banner 728x250
Opini  

Seratus Tahun Mahathir

Catatan Cak AT

Dirgahayu, Tun Dr Mahathir Mohamad. Anda bukan sekadar berumur panjang — kemarin genap satu abad (10 Juli 1925 – 10 Juli 2025). Anda membuat sejarah panjang terasa padat, bergelombang, dan terus hidup.

Ketika kebanyakan orang di usia 70-an mulai rajin berdiskusi soal kolesterol, tensi, dan manfaat jalan pagi, Tun Dr Mahathir Mohamad justru masih semangat membahas geopolitik, industri otomotif nasional, dan arah masa depan bangsa. Sorot matanya tak terlihat sayu, malah tetap menyala tajam.

Kini, di usia 100 tahun, beliau tak hanya bangun pagi sebelum alarm bunyi. Ia juga masih tampil di podcast live, berbicara tentang Gaza dan Jepang, serta sempat-sempatnya ngode halus kepada Anwar Ibrahim. Ini jelas bukan manusia biasa. Barangkali ia adalah hasil persilangan genetik antara Ironman, Sun Tzu, dan pemuda Alor Setar.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin seorang manusia bisa mencapai usia seabad, tetap waras, bahkan masih berpikir strategis soal Asia Timur — tanpa godaan kursi roda, apalagi panti jompo?

To be 100 is quite frightening,” katanya. “Cukup menggentarkan.” Dalam podcast spesial yang disiarkan langsung melalui laman Facebook-nya, Tun Mahathir mengaku bahwa menapaki usia 100 adalah anugerah sekaligus hal yang menggetarkan.

Ia menyampaikan rasa syukurnya, terutama karena menerima ucapan selamat dari Anwar Ibrahim, PM X. “Ulang tahun ke-100… terima kasih,” ujarnya, dengan senyum tersirat yang mungkin lebih tajam dari komentar politik mana pun.

Ia menerima begitu banyak ucapan selamat ulang tahun — kue, bunga, surat, dan kunjungan langsung dari berbagai pihak.

“Pagi ini saya bangun lebih awal. Saya tidak mendengar jam berbunyi, tapi tahu-tahu sudah pukul 5 pagi,” tuturnya santai. Hari pun ia jalani seperti biasa: podcast, pertemuan dengan tamu-tamu yang — katanya — datang lebih banyak dari biasanya.

“Terima kasih banyak. Dan terima kasih juga untuk podcast ini, karena memberi saya kesempatan menjelaskan banyak hal yang memang selalu ingin saya perjuangkan,” ujarnya, lugas sekaligus jenaka.

Tun Mahathir lahir pada 10 Juli 1925, menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia keempat dan ketujuh. Masa jabatan pertamanya berlangsung dari 1981 hingga 2003, sementara masa jabatan keduanya — lebih dramatis — dari 2018 hingga 2020.

Dalam podcast itu, ia menyinggung isu-isu yang lekat dengan dirinya: konflik di Gaza, kebangkitannya dari politik istirahat, hingga kekagumannya pada China dan Jepang — dua negara Asia yang menurutnya berhasil menapaki puncak industri dan ekonomi global.

Ia juga sempat menengok kembali ke masa lalu: bagaimana ia bisa sampai menjadi perdana menteri, dan siapa saja yang berperan membuka jalannya ke panggung kekuasaan nasional.

Mahathir mengaku bersyukur karena tak pernah diserang penyakit berat. Untuk ukuran orang yang telah melewati berbagai pergolakan politik, dua kali operasi jantung, dan bertahun-tahun polemik nasional, pengakuan ini terdengar seperti ejekan lembut kepada semua yang lebih muda tapi sudah ngos-ngosan mengejar hidup.

Menariknya, Mahathir juga mengakui bahwa “people seem to be expecting a lot of things” darinya, meskipun — katanya — “whether I can deliver or not is something else”. Tentu, di kalangan rakyat jelata, ucapan ini bisa dianggap rendah hati. Tapi di kalangan elite, ini mungkin kode keras: “Saya masih bisa jika kalian tak becus.”

Dalam wawancara terpisah bersama _The Straits Times_, Mahathir malah menuding 17 tahun setelah ia mundur dari kursi PM sebagai tahun-tahun yang “terbuang sia-sia.” Kenapa? Karena, menurutnya, para penerusnya “tidak fokus pada pertumbuhan ekonomi” melainkan justru sibuk “memanfaatkan jabatan perdana menteri untuk keuntungan pribadi.”

Ini bukan sekadar sindiran. Ini pelurusan sejarah versi Tun — bahwa jika Malaysia tersendat, bukan karena usia yang tua, tapi karena pemimpin muda yang lupa fungsi.

Dan jangan dikira ia sudah bersantai. Di usianya yang seabad, Mahathir masih datang ke kantornya di Putrajaya lima hari dalam seminggu. Bahkan ia bilang, “Saya tetap datang kerja seperti biasa, saya bahkan tidak ambil cuti.” Jadi sementara banyak anak muda sibuk cari tanggal merah, Mahathir malah sibuk cari ruang kerja kosong.

Namun, yang lebih menakutkan dari usia 100 adalah kenyataan bahwa Mahathir masih mampu berbicara panjang lebar di podcast, menyentil kebijakan politik hari ini, dan mengulas sejarah dengan daya ingat setajam pisau bedah. (Ya, Mahathir memang mantan dokter.)

Di banyak negara demokrasi, ulang tahun ke-100 biasanya dirayakan dengan penghargaan kenang-kenangan — bukan dengan mengomentari perdana menteri yang sedang berkuasa di depan publik.

Lihatlah para pemimpin dunia lainnya. Ronald Reagan pensiun di usia 77, lalu memasuki masa pikun di usia awal 80-an. Joe Biden, yang baru 82 tahun, sudah jadi bahan meme global.

Jimmy Carter memang masih hidup, tetapi lebih sibuk dengan mural gereja daripada pertemuan geopolitik. Satu-satunya yang mendekati daya tahan Mahathir mungkin Fidel Castro — tapi dia pensiun total di usia 82 dan wafat di umur 90.

Maka Mahathir bukan cuma panjang umur. Ia panjang akal, panjang stamina, dan pendek rasa bosan terhadap dunia politik.

Memang, sebagian mengkritiknya sebagai diktator dalam kulit demokrasi: membangun banyak infrastruktur, tetapi juga mencetak warisan politik yang tak semua orang ingin warisi.

Tapi siapa bisa menyangkal bahwa Malaysia modern adalah mahakarya Mahathir — dari Putrajaya yang menyerupai miniatur Washington DC beriklim tropis, hingga Proton Saga yang dulu jadi mobil pertama bagi banyak mahasiswa patah hati di era 90-an.

Saat Asia diguncang krisis keuangan 1997, Mahathir menolak resep IMF — seperti dokter keras kepala yang menolak antibiotik dari koleganya dan malah menyembuhkan pasiennya dengan rebusan daun pandan… dan berhasil.

Bayangkan, ini dokter jadi perdana menteri, lalu pensiun, lalu balik lagi di usia 92, lalu pensiun lagi, lalu tampil di podcast ulang tahun ke-100 dengan penuh gaya. Ini bukan tokoh politik. Ini _Marvel Cinematic Universe_ versi Malaysia.

Coba tengok pemimpin global lain: Nelson Mandela pensiun di usia 81. Lee Kuan Yew masih sempat memberi nasihat hingga usia 90-an, tapi tak pernah merayakan ulang tahun ke-100 sambil mengudara lewat podcast.

Henry Kissinger memang baru wafat di usia 100 akhir 2023 lalu — tapi dalam kondisi jauh dari kelincahan publik, apalagi kemampuan menyusun ulang memoar tiap kali PM berganti.

Dengan kata lain, Mahathir adalah unicorn politik. Ia pemimpin yang bahkan tak bisa di-uninstall oleh sejarah atau usia.

Setiap kali ia muncul ke publik, kita diingatkan bahwa Malaysia dibangun oleh tekad keras, bukan bantuan IMF. Politik bisa penuh drama, tetapi juga bisa melahirkan tokoh-tokoh besar.

Kita diingatkan bahwa konflik bisa tajam, tapi rekonsiliasi pun bisa — walau sebentar. Lihat saja Anwar Ibrahim yang mengucapkan selamat ulang tahun tanpa menambahkan: “tetaplah pensiun, Tun.”

Lebih penting dari semua itu: Mahathir menunjukkan bahwa usia tua bukan penghalang untuk ide-ide besar. Bahkan, sering kali, justru dari mereka yang hidup sejak sebelum TV berwarna-lah muncul kebijaksanaan paling tajam.

Apakah Mahathir akan abadi? Tentu tidak. Bahkan podcast pun nanti akan sepi. Tapi dalam sejarah Malaysia — dan dunia — Tun Mahathir Mohamad telah membuktikan satu hal: umur panjang tidak berarti pensiun dari ide-ide besar.

Ia mungkin tak lagi duduk di kursi kekuasaan. Tapi ia masih berdiri kokoh di tengah ruang wacana publik — dan itu, lebih mengguncang dari pidato para presiden yang sedang menjabat.

Seratus tahun Mahathir bukan sekadar angka. Ia adalah episode panjang dari seorang manusia yang keras kepala, keras prinsip, dan keras hati. Tapi justru itu yang membangun Malaysia — dan membuat kita semua, entah suka atau tidak, selalu menoleh setiap kali namanya disebut.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 11/7/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *