banner 728x250

Progres MRT Jakarta Fase 2A, Contoh Proyek Digarap dengan Pembiayaan Matang dan Model Bisnis Berkelanjutan

Per Agustus 2025, progres konstruksi Fase 2A mencapai 52,27 persen, melampaui target 50,61 persen. (Foto: MRT)

ABNnews — Kereta api telah menjadi bagian integral dalam sejarah transportasi Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang luas, infrastruktur transportasi darat sangat penting untuk menghubungkan berbagai wilayah.

Meski kereta api sudah bertransformasi, namun harus diakui bahwa distribusi infrastruktur kereta api di Indonesia saat ini masih terasa sangat timpang.

Dari total 6.945 km jalur aktif yang beroperasi, sekitar 4.921 kilometer terkonsentrasi di Jawa, dengan jumlah stasiun mencapai 473 unit. 1.863 kilometer berada di Pulau Sumatera, dengan jumlah stasiun mencapai 146 unit. Sementara itu, Sulawesi hanya memiliki 168 kilometer dengan jumlah stasiun sebanyak 10 unit.

Direktur Jenderal Perkeretaapian, Allan Tandiono menegaskan bahwa kereta api adalah moda transportasi masa depan yang efisien dan berperan penting dalam menekan biaya logistik nasional.

Namun, keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada kemampuan menyelesaikan masalah pembiayaan, percepatan pembangunan infrastruktur di luar Jawa, dan implementasi teknologi yang tepat guna.

Pemerintah menargetkan perpanjangan jaringan kereta api menjadi 10.524 km pada 2030, dengan kebutuhan investasi mencapai Rp853 triliun. Target ini mencakup penambahan rel kereta api perkotaan sepanjang 3.755 km, serta pengadaan 2.839 lokomotif dan 34.178 kereta penumpang.

Namun target pemerintah terkait perpanjangan jaringan kereta api pada 2030 dibayangi cerita tidak mengenakan. Terutama terkait polemik antara pemerintah, BUMN, dan holding Danantara soal siapa yang akan membayar/menanggung utang mega proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh.

Diketahui, utang Whoosh mencapai 7,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp116 triliun, membengkak dari rencana awal 6,07 miliar dolar AS  akibat pembengkakan biaya selama konstruksi.

Transportasi kereta api Indonesia menghadapi masa yang menentukan pada 2025. Persoalan utang yang membelit proyek Whoosh mengajarkan pelajaran mahal tentang bagaimana perencanaan pembiayaan infrastruktur yang keliru bisa berubah menjadi beban jangka panjang.

Di tengah situasi pelik Whoosh, kabar baik justru mencuat dari progres proyek Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta Fase 2A. Pembangunan tersebut terus melaju.

Per Agustus 2025, progres konstruksi Fase 2A mencapai 52,27 persen, melampaui target 50,61 persen. Proyek yang menghubungkan Bundaran HI hingga Stasiun Kota sepanjang 5,8 kilometer ini menggarap tujuh stasiun, dengan enam stasiun bawah tanah dan satu stasiun at grade.

Paket kontrak CP201 untuk Stasiun Thamrin dan Monas telah mencapai 89,25 persen dengan penyelesaian targeted pada 2027.

Sementara itu, CP202 yang mencakup Stasiun Harmoni, Sawah Besar, dan Mangga Besar mencatat progres 57,19 persen. Istimewanya, Stasiun Sawah Besar dan Mangga Besar dirancang sebagai stasiun bawah tanah empat tingkat pertama di Indonesia.

Tantangan teknis memang tidak ringan. Kompleksitas medan, terutama kondisi tanah lunak di kawasan Jakarta Pusat dan kebutuhan koordinasi dengan bangunan cagar budaya, menuntut kehati-hatian ekstra dalam eksekusi.

Dari progres Jakarta Fase 2A tersebut membuktikan bahwa proyek transportasi berbasis rel bisa sukses, dengan catatan dikelola dengan perhitungan matang.

Pengamat integrasi perkeretaapian, Yomil Ravianda, yang memiliki pengalaman dalam proyek-proyek seperti LRT Jakarta, MRT Jakarta, dan Metro Manila Subway, menekankan pentingnya perencanaan pembiayaan yang solid sejak awal.

“Kompleksitas pembiayaan infrastruktur perkeretaapian tidak hanya terletak pada besaran investasi, tetapi juga pada model bisnis yang realistis serta keberlanjutan operasional,” kata Yomil.

Kasus Whoosh menjadi pengingat bahwa proyek infrastruktur berskala besar memerlukan perhitungan matang tidak hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada proyeksi pendapatan dan kemampuan mengembalikan investasi.

Yomil juga menegaskan bahwa pengalaman menangani proyek perkeretaapian di berbagai negara menunjukkan pentingnya adaptasi teknologi dan standar internasional, terutama menyangkut aspek keselamatan operasional.

Lebih jauh ia mengatakan, utang Whoosh senilai Rp116 triliun menjadi peringatan keras bahwa ambisi membangun infrastruktur kelas dunia harus diimbangi dengan perencanaan finansial yang solid dan model bisnis yang berkelanjutan.

“Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pembangunan fisik rel dan stasiun. Yang diperlukan adalah ekosistem perkeretaapian yang terintegrasi, dengan skema pembiayaan yang tidak membebani keuangan negara, proyeksi pendapatan yang realistis, dan komitmen jangka panjang untuk menjadikan kereta api sebagai tulang punggung transportasi nasional,” pungkasnya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *