Catatan Cak AT
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi mengadopsi Deklarasi New York yang mendukung perwujudan Negara Palestina yang merdeka pada Jumat (12/9/2025) dengan disetujui 142 suara, 10 negara menolak, dan 12 abstain.
Ini lanjutan hasil Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara (Two-State Solution) yang diselenggarakan pada 28-30 Juli lalu.
Namun, sungguh ironi. Amerika Serikat yang ditempati konferensi malah menjadi gerbong penolak Palestina merdeka. Tak cuma itu. Amerika pula yang menjadi pengimpor teror-teror paling mematikan ke Gaza, mulai dari senjata pemusnah, perangkat tameng udara Israel, hingga … bahkan hingga mengimpor pasukan geng Salibis yang terdiri dari mantan pasukan perang.
Bayangkan, di tengah reruntuhan Gaza, di mana suara azan bercampur dengan deru drone Israel, ada satu ironi yang sulit dibayangkan oleh akal sehat. Warga Gaza berebut setepung gandum demi bertahan hidup, sementara di lokasi yang disebut “zona bantuan kemanusiaan”, berdiri tegak geng motor asal Amerika yang mengaku diri sebagai Tentara Salib modern.
Dalam sebuah liputan investigasinya, BBC membongkar fakta mencengangkan: Infidels Motorcycle Club —kelompok yang sejarahnya penuh kebencian keagamaan, islamofobia, anti-Islam, pesta babi panggang saat Ramadan, dan tato angka 1095 (tahun dimulainya Perang Salib)— kini menjadi bodyguard resmi penyaluran bantuan di Gaza.
Tentu, ini bukan sekadar ironi. Ini parodi sejarah, tapi dengan darah dan air mata yang nyata. Betapa tidak. Rakyat Gaza antre roti, geng motor antre gaji. Mereka dibayar Rp 16 juta per hari, bahkan pemimpin tim bisa mengantongi Rp 26 juta per hari. Sementara, di luar pagar kawat yang dijaga dengan senapan, seorang ibu harus memilih: mati ditembak karena nekat mendekati karung tepung, atau mati perlahan dalam kelaparan.
Lantas siapa yang membayar? Ternyata, menurut investigasi BBC, kontraktor keamanan bernama UG Solutions (UGS), perusahaan asal North Carolina, AS. Dengan bahasa korporat yang manis, mereka bilang tidak peduli “hobi pribadi” pegawainya. Mau pesta babi panggang di bulan Ramadan? Terserah. Bertato Crusader di dada? Bebas. Asal bisa jaga pos bantuan dengan senapan.
Lagi-lagi ironis, kata bantuan sering kali terdengar nyaring di telinga, tapi begitu hambar di perut orang Gaza. Dalam laporan-laporan resmi, selalu ada kalimat berbunyi, “Bantuan kemanusiaan sedang dikirim.” Namun ketika kita menelusurinya lebih jauh, seperti yang dicatat BBC, bantuan itu tidak pernah benar-benar “datang” dalam arti sesungguhnya.
Sebagian besar bantuan yang dimaksud hanyalah paket darurat berisi makanan kaleng, obat-obatan seadanya, jerigen air, dan solar untuk generator rumah sakit. Jumlahnya pun jauh dari cukup —puluhan truk untuk jutaan jiwa. Sementara antrean manusia yang menunggu bisa sepanjang jalan dari Rafah ke Khan Younis.
Di meja diplomasi, kata “bantuan” berubah arti menjadi dukungan politik atau pernyataan belas kasihan dari negara-negara sahabat. Tetapi di lapangan, bagi seorang ibu yang kehilangan dapur, kata “bantuan” hanya bermakna sepotong roti untuk anaknya.
Ada pula ironi lain: “bantuan” sering dipakai sebagai alat tawar-menawar. Ia bisa diperlambat, dipotong, atau bahkan dijadikan senjata diplomatik. Akhirnya, bagi warga Gaza, bantuan itu lebih mirip mitos —selalu dibicarakan, jarang betul-betul sampai.
Maka ketika mereka berkata, “Kami menunggu bantuan,” sebenarnya yang mereka tunggu bukanlah truk dengan bendera PBB, bukan pula konferensi pers di New York, melainkan satu hal sederhana: rasa kemanusiaan yang nyata.
Mari kita tertawa getir. Apa bedanya mempercayakan distribusi bantuan ke geng motor islamofobia dengan _Ku Klux Klan_ yang menjaga distribusi beras di Sudan? Sama-sama konyol, sama-sama berbahaya. Edward Ahmed Mitchell dari CAIR (Council on American-Islamic Relations) menyebutnya “tidak masuk akal”.
Dan benar: hasilnya memang pembantaian. Data terbaru PBB menyebutkan: lebih dari 1.200 warga sipil tewas di sekitar lokasi bantuan, mayoritas oleh tembakan Israel yang dibantu geng motor pakai simbol Perang Salib. Seolah-olah bantuan hanya jadi jebakan, semacam undangan maut berjudul “datanglah, roti di sini, peluru juga menanti”.
Tak kalah ironis lagi, geng ini terang-terangan menyebut diri mereka “Infidels” — para kafir. Nama yang dipilih dengan bangga, dengan simbol tengkorak ala komik Marvel. Kalau tak percaya, silakan cek laman Facebook mereka: ada kaos “Gaza Summer 2025”, lengkap dengan slogan “Berselancar siang, roket malam”. Rupanya, tragedi bisa dipasarkan jadi fesyen, darah bisa dijadikan desain kaos.
Inilah wajah perang abad ke-21: bukan hanya tentara Hamas melawan pasukan Israel, tapi juga geng motor Salib diperhadapkan dengan perut kosong rakyat Gaza. Israel bisa berkata: “Kami tidak menembak, itu dilakukan kontraktor.” Kontraktor pun bisa berkata: “Kami tidak diskriminatif, ini hanya pekerjaan.” Sementara rakyat Gaza hanya bisa berkata lirih: “Kami lapar.”
Apakah semua ini kebetulan? Tentu tidak. Semua sudah dirancang Israel. Ini adalah strategi: outsourcing kebiadaban. Israel mencuci tangan dengan menyewa preman berjubah kontraktor, lalu dunia dibuat bingung, seakan-akan tragedi kelaparan itu salah rakyat Gaza sendiri yang “nekat” berebut roti.
Bahkan, pemimpin geng ini, Johnny “Taz” Mulford, punya rekam jejak kriminal: konspirasi suap, pencurian, pemalsuan dokumen. Kini ia menjadi komandan “keamanan” bantuan. Seakan Gaza ini bukan wilayah krisis kemanusiaan, tapi panggung film aksi murahan. Bedanya, di Hollywood korban hanya figuran. Di Gaza, korbannya nyata: anak-anak, ibu, dan orang tua renta.
Fenomena ini menyingkap sesuatu yang lebih jahat dari sekadar perang. Ini perang yang dimonetisasi, dikelola sebagai industri kontraktor. Akademisi kajian konflik menyebutnya sebagai bentuk privatisasi kekerasan —di mana negara kuat bisa mengontrak organisasi swasta untuk melakukan apa yang secara hukum internasional tidak boleh dilakukan langsung.
Jika dahulu Perang Salib dikobarkan atas nama agama, kini “Perang Salib modern” dikobarkan atas nama outsourcing dan bisnis jasa keamanan. Bedanya, tarif sudah jelas: US $980 per hari untuk preman kelas menengah, US $1.580 per hari untuk komandan geng motor. Sementara, harga sekarung tepung di Gaza? Tak ternilai, karena nyawa yang jadi bayarannya.
(Bersambung ke Bagian 2):
– Menguliti lebih dalam struktur bisnis UG Solutions.
– Hubungan politik Israel-AS dalam proyek “bantuan” ini.
– Bagaimana fenomena ini membalik logika kemanusiaan: bantuan jadi alat pembunuhan.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 17/9/2025