ABNnews – Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengungkap fakta kondisi industri baja nasional yang dinilai masih bergantung pada produk luar negeri. Ia menyebut lebih dari separuh kebutuhan baja dalam negeri masih dipenuhi impor, terutama dari China.
“Industri baja nasional perlu memperkuat perlindungan dan standar, khususnya untuk produk hilir, mendorong investasi di hulu, dan mengembangkan baja ramah lingkungan,” kata Faisol dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Senin (10/11/2025).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 562 perusahaan logam dasar dan 1.592 perusahaan barang logam yang tercatat aktif hingga 2021. Namun, kapasitas produksi nasional ternyata belum mampu menutup kebutuhan dalam negeri.
Indonesia menempati posisi produsen baja peringkat ke-14 dunia pada 2024, dengan capaian produksi 18 juta ton. Angka ini melonjak 110 persen dibandingkan 2019. Meski tumbuh, kontribusi itu masih belum cukup karena konsumsi baja nasional jauh lebih tinggi.
Sementara total produksi baja dunia mencapai 1,884 miliar ton, dengan China mendominasi 53,3 persen produksi global atau sekitar 1,005 miliar ton.
“Perbedaan signifikan antara konsumsi dan produksi ini mengakibatkan 55 persen kebutuhan baja domestik diisi impor, mayoritas dari China,” ujarnya.
Tak hanya itu, utilisasi pabrik baja nasional baru sekitar 50 persen. Artinya, banyak pabrik baja dalam negeri yang operasionalnya nganggur karena produk mereka tidak terserap pasar.
Faisol menjelaskan, produsen baja nasional masih terfokus pada sektor konstruksi dan infrastruktur. Padahal, ada pasar bernilai tambah tinggi seperti otomotif, perkapalan, hingga alat berat yang membutuhkan baja paduan dan baja khusus dengan spesifikasi lebih kompleks.
“Pasar sektor ini besar, baik di dalam negeri maupun global. Namun pengembangannya masih terbatas,” jelasnya.
Untuk memperkuat daya saing baja nasional, Kemenperin telah menyiapkan sejumlah langkah, antara lain:
* Penerapan SNI wajib pada 23 produk baja.
* Pengaturan lartas (larangan/pembatasan) impor.
* Smart regulation untuk mempermudah investasi industri baja terintegrasi.
* Bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap produk baja asal China, India, Thailand, Taiwan, Rusia, Belarusia, dan Kazakhstan.
“Trade remedies ini diberlakukan untuk melindungi industri nasional dari praktik dumping yang merusak pasar,” tegas Faisol.
Ia menuturkan, kebijakan ini diharapkan memperkuat struktur industri baja nasional, meningkatkan serapan pasar dalam negeri, dan mengurangi ketergantungan impor dalam jangka panjang.
“Kalau kita ingin mandiri secara industri, baja harus menjadi pondasinya,” tandasnya.













