ABNnews – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) resmi menerbitkan aturan baru soal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 35 Tahun 2025 tentang Tata Cara Penerbitan Sertifikat TKDN.
Regulasi ini diklaim menjadi tonggak penting dalam memperkuat ekosistem industri nasional. Prosesnya kini dijanjikan lebih murah, mudah, cepat, dan berbasis insentif.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan, aturan baru ini menggantikan Permenperin Nomor 16 Tahun 2011 yang sudah berusia lebih dari 14 tahun.
“Regulasi itu tidak bisa dan tidak boleh dianggap sakral. Ketika ada dinamika dan kebutuhan baru di lapangan, pemerintah harus berani meregulasi ulang,” ujar Agus di Jakarta, Rabu (15/10).
Menurutnya, revisi ini bukan keputusan dadakan. “Sejak Maret 2025 kami sudah kick-off pembahasannya,” tambahnya.
Bukan Karena Trump Tarif
Agus menegaskan, perubahan aturan TKDN ini bukan karena tekanan luar negeri.
“Kalau kita ingat, Trump Tarif baru berlaku 1 April 2025. Pembahasan revisi kami mulai sebulan sebelumnya,” tegasnya.
“Jadi bukan karena Trump Tarif, tapi karena kesadaran kolektif bangsa untuk memperkuat produk dalam negeri,” lanjutnya.
Kebijakan TKDN berlaku untuk semua produk industri yang dibeli oleh pemerintah maupun BUMN/BUMD.
“Ukuran utamanya bukan apakah produk itu high-tech atau tidak, tapi apakah bisa diproduksi industri dalam negeri,” jelas Agus.
Jika produk berteknologi tinggi sudah bisa dibuat di Indonesia, pemerintah wajib membelinya dan dilarang impor. Sebaliknya, kalau belum mampu, barulah impor diperbolehkan.
Agus menyebut, semangat TKDN berangkat dari prinsip keadilan fiskal.
“Dana pengadaan pemerintah itu dari pajak rakyat. Jadi harus kembali ke industri yang menciptakan lapangan kerja di dalam negeri,” tegasnya.
“Kalau sudah ada produk lokal dengan TKDN di atas 40 persen, belanja pemerintah wajib pakai produk itu, tidak boleh impor!” ujarnya menegaskan.
Strategi ‘Banjiri e-Katalog’
Agar kebijakan TKDN berjalan efektif, Kemenperin menargetkan membanjiri e-katalog LKPP dengan produk buatan Indonesia.
“Karena PBJ (Pengadaan Barang dan Jasa) dilakukan lewat e-katalog, maka kuncinya adalah memperbanyak produk lokal yang masuk ke sana,” kata Agus.
Hingga kini, 88 ribu produk dari 15 ribu perusahaan sudah tersertifikasi TKDN dan tampil di e-katalog.
“Kami targetkan dua tahun lagi jumlahnya bisa dua kali lipat,” tambahnya optimistis.
Permenperin 35/2025 tak hanya menyederhanakan proses sertifikasi, tapi juga memberi insentif nyata bagi industri.
Agus membeberkan, industri yang berinvestasi dan membangun pabrik di Indonesia akan otomatis dapat tambahan nilai 25 persen.
“Kalau pakai tenaga kerja lokal dapat 10 persen, plus 15 persen lagi dari penerapan BMP,” jelasnya.
Ada 15 faktor BMP yang disiapkan, mulai dari kemitraan, rantai pasok, hingga substitusi impor. “Kalau dijumlah, bobot totalnya bisa mencapai 38 persen,” paparnya.
Kemenperin juga menyoroti keberhasilan TKDN di sektor tertentu, seperti produk handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT) serta alat kesehatan.
“Kominfo sudah mewajibkan TKDN minimal 35 persen untuk HKT, hasilnya investasi meningkat dan impor menurun,” ujar Agus.
Begitu pula dengan sektor kesehatan. “Sekarang alat kesehatan wajib punya TKDN 20–30 persen untuk bisa beredar di rumah sakit dalam negeri,” tambahnya.
Selain untuk pengadaan pemerintah, aturan baru ini juga mendorong produk konsumen mencantumkan label TKDN di kemasannya.
“Kami tidak mewajibkan, tapi mendorong. Harapannya nanti ketika anak-anak kita ke supermarket, mereka bisa memilih produk yang ada label TKDN-nya,” ujar Agus.
Menurutnya, ini bagian dari kampanye besar cinta produk Indonesia.
Agus menegaskan, Permenperin 35/2025 bukan revisi administratif, melainkan reformasi strategis.
“Permenperin ini lahir dari kesadaran bahwa kemandirian ekonomi hanya bisa dicapai jika belanja publik dan konsumsi nasional berpihak pada industri dalam negeri,” pungkasnya.
“Kita ingin TKDN bukan sekadar angka, tapi simbol kebanggaan bangsa!”