ABNNews—Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr. R. Siti Zuhro, mengemukakan, masih sering ditemui komunikasi para elit politik yang justru membuat rakyat marah. Yang hanya menimbulkan sensasi belaka bagi elit tersebut.
“Kita belum selesai dengan Pembangunan character building bangsa. Yang terjadi, via pemilu dan pemilukada, kita sama sekali tidak membangun peradaban. Maka kita kehilangan etika moral, termasuk juga dipengaruhi oleh pola komunikasi yang buruk,” kata Siti Zuhro pada acara Bedah Buku ”RIAH-RIUH KOMUNIKASI: Momentum Politik dan Aktifitas Media Sosial”.
Acara yang diselenggarakan Universitas Paramadina bekerja sama dengan Lembaga Survei KedaiKOPI, GoodNews From Indonesia, Paramadina Public Policy Institute, Ikatan Alumni FIKOM Universitas Padjadjaran ini juga menampilkan Helmy Yahya, Profesional Media & Produser sebagai pembahas.
Dala paparannya, Helmy Yahya mengmukakan, menjadi keprihatinan nasional, banyak sekali para elit politik, anggota parlemen, kedapatan salah berbicara, salah komunikasi. Sehingga menimbulkan kegaduhan.
Itulah sebabnya, kata Hemy, sangat diperlukan komunikasi public yang baik, untuk menginfokan, menerangkan, mengklarifikasi, dan juga membantah. Semua memerlukan kemampuan komunikasi.
Menurutnya, Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Hanya sayangnya, makin tinggi gelar seseorang, makin tinggi jabatan dan tanggungjawabnya, maka biasanya makin tidak efektif pola komunikasinya.
“Catatan penting, berkomunikasi adalah bagaimana cara kita berbicara sesuai dengan Bahasa audiens kita. Dan dalam dunia komunikasi, pintar saja tidak cukup, dibutuhkan kepiawaian untuk personal selling. Jangan pernah memaksa audiens untuk memahami kita,” ujarnya.
Efektif dan Jujur
Lebih lanjut Siti Zuhro berpendapat, dari perspektif komunikasi public dan politik, harus dijadikan pembelajaran oleh masyarakat terutama elit politik Indonesia, bagaimana memberikan satu komunikasi yang efektif, riil, menggunakan empati Nurani dan jujur. Komunikasi seperti itu yang seharusnya dijaga.
Disebutkannya, apa yang disampaikan oleh elit, jangan sampai disalah pahami oleh rakyat. Tapi sayang, hal hal seperti itu tidak dipertimbangkan dengan baik. Penggunaan diksi, narasi, intonasi, kapan harus meninggi dan kapan merendahkan suara, dan seterusnya harus betul betul dipahami.
“Pola komunikasi antara komunikator dengan yang menerima informasi betul-betul difikirkan. Terutama bagi para pejabat public. Sebuah pola komunikasi yang efektif,” ujar Siti Zuhro.
Nadzar Lendi













