banner 728x250

Penyandang Disabilitas Bisa Melakukan Kekerasan Seksual, KND: Atas Kesadaran Penuh

Tersangka pelaku pelecehan seksual IWAS alias Agus Buntung. (Foto: istimewa)

ABNnews – Polisi telah menetapkan IWAS alias AG sebagai tersangka dalam dugaan kekerasan seksual. Berdasarkan berbagai sumber pemberitaan, jumlah korban dikabarkan mencapai 15 orang yang semuanya perempuan, beberapa korban diantaranya bahkan masih anak-anak.

Sialnya, untuk membela diri AG selalu memberikan narasi yang menonjolkan kekurangan fisiknya. “Tidak mungkin saya melakukan kekerasan seksual, sementara saya enggak bisa buka celana sendiri, enggak bisa buka baju sendiri. Semua masih dibantu oleh ibu saya,“ kalimat ini berulang kali diucapkannya.

Narasi itu secara konsisten ia sampaikan kepada penyidik dan jurnalis yang belakangan membangun persepsi masyarakat untuk tidak mempercayai sangkaan terhadap AG..

Namun, lama-kelamaan kebohongan itu terungkap dengan fakta yang sebenarnya. Kasus pelecehan seksual oleh difabel ini seakan menyadarkan masyarakat bahwa keterbatasan yang dimiliki penyandang difabel tidak menutup kemungkinan mereka untuk melakukan tindak kejahatan, termasuk tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).

Penyandang Disabilitas Bisa Menjadi Tersangka

Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna Aman Damanik, mengatakan pernyataan tersebut merespons terkait kasus TPKS yang dilakukan oleh penyandang disabilitas tunadaksa berinisial AG di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

“Penyandang difabel adalah manusia pada umumnya. Meskipun memiliki hambatan individu maupun lingkungan, tetapi tidak menafikan bahwa mereka bisa sebagai tersangka, pelaku, saksi, ataupun korban,” ujar Jonna dalam konferensi pers via daring dikutip Antara, Rabu (11/12/2024).

Jonna mengatakan, pihaknya meyakini Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan aparat penegak hukum akan menjalankan tugasnya secara profesional dan transparan dalam mengusut kasus AG ini.

Pelaku Melakukannya Atas Dasar Kesadaran Penuh

Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, mengatakan tindak pidana yang dilakukan difabel tidak boleh diberikan keringanan secara hukum karena dapat membuka peluang tindakan kriminal yang dimanfaatkan oleh orang jahat.

“Kita tidak bisa menjadikan alasan kepada teman-teman difabel yang melakukan tindak pidana, karena ini nanti akan menjadi presiden buruk, misalkan tindakan ini dimaafkan atau di excuse maka penyandang disabilitas akan dimanfaatkan orang-orang jahat untuk tindak-tindak kriminal,” ucap dia.

Bahrul menegaskan, apa yang dilakukan AG atas dasar kesadaran penuh maka harus diproses secara hukum sebagaimana mestinya.

“Dia (AG) bukan penyandang disabilitas mental atau intelektual, dia adalah seorang disabilitas fisik. Jadi apa yang dia lakukan atas dasar kesadaran penuh, maka ini harus diproses secara hukum,” ujar Bahrul.

KND Pastikan Akomodasi Untuk AG Sesuai UU

Karena itu, kehadiran KND dalam kasus AG untuk memastikan aparat penegak hukum menerapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dan PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang akomodasi yang layak bagi penyandang difabel yang berhadapan dengan hukum atau pengadilan.

Menurut Bahrul, jika AG terbukti bersalah maka harus dihukum sebagaimana mestinya.

“Jika tersangka terbukti bersalah, terbukti melakukan tindak pidana, maka harus dihukum sebagaimana mestinya. Yang penting hak-hak akomodasi selayaknya (bagi penyandang difabel) dipenuhi,” tutur Bahrul.

Polda NTB Beri Akomodasi Layak Untuk AG

Setelah melihat prosesnya, Jonna Damanik melihat aspek yang berkaitan dengan status pelaku sebagai penyandang difabel. Menurutnya, Polda NTB telah memberikan akomodasi yang memadai selama proses hukum terhadap pelaku berlangsung.

“Polda NTB telah memenuhi prinsip-prinsip akomodasi yang layak bagi penyandang difabel sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020. Beberapa langkah yang dilakukan meliputi penilaian personal terhadap pelaku, penerapan tahanan rumah berdasarkan rekomendasi KDD (Komite Disabilitas Daerah) NTB, serta penyediaan pendamping hukum bagi pelaku selama proses hukum berlangsung,” tutur Jonna.

KND menegaskan, penyediaan akomodasi yang layak bagi pelaku tidak berarti mengesampingkan hak-hak korban. Sebaliknya, langkah ini merupakan bagian dari pemenuhan prinsip keadilan inklusif dalam sistem peradilan di mana semua pihak, baik korban maupun pelaku, mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan hak masing-masing. (Ilham Cahyadi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *