banner 728x250

Urgensi RUU KUHAP Segera Disahkan, Demi Modernisasi Hukum dan Sistem Hukum yang Lebih Berkeadilan

ABNnews – Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda mengungkapkan urgensi RUU KUHAP segera disahkan DPR. Pasalnya, pembaruan hukum acara pidana sangat mendesak sebagai fondasi perlindungan hak asasi manusia.

Chairul Huda menekankan revisi KUHAP harus mengadopsi prinsip keadilan modern berbasis HAM dan demokrasi. Karenanya, RUU KUHAP merupakan jawaban atas kebutuhan reformasi peradilan yang semakin kompleks dan berkembang.

Mengapa harus direvisi? KUHAP yang berlaku saat ini adalah UU No 8 Tahun 1981–peninggalan orde baru–yang sudah tidak relevan karena tidak pernah mengalami revisi substansial sejak diberlakukan, kecuali melalui beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kondisi ini menyebabkan banyak norma dalam KUHAP tidak lagi sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM) maupun praktik peradilan modern,” ujar Chairul Huda dikutip Selasa, 29 Juli 2025.

Selain itu, katanya, pembaruan hukum acara pidana harus beradaptasi terhadap perkembangan. Artinya, RUU KUHAP diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan teknologi dan dinamika sosial yang terjadi, sehingga sistem hukum acara pidana tetap relevan dan adaptif.

Chairul Huda menjelaskan, salah satu kelemahan utama KUHAP saat ini adalah pendekatannya yang semata-mata menempatkan pengadilan sebagai satu-satunya jalur penyelesaian perkara pidana.

Padahal di era modern, menurutnya, pendekatan keadilan restoratif sudah menjadi praktik yang umum. Sayangnya, penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam sistem hukum saat ini masih setengah resmi.

“Jadi restorative justice perlu diatur jelas dalam KUHAP yang baru. Bukan hanya sebagai kebijakan di bawah meja, tapi sebagai mekanisme hukum yang sah dan menjamin kepastian hukum,” jelasnya.

Kemudian, Chairul Huda menyoroti soal perlindungan HAM. RUU KUHAP diharapkan dapat memperkuat perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana, termasuk hak tersangka dan terdakwa.

“Revisi dan pengesahan RUU KUHAP ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan negara dan hak-hak warga negara dalam proses peradilan pidana, serta memastikan adanya check and balances,” pungkasnya.

Klarifikasi Pemerintah

Di tengah pro dan kontra RUU KUHAP, Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Profesor Edward Omar Sharif Hiariej memberikan mengklarifikasi dua isu yang sempat ramai disorot publik.

Pertama, ada pandangan yang menyebut pemerintah dan DPR menyelesaikan pembahasan ribuan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KUHAP dalam waktu 2 hari.

Menurtnya, tercatat DIM RUU KUHAP berjumlah 1.676, terdiri dari DIM bersifat tetap 1.091 dan tidak dibahas karena intinya pemerintah setuju usulan DPR. Ada 295 DIM bersifat pembenahan redaksional, yang secara substansi juga tidak dibahas pemerintah dan DPR.

Kemudian 91 DIM dihapus karena redundan dan sekitar 200 DIM direposisi agar sistematis. Singkatnya, pemerintah dan DPR membahas 130 DIM karena terkait perubahan atau substansi baru. Jadi yang perlu di clear-kan kepada publik dalam 2 hari bukan membahas 1.676 DIM, tapi 130 DIM saja,” katanya dalam diskusi RUU KUHAP yang diselenggarakan Kementerian Hukum, Jumat, 25 Juli 2025.

Kedua, tentang kritik terhadap partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation). Prof Eddy begitu biasa disapa menegaskan pembahasan RUU KUHAP di DPR bukan 2 hari. Prosesnya berjalan sejak 19 Maret 2025 Kementerian Hukum, Kementerian Sekretariat Negara menerima surat Presiden Prabowo untuk membahas RUU KUHAP. Sepekan kemudian pemerintah mengundang 15 ahli.

Setidaknya sampai 28 Mei 2025 telah dilakukan 5 kali pertemuan dengan melibatkan berbagai pihak termasuk organisasi masyarakat sipil, ahli dan lainnya. Kemudian 28 Mei 2025 fakultas hukum (FH) di setiap kampus diundang dalam rapat secara daring.

“Meski sudah banyak pihak yang diundang untuk diminta masukannya, bukan berarti 100 persen usulan bisa diakomodasi dalam RUU KUHAP,” jelasnya.

Selanjutnya, soal izin pengadilan terhadap upaya paksa, Prof Eddy mengatakan RUU KUHAP menambah jumlah upaya paksa dari 5 menjadi 9. Terdiri dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemblokiran, penetapan tersangka, penyadapan dan cekal.

“Dari 9 upaya paksa hanya penetapan tersangka, penangkapan, dan cekal. Kalau tertangkap tidak mungkin minta izin. Jadi kita rasional,” bebernya.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *