ABNnews – Rencana Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk menaikkan rasio utang Indonesia menjadi sebesar 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) mendapat perhatian khusus dari sejumlah ekonom. Pasalnya, kebijakan ini dapat memicu risiko krisis.
Warning bahaya dikeluarkan ekonom senior yang juga merupakan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri.
Menurutnya, dampak terburuk dari kenaikan utang yang tidak hati-hati itu bisa dicontoh dari kondisi krisis di Sri Lanka.
Faisal menjelaskan, Sri Langka kehilangan kepercayaan dari para investor yang menyebabkan surat utangnya tidak laku. Sebab, utangnya terus bertambah, namun hanya dapat dibiayai dari utang baru, bukan didasari atas kemampuan pengumpulan pajak yang efektif.
“Awal dari krisis itu ya dari fiskal, seperti yang terjadi di Srilankan,” ujar Faisal Basri dikutip Rabu, 17 Juli 2024.
Senada dengan Faisal, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menambahkan, permasalahan krisis gali lubang tutup lubang utang itu juga dapat mengikis belanja modal pemerintah.
Anggaran negara akan lebih banyak habis untuk membayar bunga utang ketimbang belanja produktif untuk pembangunan.
Ia menganggap, kondisi rasio utang yang saat ini berada pada level 36,6% dari PDB saja sudah menyulitkan Indonesia untuk pembangunan. Dia tak bisa membayangkan keadaan sulit yang akan dihadapi apabila rasio utang digenjot hingga 50%.
“Tanpa diimbangi kenaikan penerimaan negara, saya pikir rasio utang terhadap PDB semakin sulit,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) M. Faisal mengungkit peningkatan jumlah utang semasa pandemi Covid-19. Dia mengatakan kebijakan pelonggaran defisit pada masa itu yang berjalan selama 3 tahun saja sudah membuat utang Indonesia membludak.
“Hanya 3 tahun, itu pun kita harus membayar konsekuensinya, yaitu tahun depan utang jatuh tempo kita melompat hingga RP 800 triliun,” kata Faisal dikutip Jumat, (12/7/2024).
Faisal mengatakan membludaknya bunga utang tersebut tentu menimbulkan berbagai risiko fiskal dan risiko ekonomi. Fiskal, kata dia, menjadi tidak sehat karena anggaran terlalu banyak untuk membayar utang, sementara proyek-proyek strategis lainnya tak bisa dibiayai.
“Rencana kebijakan ini harus dilihat dampaknya sampai jauh,” ujarnya.
Sebelumnya, rencana Prabowo mengerek rasio utang mencapai 50% dari Produk Domestik Bruto diungkap oleh Hashim Djojohadikusumo. Hashim adalah adik Prabowo yang juga penasihat paling dekat presiden terpilih itu.
Hashim mengatakan peningkatan rasio utang itu akan digunakan untuk membiayai berbagai program belanja, termasuk makan bergizi gratis. Dia bilang peningkatan utang ini tentu harus dibarengi dengan peningkatan di sisi penerimaan.
Faisal mengatakan membludaknya bunga utang tersebut tentu menimbulkan berbagai risiko fiskal dan risiko ekonomi. Fiskal, kata dia, menjadi tidak sehat karena anggaran terlalu banyak untuk membayar utang, sementara proyek-proyek strategis lainnya tak bisa dibiayai.
“Rencana kebijakan ini harus dilihat dampaknya sampai jauh,” ujarnya.
Sebelumnya, rencana Prabowo mengerek rasio utang mencapai 50% dari Produk Domestik Bruto diungkap oleh Hashim Djojohadikusumo. Hashim adalah adik Prabowo yang juga penasihat paling dekat presiden terpilih itu.
Hashim mengatakan peningkatan rasio utang itu akan digunakan untuk membiayai berbagai program belanja, termasuk makan bergizi gratis. Dia bilang peningkatan utang ini tentu harus dibarengi dengan peningkatan di sisi penerimaan.
Sementara itu, Ketua Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan hal berbeda. Dia memastikan komitmen pemerintahan presiden terpilih terhadap batasan defisit APBN 2025 sebesar 3% dari PDB.
“Pemerintah tetap teguh pada komitmennya terhadap pengelolaan fiskal yang berkelanjutan dan hati-hati,” kata Dasco.***