ABNnews – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka suara terkait keresahan industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang belakangan kesulitan pasokan.
Untuk merespons hal itu, Kemenperin membentuk Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT sebagai wadah pengaduan sekaligus jalur komunikasi cepat antara pelaku industri dan pemerintah.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengungkapkan kejanggalan dalam distribusi gas nasional. Menurutnya, pasokan gas dengan harga normal di atas USD 15 per MMBTU tidak terganggu, namun gas dengan harga HGBT sebesar USD 6,5 per MMBTU justru dibatasi hingga 48%.
“Kalau pasokan untuk harga normal lancar, artinya tidak ada masalah di produksi hulu gas. Jadi kenapa yang HGBT malah dibatasi? Ini janggal,” tegas Febri di Jakarta, Senin (18/8).
Febri menduga ada upaya dari produsen gas membangun narasi pembatasan agar harga gas naik di atas USD 15 per MMBTU. Ia menegaskan tidak ada isu teknis produksi maupun distribusi gas di sektor hulu.
“Kami tidak ingin kejadian masa lalu terulang, ketika relaksasi impor menyebabkan utilisasi turun, industri tutup, dan pekerja kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Pusat Krisis untuk Kawal HGBT
Pusat Krisis dibentuk setelah banyak laporan masuk dari pelaku industri terkait penurunan tekanan gas, pembatasan pasokan, hingga harga yang dibebankan melebihi Perpres Nomor 121 Tahun 2020.
Menurut Febri, pusat krisis ini memiliki tiga fungsi utama, menampung pengaduan industri pengguna HGBT, menjadi dasar kebijakan Kemenperin dalam mengatasi krisis pasokan gas, serta wujud akuntabilitas publik Kemenperin.
“Kami mendengar langsung jeritan pelaku industri. Ada 130 ribu pekerja yang bergantung pada sektor ini, dan kami tidak boleh tinggal diam,” tambahnya.
Beberapa perusahaan dilaporkan harus melakukan rekayasa operasional. Ada yang mematikan satu lini produksi, mengganti bahan bakar gas dengan solar, bahkan menghentikan produksi.
“Konsekuensinya biaya melonjak tajam, dan ada potensi PHK. Industri keramik, gelas kaca, baja, hingga oleokimia paling terdampak karena sangat bergantung pada pasokan gas murah,” jelas Febri.
Febri menegaskan bahwa gas adalah komponen vital dalam proses produksi, baik sebagai energi maupun bahan baku. Karena itu, gangguan pasokan akan langsung menggerus daya saing manufaktur nasional.
“Kalau gas dibatasi, otomatis kapasitas produksi turun, biaya naik, dan ancaman PHK bisa terjadi. Ini soal kelangsungan usaha,” katanya.
Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT nantinya juga akan bekerja sama dengan asosiasi industri untuk menghimpun data real-time, melakukan verifikasi lapangan, serta advokasi kebijakan ke kementerian terkait.
“Kami pastikan setiap aduan akan ditindaklanjuti. Crisis Center ini adalah bentuk keberpihakan pemerintah agar industri tidak merasa sendirian,” tutup Febri.