ABNnews – Media sosial Instagram tengah heboh dengan unggahan akun @id****** pada Sabtu (18/10/2025) yang menyebutkan bahwa Pulau Jawa, pulau terpadat di Indonesia, akan tenggelam dalam kurun waktu 2050 hingga 2070. Penyebabnya disebut karena tekanan lempeng Australia dan eksploitasi air tanah oleh manusia.
“Pulau yang menampung setengah penduduk Indonesia ini perlahan tenggelam. Dari selatan, lempeng Australia menekan bumi Jawa. Dari utara, manusia menghisap air tanah tanpa henti…” tulis akun itu, mengutip prediksi ITB dan Badan Geologi.
Lantas, benarkah ramalan ini?
BRIN Buka Suara: Bukan Seluruh Pulau, Tapi Pesisir Utara Kritis!
Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dwi Sarah memberikan klarifikasi! Secara keseluruhan, ia menegaskan Pulau Jawa tidak akan tenggelam.
Namun, Dwi mengakui bahwa pesisir Jawa, terutama bagian utara, memang terancam tenggelam! Ancaman ini utamanya akibat penurunan permukaan tanah (land subsidence) dan kenaikan muka air laut.
“Pesisir Jawa utara itu terancam tenggelam akibat land subsidence dan kenaikan muka air laut,” kata Dwi dikutip Kompas.com, Kamis (23/10).
Adapun Jawa bagian selatan, ancamannya lebih kepada potensi gempa tektonik, bukan ancaman tenggelam.
Dwi menjelaskan, secara alamiah, pesisir utara Jawa rentan ambles karena tersusun atas endapan aluvial yang belum terkonsolidasi.
Namun, tekanan akibat aktivitas manusia membuat amblesnya tanah berlangsung dengan laju super cepat, yakni 1-10 cm setiap tahunnya. Penyebabnya antara lain: Pengambilan air tanah berlebihan, Alih fungsi lahan menjadi kawasan terbangun serta Adanya beban bangunan yang menambah tekanan.
Sri (nama panggilan Dwi Sarah) menjelaskan, kenaikan muka laut di Jawa bagian utara rata-rata hanya 5 milimeter per tahun. Sementara, laju amblesnya tanah bisa mencapai 5-10 sentimeter per tahun, bahkan melebihi angka itu di beberapa tempat.
“Jadi, laju amblesan ini satu ordo lebih besar daripada kenaikan muka laut. Oleh sebab itu, genangan air laut ke darat utamanya disebabkan amblesan, bukan semata-mata karena air laut yang naik,” tegasnya.
Untuk mengatasi ancaman ini, Dwi Sarah menyebutkan dua langkah mitigasi: struktural (seperti tanggul pantai) dan nonstruktural.
Mitigasi nonstruktural dinilai jauh lebih penting karena mengatasi akar masalah. Ini dilakukan dengan: Konservasi air tanah, Mengurangi pemakaian air tanah, serta Menyediakan pasokan air permukaan yang memadai, agar kebutuhan air bersih tidak lagi bergantung pada air tanah.