banner 728x250
Opini  

Tiga Pilar Integritas

Catatan Cak AT

Di zaman ketika integritas dianggap seperti sinyal WiFi —kadang kuat, kadang putus sendiri tanpa permisi— kita sering lupa bahwa integritas itu bukan sekadar kalimat manis yang dipasang di dinding ruang rapat. Tapi, integritas adalah napas panjang yang membuat seseorang tetap tegak ketika semua sorotan kamera dipadamkan.

Dalam tradisi Islam, kualitas ini antara lain disebut “amānah”. Salah satu sifat agung yang membuat seorang pemuda Mekkah bernama Muhammad dijuluki al-Amīn, bukan karena beliau pandai membuat slogan atau jago membungkus nasihat dengan analogi berlapis peribahasa, melainkan karena beliau tak pernah sekali pun mengkhianati titipan. Amanah, dalam warisan kenabian, bukan dekorasi; ia karakter.

Dalam khazanah Islam, konsep integritas memiliki tiga pilar utama: amānah, shidq, dan ‘adālah. Amānah adalah kemampuan menjaga kepercayaan, baik berupa titipan harta, jabatan, maupun tanggung jawab moral. Ini persis seperti firman Allah, “Sungguh, Allah memerintahkan kalian agar menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”* (Qs. an-Nisā’ 4:58).

Sementara shidq adalah kejujuran dalam perkataan dan konsistensi antara ucapan dan tindakan, yang oleh Nabi ditegaskan dalam sabda beliau, “Hendaklah kalian jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga” (HR. Bukhari-Muslim).

Adapun ‘adālah adalah keteguhan menjaga keadilan dan integritas moral, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. al-Mā’idah 5:8: “Janganlah kebencian suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena ia lebih dekat kepada takwa.”

Tiga konsep ini saling menopang: amanah tanpa kejujuran adalah kebohongan yang disimpan, kejujuran tanpa amanah adalah kebenaran yang tak dapat dipercaya, dan keduanya tanpa keadilan hanya melahirkan kepura-puraan.

Sungguh, dalam hadits lain Nabi memperingatkan bahwa tanda orang munafik ada tiga: “Jika berkata, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika dipercaya, ia khianat” (HR. Bukhari-Muslim).

Dengan demikian, integritas dalam Islam bukan sekadar sifat baik, tetapi fondasi karakter yang menghubungkan seseorang dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan dirinya sendiri.

-000-

Dan di sinilah tragedi —yang sekaligus komedi satir— itu dimulai. Ketika seorang motivator besar, Mario Teguh, yang dulu dielu-elukan karena kata-katanya yang “super sekali”, mendadak tersandung oleh kenyataan paling sederhana dari kehidupan: kebenaran.

Lebih tepatnya, kebenaran yang dibawa tangan sains bernama tes DNA. Melawan DNA itu seperti mencoba menegosiasikan gravitasi. Mau Anda pidato tiga jam, mau pakai metafora galaksi, tetap saja apel jatuh ke tanah. Dan begitulah: satu hasil laboratorium membuat gunung retorikanya runtuh seperti biskuit yang direndam teh terlalu lama.

Nah, di titik inilah kita perlu menurunkan kaca spion dan melihat apa saja yang sebenarnya membuat mobil reputasi Mario Teguh itu terguling di turunan integritas. Kasusnya dengan Ario Kiswinar —anak yang ia tolak dan ia tuduh berasal dari lelaki lain— menjadi pintu pembuka segala kemelut.

Mulanya Ario sang putera datang dengan wajah tenang namun mata yang jelas menyimpan luka masa kecil. Lalu ia mengatakan bahwa ia “hanya ingin diakui sebagai anak.” Tak lebih. Sementara Mario membalas dengan tudingan, somasi, dan spekulasi tentang “Mr. X” hingga masuk ranah kepolisian.

Semua masih samar, sampai akhirnya Polda Metro Jaya turun tangan menggunakan sains: melakukan tes DNA. Dan hasilnya: plak! —seperti kipas angin yang tiba-tiba berhenti di tengah hari panas. Hasil tes DNA atas mereka berdua menyatakan bahwa Ario memang anak kandung Mario.

Dan seperti itu pula perasaan publik: tiba-tiba berhenti, panas, dan jengkel. Indonesia yang selama bertahun-tahun disuguhi kata-kata manis Mario Teguh seperti “hukum alam”, “doing the right thing“, “kejujuran adalah keindahan”, tiba-tiba melihat sang motivator memilih jalan yang berbeda dari apa yang ia ceramahkan.

Tetapi titik nadir sebenarnya muncul ketika Deddy Corbuzier —dengan semua aura hitam-putihnya— menghadirkan Ario di acaranya. Di situlah publik menyaksikan bukan hanya fakta, tetapi emosi manusia yang paling polos: seorang anak yang takut disomasi oleh ayahnya sendiri.

Ketika Deddy berkata, “Kamu enggak usah takut, saya belain,” jutaan penonton merasakan sesuatu yang langsung menusuk: bahwa Mario bukan hanya berdusta, tapi telah membuat anaknya ketakutan oleh bayangannya sendiri. Di situ, barometer empati publik bergeser. Jika sebelumnya Mario hanya terjatuh, setelah tayangan Deddy, ia seperti jatuh dan terseret.

Belum selesai sampai di sana, beberapa tahun kemudian hadir pula kasus bisnis senilai lima miliar, antara Mario dengan seorang pengusaha skincare. Endorsement Mario yang katanya akan meledak di pasar ternyata tak pernah benar-benar muncul, seperti file promosi yang gagal upload.

Pengusaha itu protes, melayangkan somasi, tak dijawab, dan akhirnya melapor ke polisi. Mario balik melaporkan balik, tentu saja, dan drama hukum pun bertambah panjang seperti sinetron tanpa akhir. Reputasi yang dulu mengilap kini tampak seperti panci gosong lepas Ramadan.

Sebelum badai skandal ini datang, kita tahu Mario Teguh adalah sosok yang unik: bukan selebritas sejak lahir, bukan pula anak konglomerat yang tinggal lompat ke panggung. Ia memulai karier sebagai pekerja korporat sekaligus entrepreneur yang jatuh bangun di dunia properti dan konsultan, jauh sebelum tampil di televisi.

Keahliannya bukan membangun gedung, tapi membangun kalimat-kalimat yang membuat orang merasa hidup mereka tinggal selangkah lagi menuju “kesuksesan”. Ketika tahun 2008 Metro TV memberi panggung lewat “Golden Ways”, Mario berubah dari lelaki biasa menjadi tokoh nasional yang setiap pekan ditunggu jutaan penonton. Ia seperti Oprah versi bahasa Indonesia: tajam, lucu, penuh retorika, dan dianggap memegang kunci rahasia kehidupan.

Namun setelah kejatuhannya pada 2016, sosok yang dulu tampil gagah dengan jas rapi dan intonasi nirkesalahan itu perlahan memudar dari layar publik. Televisi menjauh, brand-brand menarik kontrak, dan seminar-seminar yang dulu berebut memesan jadwalnya mendadak sepi seperti mal saat listrik padam. Yang tersisa hanyalah jejak-jejak kutipan motivasi di media sosial—seperti suara gema dari masa kejayaan yang makin lama makin lirih.

Ironis betul melihat seorang guru motivasi terjebak dalam narasi yang bertolak belakang dengan ajaran yang ia gaungkan. Ibarat tukang servis AC berceramah soal udara bersih, tapi rumahnya sendiri pengap karena AC-nya tak pernah dicuci.

Publik pun mulai menjauh, bukan karena benci, tetapi karena bingung —dan sedikit malu— pernah terlalu percaya. Inilah hukum alam yang paling tua: bukan yang sering ia ceramahkan, tapi yang benar-benar berlaku. Bahwa kebaikan itu hanya kuat jika dilakukan, bukan jika diucapkan.

Dari sinilah kita belajar bahwa integritas bukan standing banner, bukan gimmick, bukan PR. Ia pondasi yang kalau retak sedikit saja, rumah pencitraan bisa roboh seperti domino.

Banyak contoh di dunia: Lance Armstrong yang takluk oleh doping yang ia sembunyikan bertahun-tahun, politisi Korea yang jatuh karena kebohongan kecil yang meledak jadi besar, atau skandal Enron yang mengajari dunia bahwa manipulasi sekali saja bisa menggulung seluruh korporasi. Semuanya menunjukkan satu hukum sederhana: kebenaran mungkin lambat, tapi ia selalu datang tepat waktu.

Pada akhirnya, kisah ini bukan tentang menertawakan seseorang yang tumbang. Tidak sama sekali. Kisah ini adalah cermin panjang yang disodorkan kehidupan kepada kita, memantulkan wajah yang mungkin kita kenal: kita sendiri.

Betapa sering kita menasehati anak, murid, jamaah, atau bawahan, padahal kita sendiri masih berjuang jujur pada diri. Dan mungkin dari tragedi orang lain, kita menemukan hikmah paling halus: bahwa kejujuran kecil sekalipun bisa melahirkan kedamaian yang besar, dan kehilangan integritas sering kali menjadi guru kehidupan paling tegas.

Dan siapa sangka, kadang-kadang sebuah tes DNA bisa mengajari manusia lebih banyak tentang amanah daripada semua seminar motivasi yang pernah ada.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 7/11/2025

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *