ABNnews – Setara Insitute mengkritik persetujuan Badan Legislasi (Baleg) DPR atas revisi Undang Undang Pilkada yang diklaim sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani menyatakan, revisi cepat ini mencerminkan “vetokrasi” oleh sebagian elit politik yang ingin menguasai sepenuhnya ruang-ruang politik dalam kontestasi Pilkada serentak 2024.
“Vetokrasi dalam konteks ini adalah kesepakatan elit yang memveto aspirasi publik dan interpretasi konstitusi, yang sebelumnya telah dijaga oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024. Putusan tersebut bertujuan menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas” kata Ismail dalam keterangannya yang diterima redaksi sesaat lalu, Kamis (22/8).
“Bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil,” sambungnya.
Ismail mengatakan, rumusan syarat pencalonan telah ditafsirkan sesuai keinginan para elit politik untuk menguasai seluruh jalur pencalonan dalam Pilkada. Salah satu contoh tafsir yang menurutnya mengada-ada adalah mengenai syarat usia 30 tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan.
“Putusan MK seharusnya berlaku sebagaimana adanya setelah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat, dan self-executing” kata Ismail.
Ia juga mengkritik DPR karena tidak mematuhi putusan MK, yang ia sebut sebagai pelanggaran hukum serta pelanggaran terhadap prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan.
“Revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.
osen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menegaskan, Mahkamah Konstitusi, sebagai pemegang supremasi judisial, seharusnya menjadi satu-satunya badan yang berwenang menafsirkan konstitusi.
Jika konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsirkan konstitusi, maka sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh. Hal ini, kata dia, menjauhkan negara dari mandat respublika karena rakyat dan aspirasi mereka tidak lagi menjadi pusat dalam perumusan legislasi dan kebijakan publik.
“Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik,” tandasnya.