ABNnews — Center of Economic and Law Studies (Celios) menaksir kerugian ekonomi akibat deforestasi yang menyebabkan banjir dan longsor di Pulau Sumatra diperkirakan mencapai Rp68,67 triliun. Perkiraan itu didapat berdasarkan 5 jenis kerugian.
Pertama, kerugian rumah yang masing-masing mencapai Rp30 juta per rumah. Kedua, kerugian jembatan dengan masing-masing biaya pembangunan kembali jembatan mencapai Rp1 miliar.
Ketiga, kerugian pendapatan keluarga sesuai dengan pendapatan rata-rata harian masing-masing provinsi dikali dengan 20 hari kerja. Keempat, kerugian lahan sawah dengan kehilangan mencapai Rp6.500 per kg dengan asumsi per Ha dapat menghasilkan 7 ton.
Sementara kelima, perbaikan jalan per 1000 meter mencapai Rp100 juta. “Secara nasional, terjadi dampak penurunan Produk Domestik Bruto mencapai Rp68,67 triliun atau setara dengan 0,29 persen,” tulis Celios dalam keterangan yang dikutip pada Selasa (02/12).
Dampak kepada provinsi lainnya terdapat pada arus barang konsumsi maupun kebutuhan industri yang juga melemah, terlebih Sumatra Utara merupakan salah satu simpul industri nasional di Sumatera.
Aceh mengalami kontraksi ekonomi paling dalam, yaitu 0,88 persen atau setara Rp2,04 triliun. “Secara regional, ekonomi Aceh akan menyusut sekitar 0,88 persen atau setara Rp2,04 triliun,” ujarnya.
Menurut Celios, bencana ekologis dipicu oleh alih fungsi lahan karena deforestasi sawit dan pertambangan. Sementara, sumbangan dari tambang dan sawit bagi provinsi Aceh misalnya tak sebanding dengan kerugian akibat bencana yang ditimbulkan.
Oleh sebab itu, Celios mendesak pemerintah menerapkan moratorium izin tambang baru, termasuk perluasan wilayah konsesi.
“Sudah waktunya beralih ke ekonomi yang lebih berkelanjutan, ekonomi restoratif. Tanpa perubahan struktur ekonomi, bencana ekologis akan berulang dengan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar,” tulis Celios.
Berdasar sesuai hasil studi Celios–Koalisi Moratorium Sawit (2024) yang menunjukkan kebijakan moratorium dan replanting dapat menciptakan 761 ribu lapangan kerja pada 2045, jauh lebih besar dari manfaat ekonomi pembukaan lahan baru.
“Industri ekstraktif memberi pemasukan yang kecil dibanding biaya pemulihan pascabencana. Tanpa perubahan arah kebijakan, kerugian akan terus membesar setiap tahun.”













