ABNnews – Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang baru saja memberikan rehabilitasi kepada tiga mantan pejabat PT ASDP Indonesia Ferry yang sempat terjerat perkara hukum terus menjadi sorotan. Langkah berani Kepala Negara ini disebut sebagai jawaban atas suara publik yang ditindaklanjuti secara serius.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan menegaskan, kebijakan rehabilitasi ini bukan hasil dari tekanan politik, melainkan respons atas aspirasi publik yang disampaikan melalui jalur konstitusional oleh DPR RI, serta kajian hukum menyeluruh dari pemerintah.
“Kita menyaksikan bahwa proses ini lahir bukan dari tekanan politik, tetapi dari konsensus antara aspirasi rakyat dan pertimbangan hukum yang matang,” kata Iwan dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Iwan menyoroti peran DPR yang menerima berbagai aduan masyarakat mengenai kasus ASDP sejak Juli 2024. Aspirasi tersebut tidak mandek sebagai keluhan, melainkan diolah melalui mekanisme konstitusional: pengkajian oleh Komisi Hukum DPR yang melibatkan pakar.
Hasil kajian itu lalu disampaikan kepada pemerintah untuk meninjau kembali putusan yang dinilai mengandung persoalan substansial keadilan.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum juga menerima berbagai masukan masyarakat. Proses ini dibahas dalam rapat terbatas sebelum akhirnya Presiden Prabowo memutuskan untuk menandatangani pemulihan nama baik tiga mantan direksi ASDP, yakni Ira Puspa Dewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Hari Muhammad Adhi Caksono.
“Langkah ini menunjukkan sebuah pesan penting: negara tidak membiarkan pelayan publik dibiarkan sendirian ketika menghadapi proses hukum yang berpotensi keliru,” tegas Iwan.
Menurutnya, rehabilitasi dari Presiden ini adalah koreksi negara terhadap potensi ketidakadilan. Ini membuktikan bahwa mekanisme demokrasi bekerja sesuai ruhnya: aspirasi rakyat diterima, dianalisis dengan dasar hukum oleh institusi negara, lalu diputuskan oleh kepala negara.
Iwan lebih lanjut mengatakan keputusan ini justru menegaskan bahwa penegakan hukum harus dijalankan secara adil, transparan, dan proporsional.
“Negara tidak boleh sekadar menjadi mesin penghukum; negara juga wajib menjadi penjaga martabat warganya. Ketika prosedur hukum berpotensi melukai orang yang bekerja sesuai aturan, negara memiliki kewajiban moral untuk membetulkannya,” tuturnya.
Dengan langkah ini, pemerintah dinilai sedang membangun tata kelola baru dalam penanganan hukum terhadap pejabat publik, menunjukkan bahwa profesionalisme dalam pelayanan publik dilindungi, bukan dikorbankan.
“Ke depan, semoga keputusan ini menjadi fondasi bagi iklim kepastian hukum yang lebih sehat bagi para pelayan publik. Karena negara yang kuat bukanlah negara yang banyak menghukum, tetapi negara yang berani memulihkan,” tutup Iwan.













