Di dunia ini, tidak semua yang bikin patah hati itu mantan. Kadang, ya, jantung kita sendiri yang menyerah duluan.
Catatan Cak AT
Pada suatu malam yang sunyi, Pak Qalbi —bukan nama sebenarnya— menyaksikan istrinya yang telah 40 tahun setia menemani, berpulang ke rahmatullah. Tiga hari kemudian, ia menyusul. Bukan hanya karena sudah takdir, tapi juga karena jantungnya patah.
Dia patah hati, bukan secara metaforis, tapi secara harfiah. Dokternya bilang dia diserang: _takotsubo cardiomyopathy_. Orang awam bilang: _broken heart syndrome._ Dan di sinilah kita berada —di tengah zaman di mana cinta bukan cuma bikin mabuk, tapi juga bisa bikin masuk liang lahat.
Menurut riset terbaru yang dipublikasikan dalam _Journal of the American Heart Association_ (14 Mei 2025), ada ironi yang cukup sadis: sindrom patah hati memang lebih sering menyerang perempuan (83% kasus).
Tapi anehnya, menurut penelitian tadi, laki-lakilah yang lebih mungkin meninggal dunia disebabkan sindrom patah hati —dua kali lipat lebih mungkin, untuk tepatnya (11,2% dibanding 5,5%). Seolah-olah sindrom patah hati itu penyakit patriaki, lebih suka menyerang para lelaki.
Ini seperti kompetisi memasak di mana yang sering masak malah lebih jarang gosong. Tapi begitu giliran bapak-bapak turun ke dapur emosi, boom —meledaklah kompor itu dan mereka tak sempat mencicipi hasil masakan sendiri.
Mengapa bisa begitu? Ilmu kedokteran belum tahu pasti. Pengetahuan mereka masih belum sampai ke sana, masih disimpan dalam khazanah pengetahuan ilahi. Tapi satu hal jelas: dunia medis ternyata masih punya bias gender, bahkan dalam urusan jantung patah.
Menurut ahli hormon dr. Widya Murni, _broken heart syndrome_ alias _takotsubo cardiomyopathy_ (ct) adalah penyakit jantung temporer yang disebabkan oleh lonjakan hormon stres, seperti norepinefrin dan epinefrin, yang membanjiri jantung setelah trauma emosional atau fisik.
Ibaratnya, jantung kita diberi SMS mendadak soal sang istri tercinta: “Dia selingkuh sama sahabat lo sendiri.” Hatinya langsung ngedrop begitu dalam. Nyungsep sejadi-jadinya.
Sering kali gejalanya sama seperti serangan jantung: dada sesak, keringat dingin, pusing, dan jantung berdebar-debur seperti saat melihat saldo ATM yang tinggal sedikit pas tanggal tua.
Tapi tak seperti serangan jantung biasa yang disebabkan sumbatan pembuluh darah, _broken heart syndrome_ ini muncul tanpa penyumbatan. Jantungnya membesar seperti cinta tak berbalas, lalu mendadak lemas.
Pertanyaannya: mengapa laki-laki dua kali lipat lebih rentan meninggal karena sindrom patah hati ini? Apakah begitu sayang istri atau cucu? Belum pasti. Tapi, ada beberapa dugaan:
1. Laki-laki jarang periksa ke dokter soal kesehatan jantungnya. Terlalu cuek atau menyepelekan diri, padahal tubuh sudah memberi alarm. Mereka lebih sering bilang, “Ini cuma masuk angin,” padahal itu sinyal jantung meminta ampun.
2. Stigma gender. Karena penyakit akibat sindrom patah hati ini ‘dicap’ sebagai penyakit perempuan, maka pria sering telat didiagnosis atau bahkan diabaikan oleh sistem medis yang lebih siap menangani serangan jantung model ‘maskulin’.
3. Komorbiditas. Pria yang mengalami _broken heart syndrome_ sering juga punya masalah jantung lain: gagal jantung, stroke, hingga syok kardiogenik. Mungkin karena mereka sudah lama memendam, ya perasaan… ya tekanan darah.
Sains mencatat bahwa pemicu takotsubo bisa sesederhana ditinggal pasangan, atau serumit menghadapi cucu yang tiba-tiba loncat ke pelukan saat neneknya lagi minum teh panas.
Emosi intens, baik sedih maupun bahagia, bisa memicu lonjakan hormon stres yang bikin jantung tak kuasa menahan perasaan yang menggelora dan memukul-mukul jantung.
Menangis saat menghadapi musibah, ternyata, bisa jadi salah satu mekanisme penyelamat. Tapi para pria modern sering diajarkan untuk tahan air mata, jadilah kuat, dan jangan lebay. Padahal, satu tangisan kecil mungkin bisa mencegah tragedi besar.
Tentu, kita tidak bisa menyuruh orang jangan jatuh cinta. Tapi kita bisa lebih siap menghadapinya. Dunia medis harus mulai memperlakukan _broken heart syndrome_ dengan keseriusan yang setara dengan penyakit jantung lainnya. Bukan sekadar “itu mah karena sedih aja.”
Sementara itu, kita —publik yang budiman— perlu belajar mengenali gejalanya. Jangan sok kuat. Jangan anggap enteng. Dan tolong, wahai pria-pria gagah perkasa, kalau dadamu sesak karena ditinggal mantan, bukan waktunya bikin status ambigu di Facebook. Pergilah ke dokter.
Sebab cinta itu indah, tapi kadang bisa jadi faktor risiko.
Mungkin kita hidup di dunia yang terlalu cepat —terlalu banyak notifikasi, terlalu sedikit pelukan. Kita dibesarkan oleh budaya yang lebih suka memberikan resep antibiotik ketimbang menawarkan bahu untuk bersandar.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti meremehkan perasaan. Apa pun perasaan itu, bahagia atau sedih. Karena ternyata, rasa sakit karena kehilangan atau bahagia berlebihan, bukan cuma metafora. Ia punya nama ilmiah, statistik, dan angka kematian.
Dan itu, saudara-saudara sekalian, adalah hal paling menyedihkan —bahwa bahkan patah hati pun kini butuh penanganan intensif. Bukan hanya dari psikolog, tapi dari ahli jantung. Bahkan mungkin ahli agama melalui nasehat-nasehat yang menenagkan.
Selamat mencintai, karena cinta merupakan salah satu anugerah Allah yang suci dan indah. Tapi jangan lupa cek tekanan darah. Karena di zaman sekarang, cinta tak hanya butuh keberanian, tapi juga EKG.
Referensi:
– Journal of the American Heart Association, Mei 2025
– Healthline.com: “Males Two Times as Likely to Die From Broken Heart Syndrome”, Gigen Mammoser, 16 Mei 2025
– Rilis dari Dr. Mohammad Reza Movahed & Dr. Abha Khandelwal
– Data Nationwide Inpatient Sample (2016–2020)
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 21/6/2025