Catatan Cak AT
Kalau dunia teknologi itu sinetron, maka AMD adalah tokoh anak tiri yang sabar, selalu disuruh-suruh masak nasi AI, tapi nggak pernah dikasih lauk yang layak. Kasihan.
Selama ini, jagat grafis dan kecerdasan buatan dikuasai oleh Nvidia, sang “anak emas” yang doyan pasang harga seperti lagi jual perhiasan, bukan chip. Bagai raja kapitalis, Nvidia pasang harga sesuka-suka.
Tapi, pada tanggal 23 Juli kemarin, AMD datang dengan gebrakan selevel drama final Squid Game. Dan yang digebrak? Ya, dominasi Nvidia yang makin hari makin mirip bank sentral: bisa menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh “berpikir dalam GPU”.
AMD, si Merah, hadir ngamuk di panggung AI. Bayangkan, ia meluncurkan Radeon AI Pro R9700, kartu grafis ber-VRAM 32GB (iya, tiga puluh dua GIGA!), dikhususkan buat kerjaan AI lokal, dengan harga hanya $1.250. Harga “hanya”, tentu bagi yang punya kantong tebal.
Kita konversi sebentar, ya… Rp 20 jutaan saja (asumsi kurs 16.000 per dolar, dan belum termasuk ongkir, PPN, dan doa restu istri). Sementara itu, di pojok sebelah, sang Nvidia menjual kartu grafis RTX 6000 ADA (48GB VRAM) seharga $6.800 USD. Alias hampir Rp 110 juta.
Padahal, kalau kita lihat kebutuhannya, banyak pengembang cukup pakai 24–32GB VRAM untuk menjalankan model seperti Mistral, DeepSeek, atau mainan berat seperti Stable Diffusion 3.5. Jadi, kenapa harus sewa “private jet” kalau “bisnis class” AMD sudah cukup hemat?
Harga bisa berubah sesuai kecepatan tangan importir dan kestabilan nilai tukar. Dan tentu saja, tergantung apakah toko online-nya percaya kamu betulan mau pakai GPU itu buat AI, bukan mining Shiba Inu Coin lagi. Dan ketersediaannya di sini pasti tak lama lagi.
Spesifikasi R9700 bukan kaleng-kaleng, bro. Ia punya 32GB VRAM. Ini sangat cukup untuk meletakkan satu model LLM ukuran penuh, plus mimpi-mimpimu. Juga, ia sudah bawa 128 AI Accelerators — atau dalam istilah rakyat: bisa _multitasking_ sambil ngopi.
R9700 dibekali PCIe 5.0 dan desain _form factor_ ramping, sehingga bisa disusun tumpuk macam lemper di acara pengajian. Yang dahsyat, ia punya ROCm + PyTorch Native Support, yang berarti gak perlu jungkir balik biar bisa training model.
Singkatnya, AMD ngasih kamu GPU yang bukan cuma kuat, tapi juga ngerti kebutuhan rakyat pekerja. Dan ya, bisa multi-GPU setup juga, yang artinya kamu bisa bikin AI _inferencing farm_ di ruang tamu, selama istrimu belum tahu kamu colokin dua PSU tambahan.
AMD dengan cerdik menargetkan segmen yang selama ini cuma bisa “melongo” di depan rak GPU atau cuma bisa mimpi sewa cloud. Target utamanya tentu developer LLM lokal, yang ingin _fine-tuning_ model besar seperti Mistral tanpa perlu berbaiat pada OpenAI.
Anda, konten kreator AI, jadi sasaran berikutnya. Ya, ini untuk kamu yang pengen generate gambar anime One Piece pakai SD3.5, tanpa bikin kipas casing njerit-jerit. Terakhir, _engineer_ dan akademisi, yang selama ini menyamar jadi gamer cuma biar bisa beli GPU pakai dana penelitian.
Saya perlu menyorot AMD kali ini, karena terlalu lama kita percaya bahwa “AI itu sama dengan Nvidia”. Padahal realitasnya, Nvidia kayak hotel bintang lima —mewah tapi mahal. Sementara AMD kini mirip rumah makan padang —murah, bergizi, dan bisa nambah tanpa malu.
Ini bukan cuma persaingan teknologi, tapi juga soal keadilan digital. AMD hadir mengingatkan kita bahwa pengembangan AI tak boleh dimonopoli oleh mereka yang bisa sewa server seharga Alphard. Bahwa AI lokal harus bisa jalan di kantor, warung kopi, bahkan warnet yang masih bertahan di kampung.
Jadi, wahai para coder, dosen teknik, kreator visual, dan santri yang ingin bikin AI tafsir —R9700 ini bukan sekadar kartu grafis. Ia adalah manifesto digital, bahwa kita bisa berpikir lokal tanpa harus menyembah cloud.
Dan untuk para pemegang saham Nvidia, izinkan kami mengirimkan satu pesan kecil, dari lubuk hati para developer indie: “Terima kasih telah menginspirasi. Sekarang minggirlah sebentar, kami mau nyoba AMD.”
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 3/8/2025