatasan (tidak mungkin mampu menjawab semua persoalan). Dalam konteks ini penting kiranya belajar dari kesalahan, berlapang dada menerima umpan balik dan menghargai pendapat orang lain.
Dengan sikap humilis seseorang akan belajar untuk senantiasa meningkatkan kemampuan dirinya (sehingga benar-benar ahli), membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain dan menghargai pendapat orang lain. Lebih dari itu, seorang humilis berarti mengurangi konflik dengan menghindari perilaku yang sombong dan defensif.
Kesenjangan Epistemologi
Pandangan kritis dengan sudut pandang yang berbeda dari Tom Nichols memang menuai banyak kontroversi karena banyak pihak tiba-tiba dikejutkan dari zona nyamannya terutama di dunia pendidikan. Bahwa apa yang ia pahami dan dilakukan selama ini bisa jadi keliru, justru karena terlalu tajam dan mendalamnya kebenaran pengetahuan itu sendiri. Selama ini, zona nyaman di lembaga pendidikan tinggi menghasilkan ahli-ahli yang dapat mengubah dunia. Dus, bisa dibayangkan apa akibatnya jika sang ahli melakukan kekeliruan.
Apa yang dihasilkan/pandangan Nichols kurang lebih sama dengan dulu yang dilakukan oleh Paul Feyerabend (1975). Ketika itu Feyerabend menolak metodologi ilmiah sains yang telah establish. Melalui karyanya Against Methode, Feyerabend menggugat metodologi saat itu yang dianggapnya mengandung banyak kelemahan. Menurut Feyerabend, metode ilmiah adalah konstruksi sosial dan budaya yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kepentingan politik, ekonomi dan yang lain.
Feyerabend mengusulkan konsep “anakisme epistemologis” yang berarti bahwa tidak ada aturan atau metode yang tetap dan universal dalam pencarian pengetahuan. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan harus terbuka terhadap berbagai pendekatan dan metode, dan bahwa kebebasan dan kreativitas harus diutamakan dalam pencarian pengetahuan.
Hal menarik lain, Feyerabend mengkritik rasionalisme, yang ia anggap sebagai sebuah ideologi yang terlalu sempit dan dogmatis.Ia berpendapat bahwa rasionalisme dapat membatasi kemampuan kita untuk memahami dunia dan dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Di sini ia berpendapat, pentingnya pluralisme dalam pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus terbuka terhadap berbagai perspektif dan pandangan.
Pentingnya Etika
Dalam keabsurdan informasi, dimana keputusan benar-salah harus ditempuh dengan mendasarkan pada pengetahuan yang obyektif, jelas penting adanya life cycle assesment (LCA) yaitu metode evaluasi yang digunakan untuk menganalisis dampak lingkungan dari produk-produk teknologi informasi, seperti komputer, smartphose, server dan artificial intelligent.
Ketika seorang ahli menemukan “sesuatu pengetahuan baru” dia harus menyadari bahwa temuan terbaru tersebut belum tentu tegak teruji seiring berjalannya waktu. Dalam hal ini para ahli sebaiknya sebelum mengeluarkan keahliannya memegang satu hal yang penting, yaitu etika. Mengapa ?
Etika dapat membantu mengkritik penyalahgunaan kekuasaan dan mengidentifikasi cara-cara dimana ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol masyarakat.
Etika dapat membantu mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga masyarakat dapat lebih baik memahami bagaimana kekuasaan digunakan dan bagaimana mereka mempengaruhi keputusan yang diambil.
Etik dapat membantu mengembangkan alternatif lebih baik yang lebih berkelanjutan dan adil dalam penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehinga masyarakat dapat lebih memenuhi kebutuhan mereka tanpa merusak lingkungan dan megabaikan hak-hak asasi manusia.
Etika dapat membantu mempromosikan antisipasi dan inklusi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa keputusan tersebut memenuhi kebutuhan mereka.
Penutup
Akhirnya, dengan mengaitkan akhir dari keahlian dengan etika, kita dapat mengembangkan pendekatan yang lebih holistik, berkelanjutan, dan bertanggungjawab dalam mengembangkan dan menerapkan keahlian.
Sobirin Malian
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan