Catatan Cak AT
Bila ada hari ketika politik Indonesia tampak seperti pentas musikal —lengkap dengan tepuk tangan, desahan lega, dan teriakan protes yang bernada fals— maka 18 November 2025 itulah harinya.
Gedung Senayan berubah menjadi panggung opera besar yang memadukan semangat reform, aroma kertas legal drafting yang masih hangat dari printer, dan tentu saja, suara para wakil rakyat yang kompak berkata “Setuju!” seperti paduan suara sekolah minggu yang baru saja latihan tiga jam tanpa jeda.
Sebagian orang bilang, inilah momen lahirnya “KUHAP asli karya bangsa Indonesia.” Benar tidaknya klaim ini harus diterjemahkan dengan logika agak dingin: KUHAP lama kelahiran tahun 1981 memang produk Indonesia merdeka, tetapi ia lahir dengan napas panjang warisan kolonial.
Peraturan KUHAP 1981 masih membawa aksen Belanda: kaku, prosedural, dan kadang bicara dengan logat due process ala Negeri Kincir Angin. Revisi kali ini bukan sekadar ganti baju, melainkan operasi tulang, transplantasi organ, dan sedikit terapi wicara agar lebih fasih berbicara dengan bahasa zaman.
Di dalam Ruang Rapat Paripurna ke-8 itu, lampu-lampu menggantung seperti sedang bersiap menyaksikan sejarah. Ketika Ketua DPR Puan Maharani bertanya apakah fraksi-fraksi setuju, jawabannya menggemuruh serentak: “Setuju!” Suasana yang membuat siapa pun percaya bahwa musyawarah bisa terasa seharmonis konser orkestra, selama yang main adalah para politisi yang sudah sepakat duluan.
Di podium, Habiburokhman membacakan laporan Komisi III dengan nada yang campuran antara bangga, lega, dan sedikit dramatis. Katanya, KUHAP baru ini untuk melindungi warga negara, terutama yang rentan: perempuan, anak, disabilitas, hingga korban yang sering dianggap figuran dalam proses hukum.
Ia bicara tentang negara yang dulunya terlalu gemuk, terlalu berotot, tapi sekarang sedang diet konstitusional agar lebih proporsional. Sebuah metafora yang kalau dipikir-pikir, cukup menyakitkan bagi KUHAP lama, yang seolah-olah dituduh makan nasi padang tiga kali sehari tapi malas olahraga.
Namun, yang di dalam gedung itu tidak mendengar suara dari luar. Karena di luar pagar DPR, suasananya lebih mirip festival of resistance. Mahasiswa-mahasiswa dari berbagai kampus, berkumpul sejak pukul 15.00, datang membawa spanduk, megafon, dan semangat idealisme yang masih segar.
Mereka yang belum terkontaminasi cicilan KPR dan biaya sekolah anak itu menolak KUHAP yang baru. Kata mereka di mikrofon aksi, DPR tidak mewakili masyarakat. Kata mereka lagi, kami bukan sekadar meneriakkan “tolak RKUHAP”, melainkan sudah naik kelas jadi menuntut “cabut KUHAP.”
Kalau boleh jujur, suasana depan gedung itu lebih hidup dari di ruang paripurna. Ada orator yang suaranya bisa saja memecahkan genting kalau diarahkan ke atap DPR. Ada mahasiswa yang memegang poster dengan kalimat pedas, sepedas sambal bawang level 15. Ada pula yang hanya duduk sambil memikirkan kenapa perjuangan selalu terjadi di hari kerja, membuat mereka belum sempat makan siang.
Di Senayan hari itu, terlihat nyata jurang klasik demokrasi: yang di dalam bicara reformasi hukum, yang di luar bicara kekhawatiran. Yang di dalam mengucap “alhamdulillah”, yang di luar mengucap “tolong cabut!”. Dua dunia yang sama-sama mengklaim cinta Indonesia.
Secara substansi, revisi KUHAP memang menjanjikan hal-hal yang manis sekali di atas kertas: peradilan cepat, sederhana, transparan, akuntabel. Terdengar seperti tagline aplikasi pembayaran digital, tapi kali ini untuk hukum pidana.
Modernisasi hukum acara pidana itu diantar dengan 13 perubahan besar yang, kalau diletakkan dalam katalog, tampilannya seperti brosur mobil baru: desain lebih ramping, fitur lebih lengkap, dan konsumsi bahan bakar keadilan yang lebih efisien, katanya.
Peradilan cepat artinya perkara tidak dibiarkan berdebu seperti arsip kantor kelurahan. Ada penegasan batas waktu, syarat penahanan yang diperjelas, dan mekanisme pemeriksaan yang tidak boleh berlarut-larut. Yang lambat-lambat dibatasi, yang bertele-tele dipotong, yang gemar menunda diarahkan ikut pelatihan manajemen waktu.
Peradilan sederhana bukan berarti kasus pidana jadi seperti beli pulsa elektrik. Maksudnya, nilai hukum beracara pidana di KUHAP ini disesuaikan dengan UU KUHP yang juga baru, yang menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif.
Selain itu, prosedur diperjelas. Peran penyelidik, penyidik, jaksa, hakim, advokat, dan tokoh masyarakat dibedakan dengan batasan yang tidak lagi saling tumpang tindih. Tidak boleh lagi ada gaya “semua bisa semua”, seperti warung kelontong.
Transparan berarti setiap langkah penegakan hukum dapat dilacak jelas—hak tersangka, hak korban, perlindungan saksi, hingga mekanisme restitusi dan kompensasi. Tidak boleh ada kamar gelap tempat keputusan penting dibuat tanpa saksi. Negara dipaksa menyalakan lampu, meskipun lampunya kadang redup karena anggaran.
Akuntabel artinya tiap tindakan aparat harus bisa dipertanggungjawabkan. Dari penyidikan sampai putusan. Ada penguatan due process of law, pembatasan upaya paksa, hingga mekanisme baru seperti pengakuan bersalah yang tidak boleh dipaksa-paksa seperti sales kartu kredit di mall.
Lengkap sudah janji-janji penguatan: untuk korban, untuk kelompok rentan, untuk advokat, bahkan untuk korporasi yang kini bisa dimintai pertanggungjawaban secara lebih jelas.
Boleh dikata, KUHAP baru ini seperti renovasi besar dari bangunan lama yang banyak bocor: atap tidurnya diganti, dapur pembuktiannya diperbaiki, kamar mandinya ditambahkan ventilasi.
Tetapi, renovasi besar selalu menghasilkan dua suara: di dalam rumah ada yang memuji “wah, akhirnya rapi”, sementara di luar pagar ada tetangga yang protes, “kok ribut sekali sih renovasinya?”.
Itulah demokrasi kita. Itulah hukum kita. Bahkan ketika semua niat baik ditulis dalam batang tubuh undang-undang, interpretasi di jalanan atau nanti di ruang-ruang sidang tetap bisa berbeda.
Dan pada akhirnya, setiap peradilan yang cepat akan diuji oleh lambannya birokrasi; setiap peradilan yang sederhana akan diuji oleh kerumitan kasus; setiap peradilan yang transparan akan diuji oleh tabir kepentingan politik; dan setiap peradilan yang akuntabel akan diuji oleh mereka yang masih alergi pada kata “tanggung jawab”.
Justru di situlah hikmahnya: bahwa hukum bukan sekadar naskah yang disahkan dengan kata “Setuju”. Tapi, itu perjalanan panjang yang harus dikawal terus oleh rakyat —baik mereka yang duduk di dalam gedung Senayan, maupun yang berdiri di luar pagar sambil memegang spanduk.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 19/11/2025













