ABNnews – Pernyataan Ketua Umum Golkar periode 2024-2029 Bahlil Lahadalia yang menyinggung adanya ‘Raja Jawa’ dalam penutupan Munas ke XI Golkar di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8) lalu menjadi kontroversi publik.
Publik menduga kuat bahwa istilah Raja Jawa yang disebut Bahlil itu disematkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi),
Terkait hal tersebut, pengamat politik Rocky Gerung menyatakan bahwa ucapan Bahlil itu sebagai kecelakaan sejarah dan menyinggung masyarakat Jawa.
“Raja Jawa itu fungsinya sebagai lambang kemuliaan dan dia juga mau mendengar suara rakyat. Itu menunjukan Bahlil itu tidak mengerti kebudayaan Jawa, jadi dia asal mengucapkan sesuatu yang kemudian menjadi kecelakaan sejarah,” kata Rocky dikutip dari kanal Youtube Rocky Gerung Official, Jumat (23/8/24).
“Bahlil memang tidak paham bahwa negeri ini memang dirancang berdasarkan prinsip-prinsip kebudayaan. Banyak Raja Jawa yang bijak seperti Sultan Hamengkubuwono IX, X (sembilan-sepuluh) dan itu juga ketua-ketua Golkar loh,” tambahnya.
Rocky pun meminta Bahlil agar meminta maaf atau bertobat atas ucapannya tersebut. Bahkan ucapan itu dinyatakan dalam forum resmi seperti Munas Golkar.
“Jadi saudara Bahlil, anda bukanya hanya harus segera bertobat, tapi anda memang dungu dalam membaca tradisi politik Jawa dulu,” tegasnya.
Namun demikian, kata Rocky, publik sepatutnya berterima kasih kepada Bahlil yang sudah membuka rahasia Istana Kepresidenan terkait dengan sebutan Raja Jawa.
“Salam sukses bagi Bahlil sebagai ketua umum Golkar yang baru sekaligus kita ucapkan terima kasih karena Bahlil membuka rahasia Istana,” kata Rocky.
Dari sebutan Raja Jawa tersebut membuat publik jadi mengetahui bahwa selama ini Istana Kepresidenan itu bukan dihuni presiden tapi seorang tiran atau despot.
“Jadi despotisme itu bahkan melampaui nepotisme. Despotisme adalah pemerintahan berdasarkan kebengisan pemimpin,” tandasnya.