ABNnews – Gara-gara dendam, wanita bernama Yanti (34) tega menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri, Lilis (53), dengan cara sadis disertai aksi mutilasi.
Ironisnya, dalam melakukan perbuatan tersebut, Yanti dibantu oleh sang ayah kandungnya, Cahya (53) yang juga suami korban.
Takut aksinya terbongkar, Yanti pun menghilangkan nyawa anak kandungnya yang masih berusia tiga tahun.
Aksi pembunuhan itu dilakukan di Desa Cibanteng, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Senin (19/5/2025).
Saudaraku, Rasulullah Nabi Muhammad SAW pernah diracun perempuan Yahudi yang dendam. Zainab binti al-Harith menaruh dendam karena suaminya, Salam bin Mishkam, tewas dalam peperangan.
Dendamnya bukan sekadar kehilangan, tapi keyakinan bahwa ajaran Muhammad SAW adalah ancaman terakhir bagi keberadaan kaumnya.
Hari itu, Rasulullah SAW menerima hidangan kambing itu tanpa curiga. Wajah beliau bercahaya dalam senyum menang peperangan, tapi tubuhnya lelah oleh perang yang belum lama usai. Di sekeliling beliau, para sahabat menyambut hidangan tersebut. Di antara mereka adalah sahabat mulia: Basyar bin al-Barra’. Dengan penuh rasa syukur, mereka menikmati daging panggang itu.
Namun, dilansir dari bincangsyariah.com, belum sempat ditelan, lengan kambing itu “berbicara”. Bukan dengan suara, tapi dengan rasa getir dan isyarat Ilahiyah yang merambat di lidah Rasulullah SAW. Seketika beliau berhenti. Beliau meludahkan daging itu, lalu bersabda dengan keteguhan yang menggetarkan: “Tulang ini mengabarkan kepadaku bahwa ia beracun.”
Terlambat bagi Basyar bin al-Barra’. Racun telah menyusup ke dalam darahnya. Tubuhnya melemah hari demi hari, hingga akhirnya ia wafat sebagai syahid. Sedangkan Rasulullah SAW selamat—namun racun itu tidak pergi.
Ia menetap di tubuh sang Nabi, menjadi saksi bisu yang perlahan menorehkan luka dalam, hingga beberapa tahun kemudian, di ranjang wafatnya, beliau berkata: “Kini telah tiba saatnya nadiku terputus karena makanan beracun yang aku makan di Khaybar.”
Berita tentang racun itu menyebar cepat. Rasulullah SAW segera memerintahkan agar para pemuka Yahudi Khaybar dikumpulkan. Di hadapan mereka, beliau berdiri bukan sebagai korban, tapi sebagai hakim dan nabi yang dijaga Tuhannya.
“Siapa ayah kalian?” tanya beliau.
Dengan licik mereka menyebut nama palsu, namun Rasulullah SAW membongkar dusta mereka dengan menyebut nama asli ayah mereka. Mereka pun terdiam, lalu berkata dengan wajah pucat:
“Engkau benar, wahai Abu al-Qasim, dan engkau telah berlaku adil.” Kemudian, beliau bertanya dengan tenang namun menghunjam: “Apakah kalian meracuni daging ini?”
Mereka mengaku: “Kami ingin menguji. Jika engkau hanyalah raja, racun itu akan membunuhmu. Tapi jika engkau seorang nabi, tentu engkau akan selamat.”
Lalu perempuan itu dipanggil: Zainab, sang pelaku makar. Dengan kepala tegak dan lidah yang tajam, ia mengakui perbuatannya. “Aku ingin mengujimu. Aku ingin tahu, apakah engkau benar-benar Nabi.”
Nabi SAW tidak marah. Tidak pula langsung menghukumnya. Ia memaafkan Zainab. Tidak karena lemah, tapi karena kasih yang meluap dari dada seorang Rasul yang hidupnya adalah rahmat bagi semesta alam. Namun setelah Basyar wafat, keadilan harus ditegakkan. Zainab dihukum qishash oleh para sahabat atas dasar pembunuhan.
Peristiwa Khaybar bukan sekadar catatan tentang racun dan pengkhianatan. Ia adalah potret agung dari pribadi Rasulullah SAW—seseorang yang bisa memaafkan musuh bahkan setelah mencoba membunuhnya. Beliau bukan hanya nabi yang dijaga oleh wahyu, tapi juga manusia yang diuji, disakiti, dan akhirnya wafat dengan luka yang disebabkan oleh tangan seorang musuh.
Namun di sanalah letak keagungan beliau. Tak satu pun dari luka itu membuatnya membalas demi kepentingan pribadi. Tidak pula membatalkan rahmat yang ia bawa untuk semua manusia, termasuk mereka yang meracuninya.
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam hal memaafkan. Dalam banyak peristiwa, beliau selalu memilih memaafkan meskipun memiliki kesempatan untuk membalas. Rasulullah memaafkanlah siapa saja yang menyakiti, membenci, bahkan yang menzaliminya.
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menulis dalam Zad al-Ma’ad: “Peristiwa racun ini adalah tanda kenabian. Jika Muhammad SAW bukan Nabi, ia pasti wafat saat itu. Tapi Allah menundanya hingga risalah disempurnakan dan wahyu terakhir diturunkan.”
Memaafkan
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tak luput dari kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak. Namun, Islam mengajarkan umatnya untuk selalu memberi maaf demi menjaga kebersihan hati.
Ustaz Anam saat mengisi siaran Mutiara Pagi di RRI Nunukan, Kamis (13/2/2025), mengemukakan, memaafkan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kekuatan iman. Ketika seseorang memaafkan, ia sedang membebaskan dirinya dari belenggu dendam dan kebencian. Inilah yang membuat hati menjadi damai dan hidup lebih berkah.
Dalam kehidupan sosial, memaafkan juga mempererat ukhuwah Islamiyah dan menciptakan lingkungan yang harmonis. Sebaliknya, menyimpan dendam hanya akan memperberat hati dan menghambat kebahagiaan.
Apakah seseorang yang memiliki dendam atau benci terhadap orang lain, sholatnya diterima? KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya mengatakan, ibadah seorang muslim yang memiliki hubungan kurang baik dengan sesama manusia tetap akan diterima. Rasa dendamnya kepada orang lain tidak menjadi penghalang diterimanya amal.
“Sholat Anda masih diterima, kebaikan Anda masih diterima. Jadi, jangan menjadikan orang putus asa. Bukan karena sebuah dosa lalu amal tidak diterima. Sholat insya Allah masih diterima,” jelas Buya Yahya seperti dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Ahad (20/10/2024).
Buya Yahya menyarankan agar muslim yang memiliki dendam kepada orang lain segera membersihkan hati yang kotor, karena hati yang kotor menjadi penyebab segala bentuk kejahatan.
Buya Yahya juga mengimbau kepada siapapun orang yang memiliki sifat dendam untuk berjihad melawan kebiasaannya agar terlepas dari sifat dendam.
Saudaraku ingatlah, dendam membuat hubungan menjadi renggang, silaturahmi terputus, dan keburukan yang tiada henti satu sama lain. Jika kedua orang terlibat pertengkaran dan saling menyimpan dendam, maka pertengkaran akan terus terjadi dan keduanya sama sama berdosa.
Hadist Riwayat Muttafaq ‘Alaihi mengatakan, “Tidak akan masuk surga pemutus silaturahmi”. (Muttafaq ‘Alaihi).
Di sisi lain, Allah SWT tidak menyukai orang yang zalim. Seperti firman Allah SWT dalam surat Asy Syura ayat 40, yang artinya: “Dan balasan suatu kejahatan ialah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas tanggungan Allah. Dan Allah tidak menyukai orang orang yang zalim”. (QS Asy Syura : 40).
Surat Asy Syura ayat 40 mengajarkan manusia tidak menyimpan dendam, sebab Allah sudah menjamin balasan dari tiap perbuatan umat-Nya. Menyimpan dendam tandanya tidak percaya pada rahmat Allah SWT dan termasuk ciri orang yang zalim.
Saudaraku, jangan ragu untuk menghilangkan dengki, dendamdan kebencian dengan terus berdoa. Hidup di dunia akan nikmat dan bahagia jika kita tidak punya dendam dan kebencian terhadap siapa pun. Wallohu a’lambishshawab/H Ali Akbar Soleman Batubara