banner 728x250
Opini  

Musibah Banjir di Sumatera: Tragedi Kemanusiaan Akibat Keserakahan Manusia

Bencana di Sumatera. (Foto: istimewa)

Sejak 24–28 November 2025, banjir bandang dan longsor melanda Sumatera Utara, khususnya Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Data BNPB mencatat puluhan korban jiwa, ribuan warga mengungsi, serta kerusakan infrastruktur vital. Hujan ekstrem memang menjadi pemicu, tetapi kerusakan ekosistem hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat aktivitas industri ekstraktif memperparah dampak bencana ini.

Ekosistem Batang Toru adalah satu-satunya hutan tropis tersisa di Sumatera Utara, rumah bagi Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) dan ribuan spesies lain. Namun, kawasan ini terus terancam oleh pertambangan emas dan proyek industri energi.

WALHI Sumut menegaskan bahwa izin tambang di Batang Toru harus segera dievaluasi dan dicabut, karena terbukti memperbesar risiko banjir bandang dan longsor.

WALHI menduga ada tujuh perusahaan besar yang berkontribusi terhadap bencana ekologis di Sumatera Utara.

Dampak terhadap Perempuan dan Anak-anak

Bencana ekologis tidak pernah netral gender. Perempuan dan anak-anak adalah kelompok paling rentan:

– Perempuan sering menjadi penanggung jawab utama kebutuhan keluarga (air, pangan, kesehatan). Banjir dan kerusakan lingkungan membuat beban kerja mereka berlipat ganda, termasuk risiko kesehatan reproduksi akibat sanitasi buruk di pengungsian.

– Anak-anak kehilangan akses pendidikan karena sekolah rusak atau dijadikan tempat pengungsian. Mereka juga menghadapi trauma psikologis akibat kehilangan rumah dan anggota keluarga.

– Risiko kekerasan berbasis gender meningkat di lokasi pengungsian, di mana ruang aman bagi perempuan dan anak sering tidak tersedia.

– Kehilangan mata pencaharian (pertanian, kebun, usaha kecil) berdampak langsung pada perempuan yang menggantungkan hidup dari ekonomi lokal.

Dengan demikian, pencabutan izin tambang bukan hanya soal ekologi, tetapi juga soal keadilan sosial dan perlindungan kelompok rentan.

Analisis Hukum

1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) memberi kewenangan pemerintah mencabut izin lingkungan jika terbukti menimbulkan kerusakan.

2. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) memungkinkan pencabutan izin usaha pertambangan jika perusahaan tidak memenuhi kewajiban lingkungan.

3. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menekankan mitigasi bencana melalui perlindungan ekosistem.

4. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan Anak menegaskan kewajiban negara melindungi perempuan dan anak dari dampak bencana dan kerentanan sosial.

Pernyataan Sikap

1. Mendesak Pemerintah Pusat dan Daerah untuk segera mencabut izin pertambangan emas di sekitar Batang Toru, khususnya PT Agincourt Resources (Tambang Martabe).

2. Menuntut transparansi dan akuntabilitas perusahaan tambang dan energi atas kerusakan lingkungan yang memperparah bencana.

3. Mengajak masyarakat luas untuk mendukung gerakan penyelamatan Batang Toru sebagai benteng terakhir ekologi Sumatera Utara.

4. Meminta pemerintah memperkuat reforestasi dan perlindungan DAS sebagai langkah mitigasi jangka panjang menghadapi krisis iklim dan bencana hidrometeorologi.

5. Menekankan perlindungan khusus bagi perempuan dan anak-anak dalam setiap kebijakan penanggulangan bencana.

Presiden Prabowo dalam peringatan Hari Guru menyampaikan bahwa musibah bencana yang ada di Sumatera merupakan kerusakan alam. Hal ini berkaitan juga dengan pernyataan release Walhi tentang kerusakan alam yang terjadi.

Bagi kami Swarna Dwipa Institute melihat kerusakan alam ini sudah terjadi dari tahun ke tahun di berbagai wilayah di Indonesia, dan kejadian besar di wilayah Sumatera merupakan dampak yang luar biasa akibat kerusakan tersebut. Pasti ada pihak yang terkait akan kerusakan alam tersebut, karena hal tersebut perbuatan tangan tangan manusia.

Selaras dengan pernyataan sikap kami di atas, didukung oleh Pernyataan Resmi Presiden Prabowo mengenai kerusakan alam dan data yang diberikan oleh Walhi maka Swarna Dwipa Institute sekali lagi meminta sikap tegas pemerintah untuk menindak pihak pihak yang terlibat dalam perusakan alam tersebut.

Pernyataan Sikap Presiden merupakan Pesan Yang Jelas bahwa musibah bencana yang terjadi akibat kerusakan alam/ lingkungan.

Dan kami juga memandang bahwa bencana banjir di Sumatera bukan sekadar fenomena alam, melainkan akibat langsung dari keserakahan manusia dan didukung oleh kebijakan yang abai terhadap kelestarian lingkungan.  Sebagai contoh setiap izin tambang yang dikeluarkan di kawasan Batang Toru adalah izin untuk memperbesar risiko bencana dan penderitaan rakyat terutama perempuan dan anak-anak.

Kami menyerukan: Cabut izin sekarang juga terhadap pihak pihak yang terlibat dengan kerusakan alam di Sumatera dan juga daerah daerah lain! Demi keselamatan warga, keberlanjutan ekosistem, dan masa depan generasi mendatang.

Tim Peneliti Swarna Dwipa Institute (Frans Immanuel Saragih/Febby Lintang/Lutfi Nasution/ Tino Rahardian/Tohenda )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *