ABNnews – Di era digital orang mulai hidup di balik layar, alam virtual menjadi aktual, yang maya kini sudah menjadi nyata. Kemudahan, kecepatan membawa kenikmatan yang didukung sistem-sistem jejaring elektronik menjadi penguat sistem online atau terhubung.
Dalam kehidupan di balik layar sekarang ini, boleh dikatakan hampir semua bagian data, kebijakan, informasi dan lainnya semua ada dibalik layar. Bahkan kejahatan-kejahatanpun bisa dilakukan dari balik layar.
Orang-orang yang bekerja dalam dunia nyata, kini semakin terpojok dan tersisih seakan mereka menjadi tenaga-tenaga kasar yang menjadi pesuruh untuk mengaktualkan apa yang ada dalam dunia virtual.
Mereka yang ada di lapangan seakan seperti dalam kontrol dan pengendalian mereka seperti pion-pion catur saja. Penghargaan atas keringat dan kerja keras mereka akan semakin punah mungkin bahkan akan luntur. Dunia nyata akan menjadi fakta seperti apa yang diimpikan atau diprogramkan dalam dunia virtual.
Prediksi sisi positif dan negatif akan menjadi potensi konflik antara yang aktual dan virtual. Model pemolisian futuristik semestinya sudah mulai disiapkan atau setidaknya adaya upaya mereduksi kemungkinan-kemunginan hancurnya peradaban konvensional yang akan diubah dengan peradaban digital.
Benturan-benturan peradaban ini akan terus terjadi sampai suatu ketika tatkala sudah tidak mampu diatasi akan terjadilah konflik fisik sebagai suatu keniscayaan yang tak terelakan. Anti kemajuan atau anti teknologipun akan bisa terjadi dan benturan kepentingan akan terus terjadi disemua lini.
Banyak film atau cerita fiksi yang menggambarkan dan menunjukan akhir dari peradaban atau benturan teknologi dengan dunia nyata. Sinergitas antara virtual dengan aktual sejak awal mula sudah diprogramkan menjadi suatu sistem yang saling mendukung dan menguatkan.
Kepentingan pengkastaan dan pendiskriminasian antar golongan tidak boleh terjadi, karena akan menjadi isu pembenaran untuk perebutan sumber daya dan pendominasian atau penguasaan atas segala sumber daya dan potensi-potensinya. Pemahaman atas virtual dan aktual semestinya sejak awal menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi mata uang yang menjadi satu.
Ruang dan waktu seakan secara virtual melalui jejaring Internet of Things sudah merambah kesemua lini dan sisi kehidupan yang menghubungkan, memudahkan, mempercepat menggantikan cara-cara manual, konvensional dan parsial. Sistem-sistem dalam administrasi dan operasional semakin berkembang dengan didukung dengan internet dan teknologi lainya. Kaum status quo akan mati matian mempertahankan cara-cara kuno, yang lamban, boros dan berpotensi korup.
Mereka ketakutan kehilangan previlegenya. Cara-cara manual, konvensional dan parsial menjadi ladang
subur bagi tumbuh dan berkembangnya KKN. Lahan bagi preman birokrasi meluaskan sayap, menanam orang-orang sebagai mata telinga dan babu-babu penjaga tentakel-tetankelnya. Orang-orang ini akan mengkultuskan sang preman sebagai god fathernya atau patron pengaritan (aktor dibalik layar KKN yang dibangga-banggakan). Para preman ini lihai dan jaga memanfaatkan dan memutarbalikan fakta dengan segala daya upaya dan kehebatanya untuk terus menguasai dan berkuasa. Dunia mayapun dikuasai, teknologi digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti, mengancam, membuli bahkan menyakiti bagi siapa saja yang melawan atau tidak patuh padanya.
Mediapun dijadikan alat untuk membuli dengan meng-upload yang nantinya ditanggapi sendiri dan didown loadnya sendiri, untuk dilaporkan atau ditindak dengan caranya sendiri. Model-model fitnah media dunia mayapun menjadi kebanggaannya dan nilai keberhasilanya. Memang sangat luar biasa siapa saja dihujatnya. Di era digital tak sesederhana untuk menjatuhkan atau melanggengkan cara kerja jahatnya menjadikan premanisme di dunia maya.
Aturan, dan keteraturan dalam dunia virtual
Di era digital dunia virtual semakin marak bahkan dapat menghambat merusak hingga mematikan produktivitas. Pembunuhan karakter hingga yang mengganggu hidup kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dilakukan. Berita hoax, pembodohan penyesatanpun secara masif dan brutal bisa dilakukandi era post truth. Plintiran dengan memanipulasi sesuatu dengan menambahkan, mengurangi, merubah sebagai pembenaran yang berdampak: Salah persepsi, Mengadu domba, Menghakimi, Munculnya solidaritas sosial, Merusak citra, Menghilangkan kepercayaan, Konflik sosial
Memang ada yang marah, tatkala diberi aturan atau tatanan, ada yang merasa dikungkung atau dibungkam atau kebebasan sebebas-bebasnya tidak terwujud. Hujat menghujat dengan kalimat tidak sepatutnyapun seakan menjadi refleksi hipokrit, pameran ketololan dan sikap pengecut. Netizen +62 dilabel paling buruk tatakramanya. Entah itu refleksi budaya atau oknum yang tak lagi bisa menghargai orang lain. Sikap budaya bangsa yang adiluhung seakan luntur akibat evoria dunia maya.
Ujaran kebencian menghakimi yang luar biasa memalukan kata katanya. Seakan memang otak dan hatinya lupa segala edukasinya. Kritik disamakan dengan hujatan. Tabiat buruk seakan menjadi moralitas. Provokasi pembodohan menjadi sesuatu yang membanggakan. Kalau menampilkan hujatan seakan juara jagoan dan merasa pahlawan. Menyedihkan.
Dalam kehidupan sosial di era digital maka keteraturan sosial di dunia virtual memang diperlukan aturan untuk menata dan pertanggungjawaban. Mau tidak mau tatkala segala sesuatu yang berdampak pada konflik dan berbagai hal yang kontrta produktif menjadi tanggung jawab kita semua mengatasinya.
Konteks demokrasi menjadi acuan bebas bertanggungjawab, jaminan perlindungan HAM, supremasi hukum, transparan dan akuntabilitas orientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Menjaga kedaulatan bangsa dengan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi landasan ketahanan dan daya tangkal bahkan daya saing. Kritis atas penyimpangan atau ketidak benaran merupakan suatu kecerdasan keberanian bahkan juga wujud tanggung jawab moral. Keras dalam prinsip dan penyampaian secara elegan akan mengundang simpatik dan solidaritas.
Kekerasan simbolik ujaran kebencian pembodohan hingga pengadilan sosial bukan sesuatu yang spontan melainkan by design. Era post truth antara fakta dan kebobongan diolah sedemikian lupa pembenaran seolah menjadi kebenaran. Dan dilakukan orang-orang cerdik pandai yang terus menerus diviralkan hingga seolah menjadi kebenaran. Bumbu-bumbu hoax dengan primordialisme menjadi penyedap.
Keteraturan sosial dalam dunia virtual belum sepenuhnya dianggap sebagai sesuatu yang kontra produktif. Namun sebenarnya tanpa sadar taburan-taburannya sudah dapat merasuki bahkan mencandui pikiran hingga emosi publik. Dunia virtual jembatan harapan dalam era digital. Hal yang positif tentu banyak sekali dan mendukung pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang mampu menembus sekat ruang dan waktu. Namun hal hal yang kontra produktif dan menjadi potensi rusaknya karakter bahkan kedaulatan bangsa apakah dimaklumi dan dianggap biasa biasa saja?
Di era digital, polisi dalam pemolisiannya berbasis virtual melalui pilarnya on line (saling terhubung) dengan sistem elektronik (e policing)/pemolisian di era digital. Dengan membangun :
1. Back office sebagai operation room
2. Aplication yang berbasis AI
3. Netvwork yang berbasis IoT
4. Smart management dan smart operation sebagai basis big data system dan one stop service
5. Diawaki polisi siber ( cyber cops)
6. Hasil kinerjanya ditunjukan melalui Algoritma (dalam info grafis, info statistik dan info virtual) sebagai prediksi, antisipasi dan solusi
Akuntabilitas dalam menegakan aturan dalam menata dunia virtual tetap wajib dilakukan secara profesional yang setidaknya mencakup :
1. Moral (niat baik dan benar)
2. Hukum (secara Hukum benar/tidak melanggar)
3. Adminsitrasi (secara Administrasi benar/tidak melanggar)
4. Fungsional ( sesuai SOP )
5. Berdampak penguatan institusi
6. Menunjukan Inisiatif Anti Korupsi
7. Memberikan pelayanan kepada publik secara prima
8. Visioner, proaktif dan problem solving
9. Dinamis dan dialogis
10. Secara sosial menunjukan kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat
Akuntabilitas merupakan suatu fungsi kontrol atas berbagai sistem untuk mencapai tujuan.
Sistem bukan tujuan melainkan sarana atau alat mencapai tujuan. Seringkali kita memuja atau mengutamakan alat atau sarana dan mengabaikan tujuan. Sistem merupakan suatu sarana dalam mendukung pencapaian tujuan. Tujuan merupakan hakekat dari sesuatu atas proses yang menjadi puncak pencapaian atas proses tersebut.
Sistem sosial misalnya sistem-sistem yang ada dalam kehidupan sosial baik itu politik ekonomi seni budaya hukum teknologi dll merupakan proses atau sarana mencapai keadilan sosial maupun kesejahteraan sosial atau peradaban yang mampu membuat kehidupan sosial semakin memanusiakan manusia. Manusia menjadi fokus utama. Demi keamanan misalnya maka manusia dan kemanusiaannya bisa saja diabaikan bahkan dikorbankan yang penting aman walaupun tanpa adanya rasa aman. Cara ala mafia atau premanisme di dunia virtual seakan menjadi suatu kebenaran yang diagung agungkan sebagai suatu kepahlawanan.
Sistem apapun termasuk elektronik sejatinya hanya sebatas sarana pendukung point di atas. Seringkali pembangunan sistem elektronik yang semestinya menjadi jerat dan jebakan tikus. Namun sayangnya seringkali menjadi sarang tikus. Lagi-lagi proyek elektronik sarat kepentingan dan premanisme yang mengagungkan KKN, menjadi keunggulan dan kebijakan. Membangun sistem elektronik berbasis ipo yang ada pada back office aplication dan net work yang semuanya itu merupakan IoT dan AI yang menjadi sistem recognize yang ditunjukan adanya algoritma yang berupa info grafis, info statistik, info virtual yang berbasis sistem big data dan adanya one stop service.
Sistem online yang berbasis elektronik yang meminimalisir kesempatan terjadinya KKN semestinya produknya mampu merecognize menganalisa dan menghasilkan produk yang berupa algoritma dalam bentuk info statistik,, info grafis dan info virtual yang on time, any time dan real time. Yang dapat digunakan sebagai prediksi antisipasi dan solusi.
Sistem penegakkan akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik maupun institusi secara profesional maupun personal. Akuntabilitas secara moral yang menunjukkan bahwa semua dimulai dari niatan yang baik dan benar. Di sini ditunjukkan dari grand strategi aturan dan penyiapan SDMnya menjadi satu kesatuan yang utuh.
Etika kerja yang berkaitan dengan berbasis pada do dan dont yang benar-benar dijadikan acuannya penilaian kinerja. Akuntabilitas secara hukum ini menunjukkan tidak menyimpang atau melawan hukum dan aturan yang ada yang ada. Akuntabilitas secara administrasi dapat ditunjukkan dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaannya, proses laporan dan dokumen pendukungnya dengan baik dan benar. Akuntabilitas secara fungsional, apa yang dikerjakan menunjukkan suatu upaya pencapaian tujuan dan bermanfaat bagi peningkatan kualitas pelayanan publik. Akuntabilitas secara sosial dapat dilihat pada kemanfaatan bagi hajat hidup hidup masyarakat yang ditandainya semakin manusiawinya manusia dan meningkatnya kualitas hidup.
Sistem elektronik atau sistem-sistem on line, menjadi tanda adanya reformasi birokrasi dan anti korupsi dan upaya memberikan pelayanan prima kepada publik. Namun sayangnya yang menggiurkan bukan keutamaannya melainkan pada angka besaran proyeknya. Gilanya lagi dijadikan bancakan sumber daya. Hal tersebut yang semestinya diluruskan melalui upaya-upaya untuk kembali melihat pada keutamaannya dalam pencapaian tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, secara hukum, secara administrasi dan secara fungsional.
Mengapa Digital Leadership dan E Policing harus disiapkan?
Di era digital dengan kehadiran Artificial Intellegence (AI) begitu pesat perkembangannya. AI bisa digunakan untuk berbagai aktifitas dan mendukung kegiatan manusia bahkan pekerjaan manusiapun bisa digantikan dengan AI. Kalau AI bisa digunakan untuk hal baik bagaimana dengan sebaliknya? Mungkinkah AI ditangan orang-orang jahat bisa digunakan sebagai kejahatan baru atau sesuatu yang sama sekali belum terpikirkan penanganannya. Kita semua sadar tidak ada suatu kejahatan kalau belum ada aturannya. Hukum tertinggal dari perubahan yang begitu cepat.
Futuristic policing salah satu basisnya adalah lectronic policing sebagai model pemolisian di era digital, dengan diawaki oleh petugas polisi siber (cyber cops) untuk melayani publik maupun mengatasi hal hal yang kontra produktif akibat dampak dari era vuca (volatility, unpredictable, complexity, ambiguity). Tatkala polisi dan pemolisiannya tertinggal dari perubahan maka tidak akan mampu mengatasi permasalah permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Ini akan sangat berdampak luas terutama hilang atau turunnya gingkat kepercayaan masyarakat.
E Policing yang pilarnya pada back office sebagai operation room, dan sentra pelayanan publik ini perlu dibangun dengan dukungan application yang berbasis pada AI untuk inputing data, analaisa data dan bisa menghasilkan produk dalam algoritma yang berupa info grafis, info statistik maupun info virtual lainnya yang bisa digunakan untuk : memprediksi, mengantisipasi, memecahkan masalah atau membongkar kerja AI yang kontra produktif. Yang dapat diakses real time, on time dan any time. Algoritma ini yang menjadi acuan pada kualitas kinerja pemolisian.
Untuk mampu mengimplementasikan E policing perlu adanya digital leadership (DL) atau pemimpin di era digital. Pemimpin di era digital memiliki model kepemimpinan yang kebijakannya mendukung untuk mewujudkan E policing yang mampu memberikan pelayanan prima kepolisian dan mendukung SPBE.
DL mau tidak mau harus memikirkan bagaimana mampu membangun aplikasi aplikasi yang berbasis AI untuk :
1. Recognize
2. Maping
3. Analyse
4. Produk dalam bentuk algoritma
5. Networking
6. Counter issue
7. Media policing
8. Pengembangan intelejen
9. Emergency maupun Contigency policing
10. Quick response
11. Index Safety and Security
12. Mengembangkan model-model pemolisian yang berbasis wilayah, fungsi maupun dampak masalah
13. Menyiapkan SDM yang profesional, cerdas, bermoral dan modern
14. Menangani hoax yang menjadi senjata di era post truth ataupun serangan buzer
15. Menata keteraturan sosial di dunia virtual
16. Menangani cyber crime yang berkaitan dengan idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb
17. Menghadapi proxy war
18. Melindungi aset aset bangsa
19. Menjamin keamanan harta benda, jiwa raga dari citizen maupun netizen
20. Memikirkan model policing untuk mengatasi point 1 sd 19
Masih banyak hal yang menjadi tugas tanggung jawab kita menghadapi era vuca dan polisi dengan pemolisiannya mau tidak mau berubah dslam konsep dan implementasi futuristic policing yang terus tumbuh berkembang dan berkesinambungan.
Penulis
Kasespim Lemdiklat Polri
Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si.