banner 728x250
Opini  

Jaksa Menggali, Saksi Menyangkal

Catatan Cak AT

Bayangkan Anda hendak menyeberang laut dengan kapal feri. Mobil sekeluarga sudah masuk kapal. Anak-anak ribut minta es krim, istri sibuk nelpon untuk memastikan gas di rumah sudah dimatikan. Anda sudah berdoa, “bismillah, semoga perjalanan lancar.” Dan kapal pun bergerak.

Mesin kapal berderu mantap, tidak ada suara “ngik-ngik” karatan yang biasa jadi tanda barang tua. Apakah terlintas di kepala Anda: “Wah, jangan-jangan kapal ini hasil korupsi?” Tentu tidak. Yang penting kapal jalan, tidak mogok, dan Anda selamat sampai seberang.

Ironisnya, kapal tersebut — bernama Jembatan Musi II — hari ini jadi bahan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Jaksa menyebutnya “kapal karam” yang dibeli kemahalan. Padahal data berbicara lain: kapal itu sudah menempuh 9.737 trip, mengangkut 176.123 kendaraan.

Lebih penting dari itu, kapal besi sepanjang 31,1 meter yang dituduh tua itu menyumbang pendapatan Rp 5 miliar dalam tiga tahun terakhir. Kalau ini disebut “rugi”, barangkali warung soto langganan kita juga bisa dituduh korupsi karena mangkoknya retak tapi tetap laku.

Kapal roro _(roll-on/roll-off)_ dan penumpang dengan nama merujuk Jembatan Musi II di Palembang itu diberitakan luas pernah kandas di Pulau Suwangi, dalam perjalanan dari Pelabuhan Batulicin menuju Pelabuhan Tanjung Serdang, Kalimantan Selatan, pada Kamis (6/5/2021) pukul 11.40 WITA.

Memang ada juga media, seperti duta.tv, yang menyebutnya “karam” —pakai tanda petik. Maksudnya, kapal oleng, air sempat masuk setinggi satu meter. Kapal itu kandas akibat cuaca buruk, hujan lebat dan angin kencang, mengakibatkan kapal terdorong keluar lintasan ke perairan dangkal.

Mari kembali ke ruang sidang. Kamis itu, 4 September, ruang sidang Tipikor Jakarta Pusat terasa dingin, AC-nya lebih semangat daripada jaksa. Tembok dan mebeler yang serba kayu dengan warna cokelat membuat suasana seperti ruang rapat DPR era 1980-an.

Bedanya, di sidang Kamis ini, kursi pengunjung tampak sepi. Hanya beberapa keluarga terdakwa yang hadir, di samping segelintir sahabat, dan seorang wartawan yang tampak lebih sering melirik jam tangan ketimbang catatan.

Di depan, tiga mantan direksi ASDP duduk dengan wajah tenang. Mereka bukan politisi, bukan selebriti, hanya profesional BUMN yang kini harus menjawab tuduhan merugikan negara Rp 1,27 triliun. Angka itu terasa megah di kertas dakwaan, tapi makin kecil setiap kali saksi bicara.

Jaksa maju dengan pertanyaan klasik:
Jaksa: “Apa benar PT ASDP membeli kapal karam?”
Sri Rahayu (eks Dirut JN, saksi): “Tidak benar. Kapal itu hanya kandas, lalu diperbaiki, dan kembali beroperasi. Malah mencetak pendapatan Rp 5 miliar.”

Tanya-jawab seperti itu, yang juga sudah terjadi di sidang-sidang sebelumnya, membuat suasana sidang Tipikor yang dipandang angker kini jadi seperti kebalik: _punchline_ jatuh bukan dari jaksa, melainkan dari saksi.

Saksi lain, Fadila dari ASDP, menjawab pertanyaan pembela kenapa akuisisi JN penting. “Sebelum akuisisi, _market share_ ASDP hanya 17 persen, JN 12 persen. Setelah akuisisi, jadi 29 persen. Tahun 2023 malah tembus 33,5 persen, padahal target ini direncanakan baru tercapai 2027.”

Di luar, seorang pengunjung bergumam lirih: “Kalau ini dianggap korupsi, berarti naik pangkat juga bisa dituduh maling.”

Francis Wijaya, eks Direktur Keuangan JN, menambahkan bahwa harga kapal baru saat pandemi melonjak gila-gilaan: satu unit harganya bisa Rp 300 miliar. Itu pun tanpa izin trayek. “Dengan akuisisi, 53 kapal yang sudah berizin langsung bisa beroperasi besoknya.”

Lagi-lagi, logika bisnis terasa jelas. Tapi logika hukum? Ah, itu soal lain.

Jaksa terjepit antara dakwaan dan data. Jaksa tetap mengulang frasa “kerugian negara Rp 1,27 triliun” seperti kaset rusak. Tapi di sisi lain, saksi-saksi menampilkan data yang justru menunjukkan keuntungan.

Sebut saja, CAGR 18% per tahun pendapatan kapal JN sejak 2021. Juga, restrukturisasi utang JN dari Rp 583 miliar menjadi tinggal Rp 126 miliar, dengan target lunas 2027. Terakhir, rata-rata pendapatan per kapal JN: Rp 12,28 miliar.

Dengan angka itu, seolah dakwaan kehilangan jangkar. Yang karam bukan kapalnya, melainkan narasi kerugian.

Menariknya, sidang-sidang ini selalu digelar pada hari Kamis. Seperti demo _Kamisan_ emak-emak di depan Istana, tapi versi Tipikor: sepi, penuh doa, dengan peserta terbatas. Bedanya, di sini tak ada payung hitam, hanya palu hakim yang kadang dipukulkan ke bantalan.

Publik jarang hadir. Barangkali karena kasus ini sulit dijual di media: tidak ada aliran duit ke tas _branded_, tidak ada video viral, tidak ada jet pribadi. Hanya ada kapal ferry yang mesinnya masih bandel, tetap menyeberangkan orang kampung ke kota.

Kasus ASDP ini lagi-lagi memunculkan pertanyaan lebih besar: apakah direksi BUMN boleh mengambil risiko bisnis? Atau setiap langkah akan selalu dicurigai sebagai permainan kotor?

Kalau akuisisi yang jelas-jelas meningkatkan _market share_ dan pendapatan bisa dipidana, maka pesan ke direksi BUMN jelas: jangan berpikir terlalu keras. Jalankan saja _status quo_. Biarkan kompetitor swasta mengambil peluang, asal jangan sampai negara terlihat “rugi” di atas kertas.

Hasilnya? BUMN menjadi museum, bukan badan usaha, bukan pula motor ekonomi. Kapal tetap berlayar, tapi tanpa arah.

Mungkin, penumpang di kapal Jembatan Musi II tadi benar: ia tak peduli apakah kapalnya hasil akuisisi atau korupsi. Yang penting, kapal tidak mogok, harga tiket wajar, dan perjalanannya selamat.

Ironinya, di Jakarta, nasib kapal itu ditentukan bukan oleh kondisi mesin atau jumlah trip, melainkan oleh seberapa kuat jaksa mempertahankan narasi kerugian.

Jika fakta terus disangkal, maka bukan mustahil kita akan punya babak baru dalam hukum Indonesia: bukan sekadar trial by media, tapi _trial by asumsi.

Dan di situlah, sekali lagi, logika tenggelam, sementara kapal tua tetap berlayar. Di negeri kapal-kapal, yang paling cepat karam kadang bukan besi di air, melainkan akal sehat di ruang sidang.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 5/9/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *