ABNnews – Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana) Samuel F Silaen mengatakan, naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%, demi gaji dan tunjangan pejabat naik merupakan imbas dari APBN yang sakit parah hingga stadium 4. Kondisi APBN yang sakit parah tentu menghantui jalannya pemerintahan Prabowo- Gibran
“Tidak ada yang terjadi di dunia ini, termasuk orang tidak ada yang mendadak sakit keras atau penyakitnya langsung stadium 4, tentu itu berlangsung secara bertahap dan akhirnya sampai pada titik stadium 4,” ujar Silaen di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Menurutnya, kondisi APBN yang sakit parah imbas dari korupsi yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Oleh karena berbagai cara pun dilakukan untuk memulihkan APBN termasuk dengan menaikan pajak secara instan. Cara instan tersebut saja memeras keringat rakyat Indonesia yang tujuannya demi menggaji karyawan pemerintah yang didalamnya terdapat pejabat- pejabat.
“Jumlah pejabat yang banyak sekali, tidak memiliki implikasi langsung terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Yang jelas adalah bahwa banyaknya pejabat justru jadi beban APBN sehingga banyak menyedot APBN untuk gaji, tunjangan dan lainnya khususnya di kabinet Presiden prabowo yang sangat gemuk itu,” jelasnya.
“Kabinet gemuk itu jelas sangat vulgar bagi-bagi kue kekuasaan kepada para elit politik yang mendukung memenangkan duel pilpres 2024,” imbuhnya.
Silaen menegaskan, saat ini Indonesia sedang sakit keras, baik dengan kondisi APBN kritis dan tingkat korupsi yang tinggi. Oleh karena itu pajak menjadi salah satu bagian dari cara mendapatkan pemasukan bagi negara. Apalagi semua jabatan harus dianggarkan APBN. Sementara APBN sedang boncos- boncosnya, tapi pemerintah sepertinya tidak peduli hal itu. Padahal yang menanggung beban APBN itu bukan elite ataupun pejabat- pejabat tapi rakyat bawah.
“Sebab para elit dan pejabat negara hidup makmur dari fasilitas negara, gaji dan tunjangan dan seterusnya, “ungkap mantan fungsionaris DPP KNPI itu.
“Rakyatlah yang akan dikejar- kejar lewat paket- paket pajak yang sadis dan tidak berprikemanusiaan, menyasar rakyat. Rakyat yang menanggung beban APBN dapat dilihat dari postur penerimaan negara 82,4% itu diperoleh dari pajak. Artinya rakyat Indonesia jadi ‘sapi perah’ yang akan diuber-uber lewat berbagai kenaikan pajak yang imbasnya kenaikan harga bahan pokok dan lain sebagainya,” imbuh alumni Lemhanas Pemuda 2009 itu.
Silaen menegaskan, kenaikan PPN berdampak multiplayer efek, diikuti kenaikan pajak restoran, hotel dan seterusnya. Hingga tak terhitung caranya pemerintah memungut pajak dari rakyat Indonesia. Karena yang paling mudah digigit dan diperas adalah rakyat. Apapun dikenai pajak demi menggaji karyawan pemerintah dari pusat sampai daerah. Sementara karyawan swasta hidupnya ngos-ngosan hanya untuk menyambung hidup karena gaji sudah hampir tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan keluarga.
“Karena kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan, bila biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengusaha maka secara otomatis akan berimbas pada kenaikan harga- harga kebutuhan. Akibat kenaikan pokok produksi maka menimbulkan kenaikan harga pokok penjualan,” bebernya.
Silaen menilai bayang- bayang Jokowi akan menghantui perjalanan kabinet Prabowo untuk 5 tahun yang akan datang. Bila tidak diamputasi atau bypass maka penyakitnya akan menjalar ke seluruh tubuh pemerintahan Prabowo, sehingga tidak mempan ketika diberikan obat biasa karena sudah stadium 4. Kondisi demikian tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan Indonesia dimasa yang datang.
“Bisa saja Indonesia bubar dan tinggal kenangan,” tandasnya.
Terkait pejabat negara yang membuat rakyat sengsara tidak dikenakan sanksi hukum, Silaen menilai, hal tersebut karena semua pejabat negara sudah terkena virus korupsi sistemik stadium 4. Oleh karena itu jika Ingin menyembuhkannya maka harus diamputasi atau di bypass atau istilah yang dipakai kalangan aktivis i adalah potong satu generasi.
“Artinya harus dilakukan penyehatan yang extra ordinary crime. Mulai dari pemiskinan koruptor dan seperti cara Singapura. Minimal itu dilakukan sehingga penyakit kronis bisa diobati,” paparnya.
Ketua Umum Barisan Relawan Nusantara (BaraNusa), Adi Kurniawan menegaskan, sudah dipastikan jika pajak naik maka semua kebutuhan pokok bakal ikut naik. Sehingga kenaikan pajak itu bakal membuat rakyat susah. Sayangnya, saat ni Presiden Prabowo ibarat menyembuhkan penyakit yang ditinggalkan Jokowi. Banyak infrastruktur mangkrak termasuk IKN yang hingga kini belum jalan pembangunannya.
“Ditambah lagi meningkatnya jumlah kursi kementerian dan wakil menteri yang pasti butuh uang banyak untuk mengajinya. Belum lagi soal bagaimana menuntaskan janji kampanye Prabowo yang mesti dilaksanakan. Belum lagi utang negara yang tinggi,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintahan Prabowo membutuhkan dana besar bahkan berdasarkan info yang didapatnya Prabowo juga bakal menggenjot pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) demi pemasukan kas negara. Sehingga siap-siap saja nasib rakyat bakal tercekik. Adi menuturkan, kondisi rakyat saat ini sangat dilematis karena semua persoalan itu rakyat yang merasakan dampaknya. Sementara para pejabatnya malah mendapatkan kesejahteraan dari rakyat.
Ketua Front Rakyat Jakarta Menyala (FORJAM) Tubagus Fahmi pun meminta agar pemerintahan Prabowo untuk tidak menaikan pajak. Karena dipastikan nasib rakyat yang bakal menderita. Bahkan saat ini bannyak rekanan pengusaha yang mengeluh bakal naiknya pajak. Karena bakal membebani biaya produksi.
“Jadi rakyat siap turun ke jalan kalau pajak naik,” tandasnya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie AFP memastikan penundaan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% tidak perlu mengubah Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dolfie bahkan memungkinkan tarif PPN turun asal dalam rentang yang sudah ditetapkan, yaitu 5-15%.
“Undang-undang pajaknya enggak perlu dirubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah. Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR,” jelasnya.
Pada periode pemerintahan sebelumnya, Komisi XI sudah mempertanyakan rencana implementasi PPN 12%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kala itu berpandangan, keputusan PPn harus menunggu pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden. Berganti pemerintah, menurut Dolfie belum ada tanda-tanda perubahan aturan. Sementara tambahan penerimaan dari kenaikan PPN sudah masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Nah mungkin sampai saat ini belum ada arahan terbaru dari presiden terkait itu. Karena kalau itu diturunkan menjadi 11% aja misalnya, maka pemerintah kehilangan pendapatan Rp50 triliunan kira-kira,” jelasnya.
Berdasarkan kajian LPEM FEB UI dalam Seri Analisis Makro Ekonomi Indonesia Economic Outlook 2025 disebutkan bahwa PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi.
“Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan,” kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.
Dalam kajian LPEM FEB UI, Teuku menyebutkan beban saat tarif PPN masih sebesar 10% pada periode 2020-2021, rumah tangga kaya atau 20% terkaya menanggung 5,10% dari pengeluaran, sementara rumah tangga miskin atau 20% masyarakat termiskin menanggung 4,15% dari pengeluarannya. Setelah kenaikan tarif PPN 11% di 2022-2023, rumah tangga kaya memikul 5,64% dari pengeluaran untuk PPN. Sedangkan rumah tangga miskin hanya 4,79% dari pengeluarannya.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Deni Surjantoro mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% di 2025 telah melalui pembahasan mendalam antara pemerintah dengan DPR RI. Rencana itu disebut telah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk ekonomi dan sosial.
“Pada dasarnya kebijakan penyesuaian tarif PPN 1% tersebut telah melalui pembahasan yang mendalam antara pemerintah dengan DPR dan pastinya telah mempertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekonomi, sosial dan fiskal,” kata Deni di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Selain itu, Deni menyebut rencana kenaikan PPN menjadi 12% juga telah memperhatikan kajian ilmiah yang melibatkan para akademisi dan praktisi. “Bahkan juga memperhatikan kajian ilmiah yang melibatkan para akademisi dan para praktisi,” ucap perwakilan dari kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu.***
Bagus Iswanto