ABNnews – Kinerja Menteri BUMB Erick Thohir kembali mendapat sorotan terkait proses restrukturisasi PT Angkasa Pura.
Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan Kementerian BUMN, terkesan terburu-buru untuk menyelesaikan proses restrukturisasi PT Angkasa Pura hingga saat ini masih belum rampung.
Salamuddin Daeng menjelaskan, terdapat berbagai isu krusial yang perlu diselesaikan terkait keberlangsungan perusahaan pengelola bandara ini sebagai aset strategis negara.
“Isu-isu ini meliputi kepentingan publik yang luas, fungsi sebagai pintu gerbang hubungan internasional, serta aspek pertahanan dan keamanan nasional,” katanya dalam keterangan yang dikutip pada Jumat, 26 Juli 2024.
“Proses restrukturisasi ini memang sebaiknya tidak dilakukan di masa transisi yang tinggal 3 bulan lagi,” tambahnya.
Ia pun menekankan, penting untuk memperhatikan pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto baru-baru ini bahwa pembangunan infrastruktur harus memperhatikan aspek pertahanan dan keamanan.
“Percuma membangun infrastruktur kalau negara tidak aman,” ujarnya.
Hal ini lanjut dia, untuk mengingatkan bahwa keberadaan infrastruktur strategis dalam sektor energi, pelabuhan, jalan, bandara, dan lain sebagainya.
“Jika tidak didasari oleh semangat patriotisme dan nasionalisme, dapat menjadi masalah pertahanan dan keamanan nasional,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui bahwa PT Angkasa Pura I (AP I), yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pengelola bandara, sedang melaksanakan program restrukturisasi operasional dan finansial. Adapun langkah langkah yang telah diambil adalah :
1. Perubahan Nama: AP I dan PT Angkasa Pura II (AP II) telah bergabung menjadi PT Angkasa Pura Indonesia (InJourney Airports) dan akan mengganti namanya menjadi PT Angkasa Pura Nusantara. Ini merupakan hasil dari penggabungan atau merger antara AP I dan AP II.
2. Penggabungan Usaha: Setelah perubahan nama, AP II akan berganti nama menjadi Angkasa Pura Indonesia. Kemudian, AP I akan digabungkan ke dalam Angkasa Pura Indonesia yang sebelumnya bernama Angkasa Pura II. PT Angkasa Pura Indonesia akan bertindak sebagai perusahaan penerima penggabungan.
Alasan utama restrukturisasi adalah masalah keuangan. AP I memiliki utang sebesar Rp 35 triliun akibat pandemi covid 19.
Sementara AP I sendiri telah menyiapkan program restrukturisasi yang mencakup upaya asset recycling, intensifikasi penagihan piutang, pengajuan restitusi pajak, efisiensi operasional, simplifikasi organisasi, dan penundaan program investasi.
“Tujuan utamanya adalah mengatasi tekanan pandemi dan memastikan kelangsungan operasional,” ungkapnya.
Salamuddin Daeng menuturkan perjanjian Restrukturisasi: AP I dan para kreditur telah sepakat untuk melakukan restrukturisasi fasilitas kredit. Beberapa poin yang disepakati meliputi tingkat suku bunga baru, penangguhan pembayaran sebagian bunga fasilitas kredit hingga 2023, dan perpanjangan jangka waktu kredit hingga 23 Desember 2031.
Namun sejauh ini proses restrukturusasi belum dapat dituntaskan. Terjadi konflik kepentingan dengan kementerian perhubungan karena fungsi bandara sebegai public services yang didalamnya terdapat kewenangan kementerian perhubungan yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi bandara.
“Sehingga perusahaan PT. AP 1 dan PT. AP2 tidak dapat diprivatisasi sehingga kewenangan negara melalui Kementerian perhubungan hilang,” tuturnya.
Selain itu proses restrukturisasi belum dilakukan sosiaslisasi secara memadai dengan para karawan AP1 dan AP2.
Sementara besar kekuatiran para karyawan terhadap keberlanjutan pekerjaan mereka, status hukum karyawan BUMN tersebut, nasib dana dana karyawan seperti Tabungan Hari Tua (THT), dana Pensiun dan lain sebagainya.
“Kekuatiran ini beralasan mengingat restrukturisasi selalu berujung pada “efisiensi” atau PHK terhadap karyawan baik secara perlahan lahan maupun sekaligus di anak anak Perusahaan BUMN,” tandasnya.
Oleh karena itu segala bentuk keputusan strategis terkait dengan eksistensi AP1 dan AP2 agar tidak dilakukan di masa transisi, namun sebaiknya menunggu pelantikan presiden dan wakil presiden baru.
Hal ini penting agar tercipta kepastian hukum, menghindari gejolak sekecil apapun yang menggangu proses transisi dan jaminan kepastian keberlangsungan operasional AP1 dan AP2 sendiri.
“Pemerintah dapat menjadikan waktu yang tersisa sekarang ini untuk membuka ruang komunikasi dengan semua pihak yang terkait,” pungkasnya.***