banner 728x250
Opini  

Dunia Virtual dan Keteraturannya

Ilustrasi (Photo by camilo jimenez on Unsplash)
banner 120x600
banner 468x60

ABNnews – Di era digital orang mulai hidup dibalik layar, alam virtual seakan menggantikan yang aktual, yang maya kini sudah menjadi nyata. Kemudahan, kecepatan, ketepatan, membawa kenikmatan yang didukung system-sistem jejaring elektronik menjadi penguat sistem online atau terhubung. Dalam kehidupan di balik layar sekarang ini, boleh dikatakan hampir semua bagian data, kebijakan, informasi dan lainnya semua ada dibalik layar.

Kejahatan diera digital bisa dikendalikan dan dilakukan dari balik layar. Orang-orang yang bekerja dalam dunia nyata, kini semakin terpojok dan tersisih seakan mereka menjadi tenaga-tenaga kasar yang menjadi pesuruh untuk mengaktualkan apa yang ada dalam dunia virtual. Mereka yang ada dilapangan seakan seperti dalam kontrol dan pengendalian mesin atau robot. Manusia seperti pion-pion catur saja. Penghargaan atas keringat dan kerja keras mereka akan semakin pudah mungkin bahkan akan luntur.

banner 325x300

Dunia nyata akan menjadi fakta bagi yang impikan atau diprogramkan dalam dunia virtual. Prediksi akan konflik antara yang aktual dan virtual semestinya sudah mulai disiapkan atau setidaknya mereduksi kemungkinan-kemungkinan hancurnya peradaban konvensional yang akan diubah dengan peradaban digital.

Benturan-benturan peradaban ini akan terus terjadi sampai suatu ketika tatkala sudah tidak mampu diatasi akan terjadilah konflik fisik sebagai suatu keniscayaan yang tak terelakan. Anti kemajuan atau anti teknologipun akan bisa terjadi dan benturan kepentingan akan terus terjadi disemua lini.

Banyak film atau cerita fiksi (scientific fiction) yang menggambarkan dan menunjukan akhir dari peradaban atau benturan teknologi dengan dunia nyata. Sinergitas antara virtual dengan aktual sejak awal mula sudah diprogramkan menjadi suatu sistem yang saling mendukung dan menguatkan.

Kepentingan pengkastaan dan pendiskriminasian antar golongan tidak boleh terjadi, karena akan menjadi isu pembenaran untuk perebutan sumber daya dan pendominasian atau penguasaan atas segala sumber daya dan potensi-potensinya. Pemahaman atas virtual dan aktual semestinya sejak awal menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi mata uang yang menjadi satu.

Dunia Konvensional versus Dunia Virtual

Dunia maya semakin merajai dalam era digital, hidup ini seolah dalam kesendirian walau hadir dalam kebersamaan. Hidup di depan layar dan melakukan kehidupan tanpa menghadirkan tubuh secara nyata.
Virtual (maya) adalah nyata dalam dunia digital. Dari komunikasi, informasi terhubung (online) menjadi sesuatu yang penuh dengan hiruk pikuk dalam ketenangan (silent).

Kehadiran tanpa menumbuh ada sisi keuntunganya tatkala menembus batas dan sekat ruang maupun waktu. Namun ia akan kehilangan suatu rasa atau sense hubungan suasana hati dan jiwa. Dalam dunia yang tidak menubuh akan banyak masalah yang bisa menjadi ancaman dan bahkan penghancuran. Kekejaman dunia virtual pun bisa menjangkiti generasi muda akan hal-hal yang kontra produktif.
Perjalanan panjang perubahan yang begitu cepat dalam alam virtual dunia tidak menubuh akan menjadi harapan sekaligus ancaman.

Pemikiran dan upaya perbaikan pada era digital memang tidak bisa lagi dipikirkan secara sederhana namun pemikiran secara holistic atau sistemik akan menjadi suatu landasan yang bisa melampaui perubahan dan mampu mengatasinya.

Era digital dan dampaknya pada pendidikan dan pengajaran secara virtual akan berdampak luas bagi pendidikan dan lembaga-lembaganya. Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di era digital seakan digeser dengan cara-cara virtual atau bisa belajar di mana saja. Apakah kehadiran AI (Artifivial Intilligence) dapat menjamin kualitas atau hasil didik seperti yang diharapkan? Tentu bisa, tatkala pola pendidikan dibangun atas dasar keutamaannya. Tatkala keutamaan tidak ditemukan dan dilakukan tambal sulam atau sebatas memenuhi target jam pelajaran sejatinya merusak peradaban.

Era digital, era media seakan menguasai jalur -alur komunikasi dan informasi walau sarat distorsi, entah besar atau kecil. Distorsi ini yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, pada umumnya yang berkaitan dengan sumber daya. Apalagi budaya dalam birokrasi masih kental model primordial dan pendekatan personal.

Distorsi ini juga terjadi pada pembelajaran di lembaga pendidikan. Apalagi “broker” merambah dan memanfaatkan “era post truth” untuk menggoreng, membully bahkan membranding yang keliru. Pembenaran-pembenaran akan semakin kental bahkan mampu menggerus kebenaran. Masalah kekuasaan dan penguasaan sumberdaya akan semakin marak dan proxy war menjadi pilihan. Siapa berbuat apa hingga punya apa menjadi ajang saling serang.

Dunia virtual kini menjadi ruang yang memiliki warganet (netizen). Mereka hidup dalam sistem-sistem virtual dalam pendukung aktivitas aktual sehari-harinya. Dalam sistem-sistem pendukung menggantungkan applikasi yang berbasis pada AI dan Iot. Warga net sibuk atau disibukan berbagai aktifitas dalam dunia virtual. Smart phone/gadget seakan tidak boleh lepas dari kehidupannya dari bangun tidur hingga saat akan tidur. Era digital menggeser banyak kebiasaan lama memasuki tataran baru.

Di dalam pendidikanpun dunia virtual mulai merambah. Lagi-lagi isu primordialisme masih kuat dan rasionalisme dikalahkan. Pendekatan personal dijembatani makelar broker atau vendor yang mampu membahagiakan ndoro-ndoro. Mereka memanfaatkan peluang mediasi. Di era digital para broker akan memanfaatkan melalui netizen membangun buzer, membangun jejaring dan memanfaatkan data maupun fakta untuk pembenaran. Siapa yang dianggap menjadi penghalang atau duri dalam daging akan dilumat. Isu yang ditabur memang menarik bahkan seakan penuh pencerahan walau faktanya penyesatan.

Keutamaan bagi lembaga pendidikan ini menjadi penting dan untuk apa hasil didiknya digunakan dalam hidup dan kehidupan yang sejatinya juga bagi pembangunan dan pemeliharaan peradaban.

Peradaban di era digital akan ditandai dengan sistem yang berbasis teknologi. Seni budaya merupakan suatu tanda olah rasa bagi persemaian tumbuh berkembangnya suatu peradaban, muncul digital art yang mampu menembus ruang waktu seolah melibas segala sesuatu yang tersekat ruang dan waktu. Apa saja bisa diperoleh dengan cepat dan berada di genggaman tangan. Kekuatan iinternet of thing dengan artificial intellegence seolah meruntuhkan gaya lama yang tradisional manual dan parsial.

Di era digital seakan media menjadi arena baru pada dunia virtual yang menjadi disrupsi. Tatkala tidak siap bermedia maka dalam memanfaatkan media berdampak pada COI (conflick of interest). Memberdayakan media yang semestinya mendukung produktifitas dan meningkatkan kualitas hidup bisa-bisa menjadi sesuatu yang kontra produktif. Apalagi ini di era post truth, media seakan menjadi market place yang dapat digunakan sebagai ajang untuk mempengaruhi bahkan membangun opini publik melalui berita hoax yang memviralkan pembenaran agar dianggap sebagai kebenaran. Saling hujat saling serang seakan dunia virtual tidak membutuhkan keteraturan. Netizen pun semestinya dibangun bagi kemajuan suatu peradaban.

Rekayasa sosial dalam ranah virtual secara by design dapat digunakan dalam kepentingan apa saja. Boleh dikatakan kaum milenial paham dan menggunakan media sosial. Apa yang di sampaikan bisa langsung di share ke berbagai penjuru dunia atau secara global dalam hitungan detik. Dunia tanpa batas ruang dan waktu. Apa saja kapan saja dan siapa saja bisa.

Media menjadi power on hand yang dapat membantu atau sebaliknya dalam berbagai aktivitas manusia dalam berbagai gatra kehidupan. Idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan, hukum, pertahanan. Berbagai isu mudah dan cepat dihembuskan. Media sosial banyak menggeser tatanan kehidupan dari cara konvensional bergeser ke arah yang kekinian. Tatkala konten yang didesign untuk kepentingan tertentu atau kelompok tertentu maka akan menjadi potensi konflik dan kontra produktif.

Pilar dengan berbagai sendi kehidupan sebagai simbol kedaulatan dan peradaban bangsa dapat digerus . Sehingga, sumber daya utama dan penting bagi kedaulatan dan daya tahan bangsa dapat diganggu hingga diambil alih. Oleh sebab itu di dalam memanage media setidaknya dilakukan untuk:
1. Memberitakan yang baik dan benar
2. Sesuai dengan fakta tidak mengada ada dan tidak direkayasa
3. Memberikan jaminan dan perlindungan HAM
4. Berpihak pada kemanusiaan supremasi hukum transparan akuntabel, informatif komunikatif dan mudah diakses
5. Menginspirasi, memotivasi dan memberi solusi serta mengedukasi
6. Membuat counter issue secara akademis dan yuridis atas sesuatu yang menjadi dampak era post truth terutama yang berkaitan dengan hoax
7. Menghibur, fun dan tetap pada norma norma etika dan moralitas

Hukum, penegakan hukum dan keadilan mau tidak mau harus memikirkan bagaimana Criminal Jusrice System mampu menjadi pilar peradaban dan membangun sistem sistem aplikasi aplikasi yang berbasis AI untuk :
1. Recognize
2. Maping
3. Analyse
4. Produk dalam bentuk algoritma
5. Networking
6. Counter issue
7. Media management
8. Pengembangan intelejen
9. Emergency maupun Contigency
10. Quick response
11. Index Safety and Security
12. Mengembangkan model model pemolisian yang mampu mendukung sistem pelayanan publik bidang hukum yang berstandar prima.
13. Menyiapkan SDM yang profesional, cerdas, bermoral dan modern
14. Menangani hoax yang menjadi senjata di era post truth ataupun serangan buzer
15. Menata keteraturan sosial di dunia virtual
16. Menangani cyber crime yang berkaitan dengan idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb
17. Menghadapi proxy war
18. Melindungi aset aset bangsa
19. Menjamin keamanan harta benda, jiwa raga dari citizen maupun netizen
20. Memikirkan model policing untuk mengatasi point 1 s/d 19

Tatkala era digital awal diterapkan maka akan terjadi banyak konflik terutama konflik kepentingan. Namun tatkala era digital telah mampu menggeser cara lama atas pola hidup dan kehidupan maka pola baru akan muncul yang dijembatani dan diberi ruang oleh media

Sistem-sistem elektronik yang saling terhubung di era digital akan di landasi artificial intellegence dan internet of things. Kekuatan artificial intellegence pada aplikasi-aplikasi digital adalah pada algoritma yang mampu memprediksi, memberikan solusi sebagai bentuk antisipasi yang disajikan secara real time

Era digital merubah budaya dan perilaku birokrasi dari sebatas pragmatis menjadi analisis yang diwujudkan dalam algoritma. Era digital yang diterima oleh publik dan sebagai bagian dari keteraturan sosial, sistem-sistem pelayanan publiknya menjadi prima dan mampu meminimalisir potensi-potensi terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Sistem algoritma yang diterapkan akan menjadi bagian dari akuntabilitas kepada publik

Sistem-sistem pelayanan publik di era digital di bidang keamanan, keselamatan, hukum, administrasi, informasi dan kemanusiaan akan menembus sekat ruang dan waktu dan membantu pada tingkat manajemen maupun operasional. Sistem-sistem on line yang ada akan dapat mensinergikan satu sama lainnya bahkan akan menguasai pasar dalam berbagai lini kehidupan. Tatkala terjadi disrupsi maka akan ada sesuatu yang kontraproduktif. Keteraturan di dunia siber dan pada sistem pelayanan virtual dioerlukan adanya sistem pengaman dan pengawasan serta pertanggungjawaban secara siber.

Penulis
Cdl
Kasespim Lemdiklat Polri
Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *