ABNNews – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, Negara yang semula luar biasa tapi dijalankan dengan pengabaian terhadap fungsi-fungsinya dalam menyejahterakan dan melindungi rakyatnya, bisa jadi tiba-tiba menjadi “bekas negara”.
“Saat ini situasi Indonesia mirip seperti sebuah mobil rongsok yang tidak pernah dirawat, abai terhadap kondisi, tiba-tiba bisa menjadi mobil macet dan akhirnya jadi rongsokan. Bisa jadi negara itu dihadapkan mendadak pada situasi yang sangat rumit dan berat,” kata Wijayanto dalam diskusi publik dengan tema “Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa” yang diadakan oleh INDEF bekerjasama dengan Universitas Paramadina secara daring melalui zoom meeting pada Senin (19/8/2024)
Menuutnya, anak kandung reformasi antara lain KPK, MK, Desentralisasi Daerah, semuanya tidak menghasilkan kebaikan tapi akhir-akhir ini justru memunculkan permasalahan. Para kepala daerah banyak tersangkut masalah di mana Ketua KPK ternyata tersangka Korupsi, begitu juga MK dan MA.
Wijayanto melihat bahwa berbagai indikator tersebut menjadi sinyal bahwa negara semakin dekat pada titik di mana negara tidak bisa lagi menjalankan fungsinya, di mana kejadian tersebut pernah terjadi pada 1998.
“Sejak 2018, indeks persepsi korupsi Indonesia terus melejit dari 17 ke 40. Itu titik puncak prestasi kita dalam pemberantasan korupsi. Setelah 2018 melorot drastis dari 17 ke 34 dalam waktu kurang dari 4 tahun, ini menandakan indikasi bahwa negara sedang punya masalah besar” katanya.
Ekonom Universitas Paramadina tersebut menganalisa presiden per presiden, ternyata Megawati dan Gus Dur berkontribusi dalam perang melawan korupsi. SBY jilid 1 dan 2 juga berperang dan indeks melejit 14 point. Namun, selama 9 tahun Jokowi indeks tersebut stagnan, memperoleh skor dari 34 ke 34.
“Pada akhir masa jabatan Jokowi, tren indeks persepsi korupsi meluncur ke bawah sangat cepat. kalau tidak ada perbaikan, maka indeks itu akan meluncur lebih cepat lagi pada tahun-tahun mendatang” imbuhnya.
Tak hanya itu, dua indeks yang lain yaitu demokrasi dan kebebasan pers juga menurun tajam. Kebebasan pers meluncur ke level 51,2 artinya media alami kesulitan untuk ekspresikan sesuatu apa adanya. Indeks demokrasi juga turun tajam dilihat pada kejadian di Pilpres 2024 dan Pilgub indeks demokrasi berpeluang besar turun.
Tiga indikator di atas adalah indikator yang valid, tentang kemerosotan yang terjadi di Indonesia. Sehingga yang dikhawatirkan, ketika ‘tipping point’ masalah itu muncul bersamaan, maka Indonesia akan sangat parah.
“Hal-hal buruk di atas bisa terjadi ketika para ‘pemain’ negara bermain dengan tidak mengindahkan aturan yang ada, jadi bukan karena cerdas ataupun hal lainnya para elite yang ada juga bermain tanpa koridor etika dan moral” tambahnya..
Pemimpin Ambisius
Prof. Didin S. Damanhuri selaku Ekonom Senior INDEF dan Guru Besar Universitas Paramadina mengungkapkan banyak masalah moral berbangsa yang kompleks dan berat, sedang melanda Indonesia saat ini. Dalam 2 tahun terakhir, ada teater dari pemimpin yang ambisius ingin berkuasa selama 3 periode yang gagal.
Kemudian dilanjutkan lagi upaya penundaan pemilu yang juga gagal dan akhirnya ditempuh dengan merekayasa MK dan KPU sehingga terpilihlah Gibran Rakabuming Raka, sang anak, menjadi wakil presiden dengan segala kontroversinya.
Setelah pemilu 2024, Didin mengemukakan bahwa muncul gugatan tentang Pilpres yang disebutkan penuh kecurangan, dengan segala bukti yang disampaikan. Namun pada akhirnya ketua MK memutuskan bahwa Hasil Pemilu 2024 sah meski ada 3 dissenting opinion dari hakim MK.
“Muncul ekosistem politik yang sungguh buruk secara moralitas, ketika Airlangga Hartarto dipaksa mundur sebagai Ketua Umum Golkar. Spekulasi yang beredar yang bersangkutan telah dipanggil oleh Jokowi dan berdiskusi selama 2 jam, di mana akhirnya Airlangga memilih mundur sebagai ketua Golkar dan ajaibnya pemanggilan dirinya oleh Kejaksaan menjadi batal” tutur Didin.
“Juga kasus lain seperti pemaksaan membuka jilbab kepada 18 wanita Paskibraka oleh BPIP padahal pada tahun-tahun sebelumnya dibolehkan” tambahnya.
Merusak Fondasi
Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri mengemukakan, insititusi dalam kehidupan bernegara ibarat fondasi dengan pilar-pilar pertanian, industri dan lain sebagainya. “Atapnya adalah social safety net untuk melindungi rakyat kecil di mana tidak boleh ada si miskin yang homeless dan terpinggirkan. Sehingga yang kaya harus membantu lewat zakat, infak dan lainnya sebagaimana ajaran semua agama dalam hubungan antar manusia” tegas Faisal.
“Jokowi telah merusak fondasi itu, sehingga rumah Indonesia ini pilarnya oleng dan tidak mampu menopang social safety net” pungkasnya.
Faisal menilai kasus minyak goreng Airlangga Hartarto adalah kesalahan Jokowi yang telah melarang ekspor minyak goreng, terbukti ekspor tidak mengalami peningkatan. Aturan main telah dirusak dengan mengorbankan kambing hitam.***
Bagus Iswanto