ABNnews — Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti proses penyusunan peraturan baru perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) yang saat ini tengah digodok oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ia mengingatkan seluruh pemangku kepentingan terkait agar aturan yang dibuat harus mengutamakan keamanan dan perlindungan masyarakat.
Menurutnya, kondisi masyarakat Indonesia saat ini masih kurang mendapatkan literasi komprehensif terkait aturan pinjaman online. Sehingga, kata Puan, masih banyak masyarakat yang terjebak utang pinjol lalu berakhir dalam situasi menyulitkan.
“Dalam realitasnya masyarakat yang terlilit utang pinjol semakin banyak. Sehingga edukasi menjadi satu hal yang penting dilakukan kepada masyarakat, untuk melindungi mereka agar tidak terjebak dalam kondisi gagal bayar,” tuturnya.
Berdasarkan data yang dilansir dari OJK, masyarakat yang terlilit utang pinjol mencapai hampir 5 persen dari penduduk Indonesia. Berbagai permasalahan sosial juga muncul akibat pinjol yang mencari keuntungan dengan modus memanfaatkan kondisi masyarakat yang kesulitan, bahkan ada beberapa kasus bunuh diri karena pinjol.
Rancangan Peraturan OJK tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (RPOJK LPBBTI) pun sudah masuk dalam tahap penyelarasan. Dalam RPOJK LPBBTI direncanakan penyesuaian batas maksimum pendanaan produktif dari sebelumnya Rp 2 miliar menjadi Rp 10 miliar.
Puan menilai Pemerintah, dalam hal ini OJK, harus tegas dalam menegakkan aturan yang menjaga agar konsumen pinjol dibatasi cara dan angkanya. Data Statistik Fintech Lending OJK tahun 2023 menemukan mayoritas nasabah pinjol adalah generasi muda, terutama dari kelompok usia 19 sampai 34 tahun.
Para generasi Z dan Milenial tercatat sebagai kelompok usia penerima terbesar kredit pinjol, yakni 54,06 persen atau mencapai Rp 27,1 triliun.
“Dari data terlihat bahwa yang paling banyak melakukan pinjaman online itu generasi Z dan Milenial, ini yang harus kita perhatikan dan lindungi. Mereka pemimpin masa depan bangsa yang harus dilindungi dari permasalahan-permasalahan seperti ini,” jelasnya.
Pada rancangan aturan itu dijelaskan bahwa pencairan dana hingga Rp10 miliar hanya dapat dilakukan sesuai dengan syarat dan kriteria yang telah ditentukan. Adapun kriterianya ialah perusahaan penyedia jasa pinjaman harus memiliki rasio wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) maksimum 5 persen.
Selain itu, perusahaan tidak boleh sedang dalam sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagian atau seluruhnya dari OJK. Melihat hal tersebut, Puan menekankan pentingnya edukasi, sosialisasi dan perlindungan regulasi untuk menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakat.
“Edukasi, sosialisasi, dan jaminan regulasi yang tegas dan pengawasan yang ketat menjadi hal yang penting agar masyarakat dapat membuat keputusan yang bijaksana saat menggunakan layanan pinjaman online,” imbunya.
Lebih lanjut, Puan meminta Pemerintah memberikan pengawasan kepada Fintech P2P lending. Dirinya menegaskan pemerintah dan pihak berwenang lainnya harus memastikan layanan pinjol yang digunakan masyarakat adalah layanan legal.
“Bagaimana Pemerintah menjamin agar pinjol-pinjol ilegal tidak lagi menjamur, dan tegas menerapkan penegakan hukum pada pinjol-pinjol ilegal yang memudahkan pemberian syarat pinjaman tapi sangat merugikan masyarakat karena bunganya yang tinggi. Layanan pinjaman harus memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan” tandasnya.