banner 728x250
Opini  

‘Kota Hantu’ IKN

Catatan Cak AT

Ibu Kota Nusantara itu, kalau kata orang-orang yang rajin nonton YouTube sambil rebahan, sudah seperti sinetron kolosal dengan episode tanpa akhir. Hampir tiap hari muncul tayangannya di laman depan YouTube.

Hari ini muncul video drone melayang di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN), di atas jalan mulus bak catwalk Paris Fashion Week. Besok muncul lagi angle masjid dari sudut mata elang. Lusa kamera drone menyorot rumah sakit berkilat, hunian ASN yang katanya “siap huni”.

Selanjutnya, tampak rumah-rumah mewah menteri yang pintunya lebih gagah dari pintu Tol Cipali. Yang jarang kita lihat? Bagian dalamnya. Bagaimana dengan Istana? Alamak, sampai koran Inggris _The Guardian_ pun mungkin bertanya-tanya: “Ini proyek ibu kota atau museum ilusi?”

Di timeline netizen, opini berputar lebih cepat dari baling-baling drone. Ada yang bilang, “Ah itu cuma video pesanan!” Lainnya: “Itu mah pencitraan!” “Batman aja lebih sering keliatan di Gotham daripada Prabowo keliatan di IKN!”

Begitu kira-kira gegap gempita komentar warganet yang suka membedah pembangunan IKN sambil masak mi instan tengah malam.

Lalu muncul laporan _The Guardian_ yang tadi —koran yang kalau nulis, nadanya bisa setenang biola tapi nusuknya kayak silet baru diasah. Dalam laporannya, IKN digambarkan seperti kota futuristik yang teleportasinya kepagian.

Koran itu melaporkan ke dunia, bangunan IKN memang ada, jalannya ada, palacenya berkilau, tapi manusianya, ehm… masih pesan menyusul. The Guardian menyebutnya _”in danger of becoming a ghost city”_.

Maksudnya, IKN berada di ambang bahaya menjadi sebuah kota hantu. Kota hantu, karena isinya hantu semua? Warganet pun kontan bilang: “Nah kan! Dari dulu saya bilang!” Padahal dari dulu juga dia cuma nonton kompilasi TikTok.

Angka-angka pendukung drama ini, disebut The Guardian tidak kalah elok: pendanaan negara yang turun dari £2 miliar menjadi £700 juta, lalu tahun depan tinggal £300 juta —lebih kecil dari bujet bumbu dapur negara-negara Skandinavia yang doyan subsidi warganya.

Sasarannya? Menyusut. Target penghuni 2030 itu 1,2 juta —sementara sekarang, menurut laporan koran itu, hanya sekitar 2.000 ASN dan 8.000 pekerja konstruksi.

Ibarat bikin hajatan gede, undangan 1,2 juta, yang datang baru sepuluh meja. Itu pun separuhnya lagi makan dan separuhnya lagi sedang mikir kapan pulang.

Tapi Basuki Hadimuljono —sosok teknokrat yang kalau ngomong soal infrastruktur wajahnya selalu bersinar seperti aspal baru dipadatkan— bilang semua baik-baik saja. “Pendanaan bukan dipotong, tapi dialihkan,” katanya tenang.

Suaranya terdengar seperti kalimat guru matematika yang ingin menenangkan murid: “Tenang nak, angkanya memang mengecil, tapi semangat kita membesar.”

Sementara itu, di lapangan, warga lokal di sekitar Sepaku menghadapi kenyataan yang tak seindah poster digital 3D. Ada petani yang panennya turun separuh, ada nelayan yang merasa sungainya semakin keruh.

Bahkan, ada pedagang yang dulu berjaya di masa Jokowi tetapi kini dagangannya seramai jalan tol jam tiga pagi. Ekonomi lokal ikut naik-turun seperti sinyal Wi-Fi rusak.

Lingkungan Sepaku IKN? Walhi menyebut 2.000 hektare mangrove sudah dibabat. Dua ribu hektare, lho. Itu setara kira-kira 2.800 lapangan bola.

Tapi di presentasi resmi, selalu muncul kata _”green city”_. Kalau _green city_ diterjemahkan sebagai “daunnya tinggal di slide PowerPoint”, ya pas lah.

Di sisi lain, IKN masih mencuri decak kagum pelancong seperti Clariza dari Sulawesi, yang bilang kota itu seperti Singapore versi beta: rapi, modern, nyaris tidak percaya ada di tengah rimba.

Tapi ia juga bilang, “Kok sepi, ya?” Ya gimana, tanpa manusia, kota secanggih apa pun tetap saja seperti mal baru sebelum tenant masuk. Atau kota hantu, tulis Guardian. Lampunya nyala, tapi hawanya seperti perpustakaan yang AC-nya terlalu dingin.

Mengapa bisa begini? Jangan-jangan proyek sebesar ibu kota baru memang tidak bisa dirawat hanya dengan visual drone dan narasi heroik tiga menit. Apalagi ketika prioritas negara tiba-tiba berbelok ke program makan siang gratis beranggaran raksasa.

Tentu bangsa Indonesia butuh makan; perut kosong tidak bisa memikirkan masa depan. Tapi kota juga perlu “makan” —dalam bentuk dana, konsistensi kebijakan, dan kejelasan arah politik. Tanpa itu, ia hanya menjadi bangunan yang menunggu jiwa.

Di sinilah tragedi kecil yang mengandung hikmah besar. IKN sedang berdiri di antara harapan dan keraguan, antara visi hijau dan realita tanah merah, antara drone shot yang memukau dan laporan The Guardian yang membumi.

Kota ini mungkin belum gagal, tapi juga sama sekali belum tegak. Ia seperti bayi raksasa yang butuh pengasuhan berkelanjutan, bukan sekadar difoto dari jauh lalu ditinggal pergi.

Jika IKN hendak hidup, ia harus dihidupkan oleh manusia —bukan oleh grafis, bukan oleh narasi promosi para buzzer bayaran, bukan oleh kemegahan arsitektur saja.

Kota yang baik bukan sekadar kota yang jadi, tetapi kota yang ditempati, dicintai, dihuni, dirawat. Selebihnya, biarkan waktu menguji apakah IKN akan menjadi kota berdaulat atau hanya cermin besar ambisi yang terlalu cepat dipoles.

Dan seperti biasa, refleksi terakhir ini menampar lembut: kadang pembangunan itulah hidup —heboh di awal, bingung di tengah, lalu pelan-pelan menemukan bentuknya kalau kita mau jujur melihat kekurangannya.

Hutan bisa hilang, uang bisa berkurang, tapi kebijaksanaan negara mestinya bertambah. Kalau tidak, kita hanya sedang membangun rumah besar —yang lampunya terang— tapi warganya justru memilih tinggal di rumah lama karena di sana rasa hidupnya lebih nyata.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 8/11/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *