ABNnews – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengaku prihatin dengan pengetatan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang kembali jadi keluhan serius pelaku industri.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengatakan pihaknya sudah menerima banyak surat dan laporan dari industri pengguna HGBT yang terkena imbas langsung kebijakan tersebut.
“Ini seperti masalah klasik yang terus berulang. Padahal, HGBT adalah keputusan Presiden dengan harga USD 6,5 per MMBtu dan jaminan pasokan. Tidak seharusnya ada pihak atau lembaga yang mencoba menaikkan harga di atas itu atau membatasi pasokannya,” kata Febri di Jakarta, Kamis (14/8).
Industri Padat Energi Paling Terdampak
Febri menjelaskan, pengetatan pasokan gas dengan harga khusus akan memukul industri manufaktur, apalagi sektor padat energi seperti keramik, kaca, baja, pupuk, petrokimia, dan oleokimia.
“Biaya energi adalah komponen signifikan dalam struktur produksi. Kenaikan harga atau berkurangnya pasokan HGBT langsung menggerus margin keuntungan, menurunkan utilisasi pabrik, dan dalam jangka panjang bisa mengurangi minat investor,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tingginya tarif tambahan atau surcharge seperti yang dikenakan PT PGN sebesar USD 16,77 per MMBTU, yang dinilai semakin memberatkan pelaku usaha.
Data Kemenperin mencatat, beberapa sektor mulai mengalami penurunan utilisasi akibat kendala pasokan gas. Industri keramik, misalnya, pada semester I-2025 hanya mampu beroperasi di level 70–71 persen, meski sedikit membaik dibanding tahun lalu.
“Kalau pasokan gas terganggu lagi, capaian ini bisa terjun bebas. Apalagi industri pupuk sedang menopang program swasembada pangan Presiden Prabowo,” ujar Febri.
Febri mengungkap, penerima manfaat terbesar HGBT selama ini justru BUMN seperti PLN dan Pupuk Indonesia. Sementara perusahaan swasta yang menjadi tulang punggung manufaktur nasional sering kali mendapat porsi lebih kecil.
Kebutuhan gas industri secara keseluruhan diperkirakan mencapai 2.700 MMSCFD, sementara pasokan HGBT hanya sekitar 1.600 MMSCFD. Dari jumlah itu, sekitar 900 MMSCFD atau separuhnya dialokasikan untuk BUMN.
“Kalau porsi industri swasta semakin kecil, dampaknya jelas: kapasitas produksi turun, efisiensi jeblok, dan potensi PHK massal,” ucapnya.
134 Ribu Pekerja Terancam PHK
Berdasarkan data Kemenperin, total pekerja yang bergantung pada keberlanjutan HGBT di sektor industri mencapai 134.794 orang. Jika pasokan hanya dipenuhi 48 persen dari kebutuhan, sebagian besar pekerja itu berpotensi kehilangan pekerjaan.
Rinciannya:
– Pupuk: 10.420 pekerja
– Petrokimia: 23.006 pekerja
– Oleokimia: 12.288 pekerja
– Baja: 31.434 pekerja
– Keramik: 43.058 pekerja
– Kaca: 12.928 pekerja
– Sarung tangan karet: 1.660 pekerja
“Angka ini alarm serius. Setiap kebijakan soal pasokan gas industri harus mempertimbangkan keberlangsungan usaha dan kesejahteraan ratusan ribu keluarga,” tegas Febri.
Kemenperin berharap ada koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk memastikan distribusi HGBT yang adil.
“Gas bumi adalah sumber energi strategis. Kebijakan HGBT harus menjaga keseimbangan antara BUMN dan industri swasta, supaya daya saing industri nasional tetap terjaga,” jelasnya.
Febri mengingatkan, industri manufaktur adalah penyumbang terbesar PDB nonmigas sekaligus penyerap jutaan tenaga kerja.
“Kalau masalah HGBT tidak segera diatasi, dampaknya bukan cuma ke neraca perdagangan dan investasi, tapi juga kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.