ABNnews – “Kritik itu ibarat rumah tanpa jendela, pengap”, kata sastrawan dan dramawan Indonesia terkemuka.
Kritik dalam Islam adalah bentuk amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh yang baik dan mencegah yang buruk) yang dianjurkan dengan adab dan etika tertentu, seperti dilakukan secara ikhlas, berbasis ilmu, adil, dan lemah lembut.
Kritik yang dilakukan dengan benar bertujuan untuk memberi masukan konstruktif, mencegah kemungkaran, dan memberikan solusi, bukan untuk merendahkan atau menyakiti. Kritik juga harus membedakan antara ghibah (menggunjing) dan nasihat yang membangun.
Konsep dan tujuan kritik dalam Islam
Rasulullah Dikritik
Rasulullah SAW pernah dikritik dan ditegur oleh Allah, serta dikritik oleh para sahabat dan masyarakat. Contohnya adalah teguran dari Allah melalui Surat Abasa karena dianggap mengabaikan seorang sahabat yang buta, kritik dari seorang petani mengenai urusan duniawi, dan pendapat Khahab tentang strategi perang.
Kritik ini menunjukkan sisi manusiawi Rasulullah dan bagaimana ia menerima saran demi perbaikan. Ini menunjukkan beliau adalah manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan, namun kesalahannya dikoreksi oleh wahyu.
Kisah Surah Abasa:
Rasulullah pernah bermuka masam dan mengabaikan seorang sahabat buta yang ingin meminta nasihat, karena sibuk berbincang dengan pembesar Quraisy. Peristiwa ini kemudian ditegur oleh Allah melalui Surah Abasa.
Kritik petani Madinah:
Seorang petani pernah bertanya kepada Rasulullah mengapa ia mengawinkan benih kurma. Rasulullah bertanya balik, lalu petani tersebut menjelaskan teknis pertaniannya. Kejadian ini menjadi contoh bahwa Rasulullah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpendapat dalam urusan duniawi.
Saran Khahab:
Dalam Perang Badr, sahabat Khahab mengkritik strategi perang yang dipilih Rasulullah. Khahab mengusulkan tempat yang berbeda dan strategi penggunaan air untuk keuntungan kaum muslimin. Rasulullah menyetujui saran tersebut dan menyadari bahwa strategi Khahab lebih baik, lalu mereka pun memenangkan perang itu.
Umar bin Khattab juga sering memberikan kritik dan bahkan keberatan pada beberapa keputusan Rasulullah. Ia bahkan pernah secara fisik memegang baju besi Nabi saat ingin membatalkan kampanye militer terhadap Bani Qaynuqâ’, meskipun akhirnya Rasulullah tetap membebaskan suku tersebut.
Kritik dari masyarakat umum:
Pedagang dari Bani Qaynuqâ’ juga sempat memprovokasi permusuhan dengan memicu kekerasan. Namun, saat Nabi akhirnya memutuskan untuk melawan mereka, Abdullah bin Ubayy menahannya secara fisik dan memohon agar kampanye dibatalkan.
Kritik ibarat pedang, bisa berguna tapi juga bisa jadi malapetaka, tergantung menyikapinya. Umumnya orang-orang yang berpikiran negatif akan menanggapi kritik sebagai senjata yang menghunus dirinya. Sebaliknya orang-orang yang berpikir positif menjadikan kritik sebagai cermin yang memberi gambaran diri yang sebenarnya.
Kritik seharusnya dihadapi dengan akal sehat karena dengan demikian dapat melihat kelemahan dirinya, dan selanjutnya memperbaikinya.
Imam Syafi’i memandang kritik atau celaan dari orang lain terutama dari lawannya justru besar manfaatnya. Imam Syafi’i suka bertukar fikiran dengan para ulama lain dalam mencari kebenaran.
Dalam bertukar fikiran Imam Syafi’i selalu memilih orang yang sebanding keilmuannya bahkan lebih suka bertukar fikiran dengan ulama yang lebih tinggi pengetahuannya dengan Imam Maliki gurunya.
Imam Al Ghazali mengatakan seringkali manfaat yang kita dapatkan dari celaan seorang musuh lebih banyak manfaatnya yang kita dapatkan dari pada nasehat orang lain.
Tentu saja kritik yang kita sampaikan harrus sesuai etika dan adab. Niatkan kritik untuk mencari ridha Allah, bukan untuk menonjolkan diri, mencari popularitas, atau membalas dendam. Wallohua’lambishshawab/H Ali Akbar Soleman Batubara













