Oleh: Sobirin Malian
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Publik saat ini menyoroti kasus “kontroversi” Ira Puspadewi (mantan Dirut ASDP). Ira menurut beberapa sejawat, kolega dan teman-temannya dikenal sebagai seorang yang jujur, bekerja profesional untuk negara, sehingga ketika dia divonis bersalah oleh pengadilan banyak yang terkejut dan seolah tak percaya vonis itu dijatuhkan kepadanya.
Kronologi kasus seperti dituduhkan oleh majelis hakim, pada periode 2019 hingga 2022, PT ASDP Indonesia Ferry yang dipimpin oleh Ira Puspadewi melakukan proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN). Proses ini dimulai dengan penandatanganan Kerja Sama Usaha (KSU) antara PT ASDP dan PT JN yang kemudian berubah menjadi akuisisi saham tanpa persetujuan Dewan Komisaris (DK), yang menjadi poin penting dalam perkara ini. Proses akuisisi tersebut dilakukan tanpa analisis risiko yang memadai dan tanpa hasil due diligence yang komprehensif. Akibatnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan penyimpangan yang menyebabkan kerugian negara senilai sekitar Rp 1,27 triliun. Ira dan beberapa anggota direksi lainnya ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi melalui proses kerja sama usaha dan akuisisi yang tidak sesuai regulasi ini.
Proses Hukum dan Disenting Opinion
Kasus ini disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Jaksa penuntut umum mendakwa Ira dan timnya atas tuduhan korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Pada 20 November 2025, majelis hakim memutuskan hukuman penjara selama 4,5 tahun dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Ira Puspadewi. Meskipun mayoritas hakim memutuskan Ira bersalah, Ketua Majelis Hakim Sunoto memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda), menyatakan bahwa Ira dan rekan-rekannya tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi karena keputusan yang diambil merupakan keputusan bisnis yang sah dan tidak mengandung unsur kesengajaan merugikan negara. Sunoto menegaskan bahwa prinsip in dubio pro reo (jika ragu, membebaskan terdakwa) seharusnya dipegang dan keputusan vonis harus mengedepankan asas tersebut.
Hakim Sunoto dalam kasus Ira Puspadewi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyatakan bahwa Ira Puspadewi dan dua terdakwa lainnya seharusnya dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Dasar dan dalil pendapatnya adalah:
Hakim Sunoto berpendapat bahwa (1) keputusan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) merupakan keputusan bisnis yang sah dan dilindungi oleh Business Judgement Rule (BJR).
Hakim Sunoto menekankan bahwa (2) Ira Puspadewi dan dua terdakwa lainnya tidak menerima keuntungan pribadi dari transaksi akuisisi PT JN.
Hakim Sunoto juga berpendapat bahwa (3) keputusan bisnis di BUMN selalu mengandung risiko, dan kriminalisasi keputusan strategis dapat membuat profesional terbaik menjadi ragu (sebagai preseden) menerima posisi pimpinan di perusahaan negara.
Selanjutnya, Hakim Sunoto menyatakan bahwa (4) tindakan para terdakwa telah dilakukan dengan itikad baik dan berhati-hati tanpa niat jahat (mens rea) untuk merugikan negara.
Pendapat Hakim Sunoto ini berbeda dengan keputusan mayoritas hakim yang menyatakan Ira Puspadewi dan dua terdakwa lainnya bersalah dalam kasus korupsi akuisisi PT JN
Argumen Hukum dan Prinsip Business Judgment Rule
Argumen utama pembelaan Ira berakar pada prinsip Business Judgment Rule (BJR), yang memberikan perlindungan hukum kepada direksi dalam mengambil keputusan bisnis yang dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tanpa niat jahat. Ira dan timnya berargumen bahwa keputusan akuisisi merupakan risiko bisnis yang wajar dan tidak mengandung unsur mens rea, yaitu niat jahat untuk melakukan korupsi atau keuntungan pribadi. Tidak ditemukan bukti yang menunjukkan pengayaan pribadi oleh Ira dalam kasus ini. Hal ini menjadi titik krusial perdebatan antara kelalaian administrasi dan tindak pidana korupsi, di mana vonis pengadilan justru memutus Ira bersalah atas dasar kerugian negara, meskipun tidak ada pengayaan pribadi.
Kasus Ira Puspadewi yang divonis penjara karena dugaan korupsi mengingatkan pada kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang sebelumnya divonis bersalah dalam kasus korupsi impor gula namun kemudian menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto pada pertengahan 2025. Abolisi yang diberikan kepada Tom Lembong adalah hak prerogatif Presiden yang dibenarkan secara konstitusional dan telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa unsur mens rea atau niat jahat tidak terbukti secara meyakinkan serta Tom Lembong tidak terbukti menerima keuntungan pribadi dari kasus tersebut. Pemberian abolisi ini juga dipandang sebagai langkah politik Presiden dalam rangka rekonsiliasi politik dan sebagai sinyal peringatan bagi lembaga peradilan tentang adanya potensi kekeliruan dalam proses persidangan.
Kasus Ira Puspadewi memiliki kemiripan karena juga menyangkut dugaan korupsi di lingkungan pejabat BUMN tanpa adanya bukti keuntungan pribadi dan diperdebatkan soal unsur kesengajaan (mens rea). Hal ini memunculkan diskusi serupa tentang batas keadilan dan perlakuan hukum bagi pejabat yang mengambil keputusan bisnis yang berisiko, serta peran Presiden dalam menggunakan hak prerogatif seperti abolisi atau amnesti untuk menghentikan atau memperbaiki putusan yang dianggap tidak adil. Kasus Tom Lembong memberi gambaran bahwa di Indonesia, mekanisme ini masih menjadi jalan keluar terakhir dalam kasus yang kompleks dan kontroversial yang melibatkan pejabat negara, meskipun dampaknya kerap menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat.
Jadi, melihat kasus Ira Puspadewi, masyarakat dapat mengaitkannya dengan dinamika yang sama dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia yang belum selalu konsisten dan sering kali dibayangi pertimbangan politik dan pragmatisme hukum sebagaimana terlihat pada kasus Tom Lembong sebelumnya. Hal ini menegaskan perlunya evaluasi mendalam terhadap sistem hukum dan mekanisme perlindungan hak-hak para pejabat dalam melakukan keputusan bisnis yang tidak selalu mudah, agar tidak terjadi kriminalisasi yang berlebihan di masa datang.
Narasi Publik, Kritik dan Kontroversi
Vonis yang dijatuhkan terhadap Ira memicu kontroversi kuat di kalangan masyarakat, akademisi, dan pengamat hukum. Banyak yang menilai vonis tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kesalahan manajerial dan risiko bisnis yang biasa terjadi pada pengambilan keputusan di korporasi. Kritik menyatakan bahwa putusan ini berpotensi menciptakan efek jera yang berlebihan sehingga menghambat profesional BUMN dalam mengambil keputusan strategis yang berani namun berisiko. Kasus ini juga mengundang perhatian luas terkait ketidakjelasan batas antara kesalahan bisnis dan tindak pidana korupsi di ranah hukum Indonesia.
Petisi Pembebasan dan Isu Keadilan Hukum
Respon publik berupa petisi yang menuntut pembebasan Ira Puspadewi tumbuh pesat sejak vonis diumumkan. Petisi-petisi ini menegaskan bahwa putusan pengadilan gagal membuktikan unsur kesengajaan korupsi dan mengkriminalisasi keputusan bisnis yang wajar. Mereka menuntut evaluasi ulang putusan dan reformasi dalam sistem hukum untuk membedakan jelas antara kelalaian manajerial dengan tindak pidana korupsi. Pendukung petisi berharap suara dissenting opinion dari ketua majelis hakim dan dukungan akademisi dapat memperkuat peluang banding dan peninjauan kembali untuk membebaskan Ira, sehingga keadilan hukum dapat ditegakkan dengan lebih proporsional.
Petisi publik yang membludak untuk membebaskan Ira Puspadewi sejatinya mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap putusan pengadilan yang dianggap tidak adil dan cenderung mengkriminalisasi pejabat negara dalam kasus korupsi. Banyak pihak melihat vonis terhadap Ira bukan semata soal penegakan hukum, melainkan lebih sebagai langkah kriminalisasi terhadap kesalahan pengambilan keputusan bisnis yang selama ini menjadi risiko wajar dalam tata kelola BUMN.
Kekurangan kepercayaan ini tumbuh dari pandangan bahwa vonis hakim tidak mengedepankan asas praduga tidak bersalah dan mens rea sebagai unsur penting dalam tindak pidana korupsi. Publik dan para pendukung petisi menilai keputusan hukum pada kasus Ira mengabaikan aspek fundamental tersebut, sehingga lebih mirip vonis atas akar permasalahan kelalaian administratif dan manajerial, bukan korupsi yang disengaja atau demi keuntungan pribadi. Hal ini menimbulkan ketakutan berlebihan bagi para pejabat dan pengelola BUMN untuk berinovasi dan mengambil risiko karena khawatir akan dipidanakan jika terjadi kesalahan.
Petisi menjadi suara kolektif yang menuntut agar sistem peradilan tidak hanya menjadi instrumen penindasan, tetapi mampu memberikan keadilan substantif yang berimbang antara perlindungan negara dan hak individu. Ini juga menjadi cermin perlunya reformasi hukum agar putusan pengadilan tidak disalahgunakan untuk memberikan efek jera di luar koridor hukum yang jelas dan tegas. Dari sudut pandang publik, penegakan hukum seharusnya tidak mengorbankan prinsip keadilan, transparansi, dan proporsionalitas sehingga kepercayaan terhadap lembaga pengadilan dapat kembali pulih.
Secara lebih luas, petisi ini menunjukkan bahwa di tengah upaya pemberantasan korupsi yang agresif, masyarakat tetap menginginkan putusan yang fair dan berdasarkan bukti kuat. Munculnya kritik keras dan tuntutan pembebasan Ira menggambarkan kesadaran publik akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemberantasan korupsi dan penghormatan hak asasi hukum bagi pejabat negara agar tidak terjadi penyalahgunaan proses hukum yang merugikan kepastian hukum dan stabilitas tata kelola negara.
Implikasi Kasus bagi Sistem Hukum dan Tata Kelola BUMN
Kasus Ira menjadi pelajaran penting bagi penegakan hukum korupsi dan tata kelola BUMN di Indonesia. Dari kasus ini dapat digarisbawahi perlunya keseimbangan yang tepat antara akuntabilitas dan perlindungan hukum bagi pengambil keputusan agar tidak terjadi kriminalisasi berlebihan terhadap manajer yang mengambil risiko bisnis. Reformasi tata kelola dan kehati-hatian penerapan prinsip hukum diharapkan dapat membangun iklim bisnis yang sehat, memberikan kepastian hukum, serta menjaga keberlangsungan dan kemajuan BUMN tanpa hambatan ketakutan hukum.***
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan













