banner 728x250

Minta Tidak Menganulir Putusan MK soal Pilkada Ribuan Buruh Kepung DPR, Pengamat: Jokowi Bisa Dimakzulkan

ABNNews – Ribuan buruh yang tergabung Partai Buruh bakal mengepung Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jakarta, Kamis (22/8/2024).

Mereka menuntut DPR sebagai wakil rakyat tak melawan dan mengubah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII /2023 terkait syarat Pilkada.

“Peserta aksi diikuti 2000 buruh. Aksi dilakukan tanpa kekerasan, terukur, terarah, konstitusional dan bertanggungjawab. Aksi di DPR,” ujar Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh, Kahar S Cahyono saat dikonfirmasi, Rabu (21/8/2024).

“Tuntutan aksi mendesak DPR RI untuk tidak melawan dan mengubah Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024,” imbuhnya.

Kahar mengungkapkan, setelah di DPR, aksi akan dilanjutkan di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jl Imam Bonjol, Jakarta, pada keesokan harinya atau pada Jumat (23/8/2024). Dalam aksi di KPU ini, massa Partai Buruh menuntut lembaga penyelenggara pemilu segera mengeluarkan PKPU sebagai tindak lanjut atas putusan MK.

“Mendesak KPU paling lambat tanggal 23 Agustus 2024 sudah mengeluarkan PKPU sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024,” tandasnya.

Dimakzulkan

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan memgatakan, putusan MK Nomor 60/PUU-XXII /2023 sangat baik bagi demokrasi Indonesia, karena meminimalisir kemungkinan kartel politik yang akan membawa Indonesia menjadi negara tirani yang dikuasai partai politik.

Putusan MK ini lebih sesuai dengan amanat Konstitusi Pasal 18 ayat (4), bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis: semakin rendah ambang batas pencalonan kepala daerah, maka semakin baik tingkat demokrasi.

“Tapi nampaknya, putusan MK yang pro demokrasi dan kedaulatan rakyat tersebut disikapi berbeda oleh sekelompok masyarakat, khususnya elit politik istana dan kroninya,” jelasnya.

Anthony menegaskan, jika Presiden Jokowi nekat menerbitkan Perppu yang bertentangan dengan Putusan MK, apalagi mengembalikan UU atau pasal dalam UU yang inkonstitusional dan sudah dikoreksi oleh MK, maka secara nyata-nyata Jokowi melanggar Putusan MK dan melanggar Konstitusi yang bisa memicu gesekan di akar rumput atau masyarakat.

“Untuk itu, Jokowi bisa seketika itu juga dimakzulkan, seperti diatur di dalam Konstitusi,” tandasnya.

Lebih lanjut Anthony mengatakan, jika DPR membuat UU Pilkada baru secara kilat guna menganulir Putusan MK maka DPR secara nyata melakukan pelanggaran atau makar konstitusi. Karena Putusan MK berlaku final dan mengikat, dan berlaku seketika (pada saat dibacakan, pada 20 Agustus 2024), kecuali dinyatakan lain secara eksplisit di dalam Putusan MK tentang masa berlakunya.

“Begitu pun kalau KPU tidak merevisi Peraturan KPU sesuai Putusan MK, maka KPU melanggar kode etik seperti tercermin dari Putusan DKPP, tetapi tidak membatalkan pencalonan yang sesuai Putusan MK,” paparnya.

“Sudah menjadi hak dan kewajiban rakyat untuk melindungi konstitusi dan merebut kedaulatan rakyat, dengan cara apapun,” imbuhnya.

Inskonstitusional

Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai penyelenggaraan Pilkada 2024 inkonstitusional jika tidak mengikuti perubahan aturan yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).

Titi menjelaskan Putusan MK Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 bersifat final dan mengikat serta berlaku bagi semua pihak, termasuk untuk DPR dan pemerintah.

Anggota Dewan Pembina Perludem itu menyebut revisi UU Pilkada adalah upaya pembangkangan konstitusi. Menurutnya, apa yang dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR hari ini tak boleh dibiarkan. “Jelas putusan MK final dan mengikat serta berlaku serta merta bagi semua pihak atau erga omnes,” kata Titi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/8/2024).

Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan soal syarat pencalonan kepala daerah di UU Pilkada. Putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah.
Pada aturan sebelumnya, partai atau gabungan partai harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah nasional. Saat ini, ambang batas menyesuaikan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) masing-masing daerah. Ambang batas berkisar di rentang 6,5 persen hingga 10 persen.***

Bagus Iswanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *