ABNNews— Pejabat publik dan masyarakat harus bijak dan menjaga etika dalam bermedia sosial. Juga harus mengedepankan sikap tabayyun sebelum menyebarkan informasi lewat media sosial.
Permintaan tersebut disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh saat menghadiri diskusi “Fatwa Bermuamalah di Media Sosial pada Era Post Truth: Fatwa, Etika, dan Sikap Kita” yang digelar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam siaran pers yang diterima di Morowali, Rabu
Menurut Asrorun, hal itu harus dilakukan agar informasi yang disebarkan tidak menyesatkan masyarakat dan membuat gaduh di media sosial. “Dalam konteks ruang digital hari ini, satu unggahan bisa menyebar ke mana-mana dalam hitungan detik, dan efeknya bisa jauh lebih besar daripada yang dibayangkan pembuatnya,” katanya.
Dia menilai ruang digital adalah ruang publik yang sarat tanggung jawab moral sehingga setiap unggahan dapat berpengaruh langsung pada persepsi dan ketenangan masyarakat.
Menurutnya, pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam kehati-hatian, terutama saat menyampaikan pendapat di media sosial.
“Kalau imam hanya model tenar, namun tidak mengikatkan diri pada aturan sebagai imam yang layak, maka dia bukan hanya tidak boleh diikuti, bahkan ketika mengikuti dia hukumnya batal,” Kata Asrorun dilasir Antara.
Dikatakannya, saat ini prinsip viral telah menjadi penentu cara berpikir masyarakat sehingga kesalahan informasi dapat menggiring opini publik pada arah yang berbahaya.
“Dalam era post-truth, orang sering percaya pada sesuatu bukan karena benar, tapi karena viral. Ini tantangan besar bagi kita semua, terutama pejabat yang unggahannya selalu ditafsirkan sebagai sikap resmi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Asrorun meminta pejabat sebagai sosok yang dipandang masyarakat dapat memiliki sikap yang bijak untuk menyebarkan informasi di media sosial.
Nadzar Lendi













