banner 728x250
Opini  

Otak Sains Israel Terbakar

Catatan Cak AT

Sahabat, pernahkah Anda membayangkan sebuah rudal dari negeri para Mullah terbang sejauh dua ribuan kilometer, menembus langit dan jargon teknologi pertahanan “tak tertembus” Israel, lalu mendarat dengan cerdas tepat di jantung Institut Sains Weizmann?

Maka, pecahlah berita pagi itu: _“Iran strikes Weizmann Institute”_ yang punya kecerdasan nyaris seperti lulusan terbaik Weizmann sendiri. Namun tentu, media Israel bungkam seribu _firewall_. Tak ada gambar ledakan yang jelas, tak ada laporan kerusakan yang rinci.

Yang ada hanyalah keheningan sistematis —mirip saat AI buatan Weizmann sedang mengkalkulasi _who to drone next?_ Dan mari kita dudukkan perkara. Weizmann Institute bukanlah sekadar kampus tempat mahasiswa mengejar gelar sambil ngopi dan debat algoritma.

Ia adalah _brain farm_ —ladang otak— tempat benih teknologi tempur masa depan disemai. Di sinilah, menurut laporan terbuka, AI untuk pengendalian drone, pengembangan senjata energi terarah, navigasi alternatif anti-GPS, hingga komunikasi terenkripsi lahir dan dibesarkan.

Apa jadinya jika pusat kendali otak robot Israel, yang memadukan fisika kuantum dengan algoritma mematikan, mendadak meleleh seperti es krim di tengah gurun Negev? Jawabannya mungkin terhidang pagi itu, ketika sebuah rudal Iran menghantam langsung kompleks Weizmann.

Jadi, jika Anda membayangkan Weizmann seperti ITB versi Zionis, Anda keliru. Ia lebih mirip Hogwarts, hanya saja alih-alih mengajarkan cara terbang pakai sapu, di sana diajarkan cara menjatuhkan bom dari ketinggian 10.000 kaki tanpa diketahui radar.

Sekilas nama Weizmann terdengar seperti toko parfum mewah di Eropa, tapi jangan tertipu. Ini bukan tempat uji coba aroma, melainkan laboratorium yang mengendap-endap dalam senyap, mengubah angka menjadi algoritma pembunuh.

Lembaga ini didirikan pada 1934 oleh Chaim Weizmann — ilmuwan kimia yang kemudian menjadi presiden pertama Israel (iya, presiden dan ilmuwan, _multitasking_ level Dewa). Awalnya bernama Daniel Sieff Research Institute, lalu berganti nama yang sekarang pada 1949.

Kini, sekitar 2.500 ilmuwan dan staf berseliweran di dalamnya —bukan hanya meracik larutan, tapi juga masa depan perang Israel yang kini unjuk gigi lawan Iran. Bayangkan: lebih dari 30 laboratorium ilmiah, program master dan doktoral mutakhir, ada di sana.

Semua ada, mulai dari bidang matematika, fisika, kimia, biologi, sampai ilmu komputer, perpustakaan raksasa, dan perumahan ilmuwan. Ini membuat Weizmann sebagai kiblat intelektual sekaligus bengkel militer digital yang paling canggih dan lengkap.

Tak heran jika pemerintah Israel mencintai lembaga ini sepenuh anggaran: setiap tahun, ratusan juta dolar digelontorkan. Anggaran bukan hanya dari kas negara, tapi juga lembaga internasional, yayasan sains luar negeri, hingga filantropi global yang kadang tak sadar mereka mendanai drone pemburu.

Bandingkan ini dengan BRIN di Tanah Air —lembaga hasil fusi dari berbagai badan riset nasional. BRIN itu seperti Weizmann yang masih minum susu formula, sedang Weizmann sudah makan _steak medium rare_ dengan saus kecerdasan buatan.

BRIN baru sibuk menyusun struktur, Weizmann sudah mengirim sinyal elektromagnetik untuk mengacaukan sistem rudal musuh. BRIN masih debat anggaran dan nomenklatur, Weizmann sudah mengekstrak data satelit sambil membuat teh di sore hari.

Tapi inilah drama besar hari itu: bukan sekadar laboratorium terbakar, tapi pusat otak militer Israel tersentak. Bayangkan kalau DARPA-nya AS disambar rudal, atau Google HQ luluh-lantak karena balon udara meledak. Betapa besar akibatnya.

Mari kita lihat skala dampaknya. Di sana ada ribuan peneliti dan superkomputer yang tak cuma pintar menjawab soal fisika kuantum, tapi juga merancang skema sabotase infrastruktur musuh dari jarak jauh. Rudal Iran yang canggih menyasarnya dari jarak 2.000-an km.

Kalau benar fasilitas ini rusak parah, maka dampaknya bukan sekadar tumpukan kabel terbakar —ini seperti menghapus hard disk utama mesin militer Israel. Kekuatan otot-otot militer Israel tiba-tiba bisa menjadi lembek seperti mie yang dimasak.

Bisa jadi, minggu depan akan muncul drone yang terbang zigzag karena kehilangan algoritma navigasi. Atau tank yang gagal mengenali perintah suara karena model NLP-nya ikut hangus bersama perpustakaan di lantai dua.

Dampaknya pula bukan hanya pada sains, tapi pada sistem pertahanan yang bergantung pada kecerdasan buatan, drone otonom, pelindung enkripsi, dan segala macam alat perang era digital. Serangan Iran begitu cerdasnya, menyasar jantung sains Israel, bukan para saintisnya.

Weizmann tidak hanya meracik teori. Di sana, mereka mengembangkan AI untuk komando tempur, teknologi UAV dan sistem navigasi alternatif, alat pelacak elektronik, bahkan riset energi terarah dan aplikasi nuklir. Ini bukan kampus biasa. Ini pabrik sihir yang meramu masa depan Israel di atas kalkulasi presisi dan rahasia.

Tapi kemudian datanglah serangan rudal dari Iram. Dan rupanya, meski algoritma Weizmann bisa mengalahkan catur tiga dimensi, ia tetap tak mampu menghentikan sebatang baja terbang berkecepatan Mach 3, hanya 11 menit menempuh perjalanan udara 2.000-an km dari Iran.

Jadi, ketika rudal Iran menyapa lembut pada subuh itu, sebenarnya bukan bangunan yang dihantam —tetapi pusat kendali sistem militer pintar Israel. Tak ada gambar dari media, tak ada laporan resmi. Hanya asap, senyap, dan senyum getir dari mereka yang tahu: kubah kertas itu telah terbakar.

Dan pertanyaan besarnya: bagaimana bisa sistem pertahanan Iron Dome yang konon “bisa menangkap lalat dengan radar” gagal menangkal rudal ini? Atau jangan-jangan, memang tidak ada yang benar-benar “tak tertembus” di dunia ini —kecuali mungkin, hati para penguasa.

Dan seperti biasa, yang tertinggal adalah satu ironi: Lembaga yang merancang pelindung udara tercanggih, justru dilubangi dari langit. Barangkali inilah karma dalam bentuk balistik. Dan di balik layar, BRIN mungkin sedang mengetik, “Catat: Kita jangan menaruh semua otak dalam satu gedung.”

Dan sungguh ironis. Tempat yang merancang sistem pertahanan anti-serangan udara tercanggih di kawasan Timur Tengah, justru menjadi korban utama dari —ya, serangan udara. Kalau ini bukan satire realitas, kita tak tahu lagi apa itu satire.

Dan mari kita bicara tentang moralitas. Iran menyerang pusat ilmu pengetahuan, kata sebagian orang. Tapi ini bukan perpustakaan kota tempat anak-anak belajar menggambar. Ini adalah markas tempat ilmu dipersenjatai dan kecerdasan dikonversi menjadi instrumen pembunuhan presisi.

Maka apakah ini sekadar serangan ke lembaga akademik? Atau, maaf, operasi militer sah terhadap infrastruktur strategis?

Dunia barat tentu menjerit: “Itu universitas, bukan barak!” Tapi barangkali, di dunia yang kabur antara sains dan militer, antara riset dan rudal, universitas bisa menjadi barak juga —barak yang memakai jas lab dan membunyikan lonceng konferensi, bukan peluit komando.

Weizmann luluh lantak. Tapi yang lebih dalam dari itu adalah simbol kekalahan diam-diam: bahwa bahkan Israel —negara yang selama ini hidup dari keunggulan teknologinya— bisa kena serangan, bukan di tubuhnya, tapi di otaknya.

Dan, hei, jika ini bukan peringatan keras bagi mesin-mesin perang yang terlalu percaya diri, maka apa lagi? Bahkan kecerdasan buatan pun, tampaknya, tak bisa mengantisipasi kegagalan sistem manusia.

Serangan ke Weizmann adalah pesan terang dalam bahasa rudal: bahwa dominasi bukan soal siapa yang punya server lebih dingin atau AI lebih cepat, tapi siapa yang masih bisa berpikir jernih di tengah api.

Dan sementara Weizmann sedang menghitung kerugian, Iran seolah berkata, “Selamat datang di zaman di mana laboratorium pun harus berlindung di bunker.”

Kalau otak Israel bisa dihantam, mungkin hati nuraninya masih bisa disentuh. Atau… setidaknya, itu harapan kita yang masih percaya bahwa sains seharusnya menyelamatkan manusia, bukan mengoptimasi kehancuran.

Dan jika Anda mendengar suara dengungan AI di malam hari, tenang saja… itu mungkin cuma drone nyasar, sedang mencari sinyal yang sudah terbakar di Rehovot, tempat Weizmann berada.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 18/6/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *