ABNnews – Pemerintah menargetkan pemanfaatan 9 juta ton biomassa pada 2030 untuk mendukung enhanced Nationally Determined Contribution (eNDC) sekaligus mengejar target net zero emission (NZE). Program cofiring biomassa di PLTU menjadi strategi utama pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Direktur Biomassa PLN Energi Primer Indonesia (EPI), Hokkop Situngkir, menegaskan bioenergi bukan sekadar bahan bakar alternatif, melainkan juga ekosistem ekonomi kerakyatan.
“Bioenergi itu tidak hanya bicara material yang dibakar, tapi juga jejak karbon dari sumber bahan baku hingga pembakaran,” ujar Hokkop dalam Workshop “Optimalisasi Peluang Usaha Bagi Pengusaha Muda” yang digelar ASPEBINDO bersama HIPMI di Ambhara Hotel, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
PLN EPI mencatat pasokan biomassa untuk cofiring PLTU mencapai 1,6 juta ton pada 2024. Hokkop menilai peluang bisnis biomassa terbuka lebar karena melibatkan UMKM, kelompok tani, hingga mitra lokal.
“Yang dulunya limbah seperti serbuk gergaji atau sekam hanya dibakar, sekarang bisa jadi energi sekaligus bernilai ekonomi,” katanya.
Namun, tantangan masih banyak. Hokkop menyebut kendala utama ada pada kestabilan pasokan, kesenjangan kapasitas pengolahan, hingga harmonisasi kebijakan. Ia mendorong konsep sub-hub, hub, dan main hub untuk menjamin kualitas dan produksi biomassa berkelanjutan.
Kementerian ESDM menegaskan bioenergi jadi program prioritas menuju swasembada energi. Berbeda dengan EBT lain, bioenergi butuh usaha berkelanjutan karena berbasis lahan dan sumber daya hayati. Biomassa bisa dipakai untuk cofiring di pembangkit, konsumsi langsung, hingga bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Potensi biomassa di Indonesia sangat besar, baik lewat jaringan PLN (on-grid) maupun untuk kebutuhan sendiri (off-grid). Tantangan utama ada di skala keekonomian, logistik, dan keberlanjutan pasokan. Pemanfaatan teknologi seperti AI dan IoT dianggap penting agar rantai pasok biomassa lebih transparan dan traceable.
Harga biomassa juga sensitif terhadap harga batu bara. Saat harga batu bara naik, biomassa lebih kompetitif, sebaliknya bila turun jadi sulit bersaing. Karena itu, mekanisme indeksasi harga biomassa diperlukan agar lebih ekonomis dan terukur.
Hokkop menegaskan pengembangan bioenergi butuh kolaborasi PLN, pengusaha, dan pemerintah. Apalagi Indonesia menghadapi persaingan ekspor, misalnya cangkang sawit yang diminati pasar luar negeri meski kena tarif ekspor.
“Peluang pasar biomassa, baik domestik maupun internasional, terbuka sangat besar. Kuncinya adalah menjaga pasokan dan memenuhi standar teknis seperti SNI,” tegas Hokkop.
Dengan prospek tersebut, bioenergi dipandang bukan hanya menopang target iklim, tapi juga membuka peluang usaha baru berbasis ekonomi kerakyatan.