banner 728x250
Opini  

Nota Cinta untuk Penguasa

Catatan Cak AT

Indonesia tampaknya sedang melanjutkan tradisi klasiknya: setiap kali rakyat turun ke jalan, elite politik buru-buru mengadakan konferensi pers, tokoh agama menggelar doa bersama, dan guru besar menandatangani petisi. Lengkap sudah: doa naik ke langit, tuntutan akademis dilempar ke Istana, sementara rakyat masih saja tercebur ke aspal dengan gas air mata.

Dua dokumen baru-baru ini layak kita baca dengan serius. Pertama, pernyataan tokoh lintas agama yang dimotori oleh MUI secara beruntun di berbagai kota. Isinya penuh seruan damai, doa, dan ajakan welas asih. Kedua, pernyataan keras dari 88 guru besar yang lebih seperti naskah ujian negara darurat, berisi delapan resep cepat saji untuk menyelamatkan republik.

Mari kita bedah pelan-pelan, tentu dengan kacamata satiris agar lebih mudah memahami republik ini. Para tokoh lintas agama itu memulai pernyataan mereka dengan bahasa indah: belasungkawa, doa bagi korban, ajakan damai. Indah memang, tapi kita tahu doa di republik ini kadang diperlakukan seperti “obat generik”: cocok untuk semua penyakit, dari inflasi sampai bentrok mahasiswa.

Mereka menekankan bahaya adu domba, menolak kekerasan, dan mendesak aparat bersikap profesional. Semua benar, semua mulia, semua kita aminkan. Tapi di ujung, ada kalimat yang menarik: dukungan kepada Presiden Prabowo Subianto. Jadi, seruan damai plus endorse politik. Sebuah kombinasi yang di Indonesia sudah jamak —doa sekaligus “nota cinta” untuk penguasa.

Dari sudut pandang teori politik, pernyataan ini menggambarkan “fungsi legitimasi religius” sebagaimana diurai Jürgen Habermas (2006) tentang ruang publik religius. Agama memang sering jadi bantalan moral saat negara retak, tapi ia juga rawan dipakai sebagai _stabilizer_ kekuasaan atas nama agama apa pun.

Lalu masuklah 88 guru besar dengan naskah yang jauh lebih _tegas_. Mereka tak hanya meminta aparat berhenti menembakkan gas air mata, tapi juga meminta Polri direformasi, kabinet dirombak, DPR dipangkas, KPK dihidupkan kembali, UU Ciptaker dicabut, hingga program makan bergizi gratis dirombak. Lengkap. Bahkan lebih lengkap daripada kurikulum Merdeka Belajar.

Kalau tokoh agama memberi vitamin moral, para guru besar ini memberi resep operasi sesar besar-besaran. Pertanyaannya: apakah pasien bernama Republik Indonesia siap dioperasi? Atau jangan-jangan, seperti sering terjadi, resep akademis ini hanya jadi catatan kaki dalam sejarah protes mahasiswa?

Menariknya, dua pernyataan ini menggambarkan dua wajah perlawanan sipil. Pertama, wajah doa dari para tokoh agama: penuh welas asih, hati-hati, bahkan memberi restu pada penguasa. Kedua, wajah data dari para tokoh kampus: penuh catatan tebal, daftar reformasi, dan tuntutan hukum.

Dalam teori ruang publik Habermas (1991), kita bisa bilang: tokoh agama mencoba menjaga “komunikasi moral” agar tidak pecah, sementara guru besar mengajukan “argumen rasional” agar negara tidak ambruk. Keduanya saling memperkuat dengan cara masing-masing.

Humornya ada di sini. Rakyat yang berdemo di jalan berpanas-panasan dan menghadapi gas air mata tentu butuh keduanya: doa agar tidak pingsan, dan data agar tuntutan mereka tidak dicatat polisi sebagai “gangguan kamtibmas” semata.

Pertanyaan reflektifnya: akankah pemerintah lebih mendengar doa atau data? Kalau mendengar doa, mungkin yang lahir adalah pidato penuh belas kasihan, plus janji-janji reformasi yang entah kapan. Kalau mendengar data, berarti siap ada reshuffle kabinet, revisi UU, bahkan reformasi Polri —hal-hal yang selama ini sering ditunda.

Sejarah Indonesia menunjukkan, suara moral agama pernah jadi pemicu perubahan (ingat peran KH Ahmad Dahlan, Gus Dur, Romo Mangun). Tapi suara akademisi juga pernah mengguncang rezim (ingat Petisi 50, atau gerakan mahasiswa 1998 yang berakar pada analisis kampus).

Kini keduanya hadir bersama, meski dengan gaya berbeda. Satu lembut, satu keras. Satu berdoa, satu memberi PR.

Kita boleh tersenyum membaca kontradiksi ini, tapi jangan lupa: di luar gedung MUI dan ruang rapat para guru besar, ada rakyat yang jadi korban. Mereka yang luka, mereka yang ditangkap, mereka yang berduka.

Mungkin ungkapan terbaik untuk situasi ini adalah kalimat sederhana: “Indonesia memang pandai membuat pernyataan sikap, tapi masih gagap membuat kebijakan yang adil.”

Dan untuk pemerintah, doa plus data sudah diberikan. Tinggal pilih: mau menjawab dengan gas air mata lagi, atau dengan kebijakan berbelas kasih dan reformasi nyata?

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 8/9/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *