banner 728x250
Opini  

Mengapa Aksi Rakyat Tuntut DPR Dibubarkan

S. Indro Tjahyono, Eksponen Gerakan Mahasiswa 77/78 (GEMA 77/78 dan Penggiat Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA)

Aksi unjuk rasa depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, pada Jumat (29/8). (Ridwan/JawaPos.com)

ABNnews – Salah satu tuntutan aksi rakyat yang paling menonjol adalah “Bubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)”. Tuntutan ini juga paling disorot oleh para politisi dan kaum cendekiawan, lantas sekonyol itukah para pendemo mengajukan tuntutan?

Ikhwal tuntutan DPR dibubarkan, dalam sejarah politik di Indonesia, sesungguhnya bukan kali ini saja. Yang dimaksud pembubaran DPR tentu bukan berarti DPR sebagai lembaga legislatif dalam pilar tata negara dituntut ditiadakan,

Pembubaran DPR adalah Satu-satunya Jalan

Dalam diskusi dengan kelompok aksi rakyat jauh sebelum tanggal 25 Agustus 2025, mereka mengatakan bahwa yang mereka tuntut bubarkan adalah DPR saat ini sebagai produk PEMILU 2024. Selama ini tuntutan pembubaran DPR selalu muncul manakala fungsi DPR sebagai lembaga legislasi dan perwakilan rakyat mandul.

Pembubaran DPR saat ini memang satu-satunya cara jika rakyat ingin memperbaiki lembaga perwakilannya. Sebelumnya Indonesia memiliki hak recall jika anggota DPR tidak menjalankan fungsinya. Masalahnya hak recall anggota DPR RI dihapuskan sejak tahun 1999, dengan diberlakukannya UU paket Reformasi.

Hak recall itu kembali dimasukklan dalam regulasi pada era berikutnya, mulai dengan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; yang kemudian diperkuat dengan ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2014 (UU MD3), serta beberapa revisi dan perubahan undang‑undang lainnya.

Tidak Ada Referendum

Namun esensi recall sebagai upaya mengganti anggota DPR yang tidak efektif menjalankan fungsi dan tanggung-jawabnya dalam mewakili aspirasi rakyat sudah hilang. Hak recall diganti dengan istilah “penggantian anggota DPR antar waktu oleh partai politik”, tapi celakanya penggantian itu hanya dimaksudkan jika anggota DPR meninggal dunia.

Selain itu di negara Republik Indonesia rakyat juga tidak mengenal hak melakukan pemungutan suara langsung (referendum) untuk menjaring aspirasi rakyat terkait isu mendasar kenegaraan. Referendum juga bisa mensubstitusi peran DPR dalam menyalurkan suara rakyat.

Namun karena sudah menganut demokrasi perwakilan ,maka referendum ditiadakan. Padahal di negara lain yang menganut demokrasi perwakilan, referendum tetap bisa dilakukan.

Referendum di Indonesia ditiadakan konon dikhawatirkan akan menjadi mekanisme makar terselubung dan alasan munculnya negara federal yang bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara kesatuan. Nah, ini baru bisa disebut kebodohan atau ketololan, karena prinsip dasar kedaulatan bisa dihilangkan oleh suatu perasaan berupa kekhawatiran.

Berbagai ketentuan yang mengatur referendum pernah ada yakni TAP MPR Nomor IV/MPR/1983 dan UU No. 5 Tahun 1985 namun telah dicabut melalui TAP MPR No. VIII/MPR/1998 dengan menerbitkan undang-undang baru No. 6 Tahun 1999. Dengan demikian praktis rakyat tidak berdaulat lagi dalam melakukan intervensi terkait isu-isu bersifat konstitusional.

Pembubaran DPR Pernah Dilakukan

Catatan sejarah DPR menulis bahwa DPR pernah dibubarkan secara efektif oleh Presiden Soekarno yang membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dengan Penetapan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 1960 pada 5 Maret 1960. Sebelumnya, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Sukarno juga membubarkan Konstituante (badan perancang UUD baru) dan memberlakukan kembali UUD 1945, serta membentuk DPR-Gotong Royong (DPR‑GR) dan DPAS sebagai pengganti lembaga sebelumnya.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 23 Juli 2001 mengeluarkan Maklumat Presiden yang berisikan pembekuan MPR dan DPR, pengembalian kedaulatan ke rakyat lewat pemilu dalam satu tahun, dan pembekuan Partai Golkar. Namun MPR justru menyelenggarakan sidang istimewa dan memakzulkan Gus Dur pada hari yang sama, serta menolak maklumat tersebut.

Berdasarkan catatan sejarah kemahasiswaan, aktivis mahasiswa dari ITB, UI, dan IPB memang sempat membentuk semacam “Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS)” di Bogor. Akibat aksi ini, aktivis seperti Al Hilal Hamdi dan Ramles Manampang Silalahi (dari DM ITB), Farid Faqih (DM IPB), serta Bram Zakir (DM UI) ditangkap dan ditahan.

Mengapa DPR Dibubarkan

Ada beberapa alasan mengapa DPR dibubarkan, antara lain Presiden Soekarno membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 karena lembaga tersebut gagal menyusun konstitusi baru akibat perbedaan ideologi antar partai dan ketidakstabilan politik. Dekrit tersebut juga mengembalikan UUD 1945 sebagai dasar negara untuk menciptakan stabil.

Soekarno juga Melakukan pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 (5 Maret 1960), DPR dianggap tidak efektif karena terus-menerus menolak RAPBN, gagal menyetujui isu seperti Irian Barat dan bertentangan dengan visi Demokrasi Terpimpin Soekarno.

Pada Era Reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid (“Gus Dur”) mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001 yang salah satunya membekukan DPR dan MPR. Langkah ini diambil untuk mengatasi krisis konstitusional dan ekonomi yang mengancam keberlangsungan pemerintahan.

Alasan Pembubaran DPR di Luar Negeri

Di Sri Lanka pada 2018 Presiden Maithripala Sirisena membubarkan parlemen karena memperoleh informasi tentang potensi kekerasan politik menjelang pemilu. Ia menilai pembubaran parlemen adalah solusi terbaik untuk menghindari bentrokan masif dan menjaga keamanan pemilih.

Di Pakistan dalam situasi yang penuh kontroversi, Imran Khan membubarkan parlemen untuk menghindari mosi tidak percaya. Kritikus menilai ini melanggar konstitusi dan sebagai upaya melemahkan proses demokrasi.

Berdasarkan Pasal 12 Konstitusi V Republik, Presiden Prancis memiliki kewenangan untuk membubarkan Majelis Nasional setelah berkonsultasi dengan Perdana Menteri dan ketua kedua kamar parlemen. Setelah pembubaran, pemilu harus diadakan dalam waktu 20–40 hari. Pada Juni 2024, Presiden Emmanuel Macron membubarkan Majelis Nasional dan menggelar pemilu legislatif mendadak setelah hasil pemilu Eropa yang mengejutkan.

Alasan Aksi Rakyat Menuntut Pembubaran Parlemen

Munculnya tuntutan pembubaran DPR yang diserukan oleh aksi rakyat akhir-akhir dipicu oleh tunjangan besar yang diterima anggota DPR, seperti tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan yang membuat total pendapatan anggota dewan mencapai Rp91–104 juta per bulan. Banyak warga merasa angka ini sangat tidak adil, apalagi masyarakat sedang menghadapi PHK, krisis ekonomi, dan biaya hidup tinggi.

Di samping tuntutan pembubaran, demonstran juga menuntut RUU Perampasan Aset sebagai langkah pemberantasan korupsi segera disahkan oleh DPR. DPR juga dianggap banyak menggarap RUU penting, namun materinya tidak pro-rakyat, seperti RUU TNI, RUU Polri, penyiaran, KUHAP, dan Agraria.

Aksi demo besar dan bergelombang ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap sikap elit penguasa (Pemerintah dan DPR) yang dianggap abai terhadap aspirasi rakyat. Sering muncul kritik bahwa DPR lebih memihak oligarki atau elite, sementara undang-undang yang pro-rakyat terbengkalai.

Alasan Mendasar Kenapa DPR Harus Dibubarkan

Berikut sejumlah masalah dan kelemahan substansial yang mendorong tuntutan agar DPR dibubarkan:
Pertama, DPR sebagai hasil Pemilu 2024 yang curang secara sistemik tidak mungkin efektif mewakili aspirasi rakyat. Hal itu terbukti bahwa produk legislasi DPR selama ini tidak mencerminkan aspirasi rakyat.

Kedua, kemenangan anggota DPR produk Pemilu 2024 sangat dipengaruhi oleh politik uang (money politic), karena itu mereka sebagai anggota legislatif sarat dengan motif dan kepentingan ekonomi , sehingga sulit diharapkan berpihak kepada rakyat.

Ketiga, anggota DPR saat ini 61% adalah pengusaha, sedangkan dari tokoh masyarakat 5% adalah selebritas atau artis, sedangkan sisanya adalah aktivis dan akademisi. Dengan demikian separuh lebih anggota DPR adalah kelompok sosial yang sulit diharapkan mampu mendudukkan diri sebagai representasi rakyat.

Keempat, saratnya penggunaan politik uang untuk meraih kemenangan menjadi anggota legislatif, maka menjadi anggota DPR adalah bagian dari upaya untuk mengembalikan investasi politik yang mereka keluarkan untuk menang dalam Pemilu.

Kelima, DPR periode 2019–2024 dinilai tidak konsisten menyerap aspirasi masyarakat. Alih-alih pro-rakyat, DPR lebih banyak mengakomodasi kepentingan kelompok oligarki dan eksekutif, sehingga fungsinya sebagai lembaga pengawasan melemah dan kerap hanya menjadi “stempel” kebijakan pemerintah.

Keenam, Hak DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan sangat kurang. DPR selama ini baru membentuk satu Pansus (panitia khusus) untuk masalah haji; padahal banyak isu penting lain seperti tragedi Kanjuruhan, kebocoran data pribadi, hingga perdagangan judi daring yang seharusnya diawasi lebih serius.

Ketujuh, proses legislasi sering dilakukan terburu-buru, minim transparansi dan partisipasi publik. Banyak RUU disahkan tanpa konsultasi akademisi, LSM, atau kelompok masyarakat terdampak.

Kedelapan, dalam pengawasan pengelolaan anggaran, DPR terlihat belum maksimal memanfaatkan fungsi check and balances, terutama terhadap kementerian-kementerian besar seperti Pertahanan, PUPR, dan Polri.

Kesembilan, legitimasi DPR sangat buruk. Survei menunjukkan citra DPR di publik rendah dari 62,2 % (Januari 2022) turun menjadi 44,4 % (Oktober 2022). Sebanyak 78,7 % responden menilai DPR belum memperjuangkan aspirasi rakyat; hanya sekitar 10 % yang percaya DPR bebas korupsi.

Kesepuluh, kurangnya akses ke konstituen karena setelah terpilih, banyak anggota DPR jarang terlihat di daerah pemilihannya dan minim komunikasi langsung dengan warga. Mereka lebih sibuk dengan agenda partai atau kepentingan pribadi.

Kesebelas, dominasi Ketua Umum partai politik dan politik transaksional membuat pengambilan keputusan lebih terpengaruh kepentingan partai daripada rakyat.

Keduabelas, inisiatif kerja legislasi rendah. Banyak RUU prioritas adalah carry over dari tahun-tahun sebelumnya: 51 % dari 2022 dan 28 % dari 2023, sementara hanya sekitar 21 % merupakan usulan baru tahun 2024.

Ketigabelas, kritisisme DPR rendah dan cenderung hanya menjadi stempel kebijakan pemerintah, karena dalam periode 2024–2029, sebanyak 470 dari 580 anggota DPR merupakan pendukung pemerintah baru, sehingga kapasitas DPR sebagai lembaga pengawas dan bersuara alternatif terlihat lemah.

Keempatbelas, terdapat kecaman publik atas gaji anggota DPR yang diperkirakan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan, bahkan beberapa pihak menyebut total penghasilannya bisa mencapai miliaran rupiah jika ditotal dengan tunjangan reses. Belakangan tunjangan perumahan sebesar 50 juta rupiah per bulan yang dimasalahkan masyarakat.

Kesimpulan

Sangatlah beralasan, jika melihat hal-hal kontroversial di atas, masyarakat menuntut pembubaran DPR. Tuntutan pembubaran DPR sangat masuk akal, karena merupakan jalan satu-satunya alternatif jika rakyat ingin memperbaiki DPR.

Namun menurut hukum untuk membubarkan DPR atau mengizinkan pembubaran adalah melalui amandemen UUD 1945. Perubahan UUD harus diajukan dan disetujui dalam sidang MPR yang memerlukan dukungan minimal 2/3 anggota MPR untuk disahkan.
 


Karena MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD, membubarkan DPR melalui amandemen hampir mustahil secara politik, karena tidak mungkin anggota DPR memutuskan nasib lembaga mereka sendiri.

Eksplorasi atas ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pembubaran DPR menemukan pelajaran bahwa ternyata “Reformasi terjadi melalui perubahan rejim dan sistem, namun rejim baru membuat aturan agar Reformasi tidak terjadi pada diri mereka”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *