banner 728x250
Opini  

Joget Ria DPR dan Fenomena Serakahisme

Achmad Fachrudin, Kandidat Doktor Universitas PTIQ. (Foto: istimewa)

ABNnews — Dunia empirik dan terutama dunia maya hingga saat ini masih menyorot joget ria mengikuti iringan lagu daerah, Sajojo dan Fa Mi Re, sejumlah anggota DPR pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD pada Jumat, 15 Agustus 2025. Joget ria para wakil rakyat tersebut menimbulkan polemik, respon dan respon pro dan kontra berbagai elemen masyarakat.

Secara teoritik, aksi dan perilaku joget ria sejumlah anggota DPR bisa dikaji dari berbagai aspek teoritik. Misalnya dari teori komunikasi politik besutan Murray Edelman. Dalam bukunya “The Symbolic Uses of Politics” (964), Edelman berteori, politik bekerja lewat simbol dan pertunjukan, bukan hanya lewat kebijakan. Tarian, musik, atau joget adalah simbol yang menciptakan makna “kerakyatan” dan kedekatan.

Pesan yang hendak dikrimkan dari teori tersebut, melalui joget, anggota DPR atau DPD RI tengah mengekspressikan simbol politik. Yakni menampilkan sosok wakil rakyat yang populis, cair, tidak kaku, dekat dengan budaya populer. Dengan joget ria, para wakil rakyat merasa lebih komunikatif dibandingkan menyampaikan pernyataan, opini atau pendapat yang sering dianggap jauh dari rakyat.

Senada dengan Murray Edelman, Benjamin Moffitt dalam “The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation” (2016) memaknai, populisme bukan sekadar ideologi, tetapi gaya komunikasi politik yang menonjolkan kesederhanaan, gestur emosional, dan performa merakyat. Sehingga joget anggota DPR RI dapat ditafsirkan sebagai gaya komunikasi populis. Joget dipakai sebagai “shortcut emosional” untuk memotong jarak antara elite dan rakyat, terutama di era media sosial.

Mirip dengan Murray Edelman, dan Benjamin Moffitt, Barbara Ehrenreich melalui teori “Kegembiraan Kolektif”, dalam buku “Dancing in the Streets: A History of Collective Joy” (2006), berpendapat, tarian kolektif menciptakan perasaan kebersamaan dan solidaritas yang memperkuat kohesi sosial. Dalam kontek ini, joget anggota DPR dianggap berpotensi menularkan efek dan energi positif. Momen gembira bersama rakyat mengurangi jarak sosial, sekaligus memperkuat basis dukungan politik.

Panggung Sandiwara

Berbeda dengan tiga teoritisi diatas, Erving Goffman melalui teori dramaturgi Politik yang tertuang dalam buku “The Presentation of Self in Everyday Life” (1959), berpandangam, dunia sosial adalah panggung politik atau bahkan panggung sandiwa, yang menampilkan diri dalam dua wajah berbeda, yakni front stage performance dan back stage performance.

Pada front stage (panggung depan) setiap individu menampilkan diri di depan orang lain, dimana mereka mengelola kesan yang ingin mereka tampilkan. Sedangkan back stage (panggung belakang) adalah area pribadi tempat individu dapat bersantai, keluar dari karakter, dan mengekspresikan diri secara informal tanpa pengawasan penonton.

Mengacu kepada teori Goffman, joget ria anggota DPR dalam perspektif front stage performance, mengirim pesan bahwa anggota DPR menampilkan diri sebagai “aktor merakyat” agar audiens percaya bahwa DPR dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Tetapi secara back stage performance, mengirim pesan sebaliknya. Justru seperti tengah melakukan kebohongan publik.

Sementara pada teori Media Event & Spektakel yang dicetuskan Daniel Dayan & Elihu Katz, dalam buku “Media Events: The Live Broadcasting of History” (1992), keduanya berpendapat, politik di era media adalah peristiwa yang sengaja dipentaskan untuk disiarkan dan ditonton massal. Dan joget ria sejumlah DPR dapat ditafsirkan, bukan sekadar spontanitas, melainkan media event. Dengan viralnya joget di TikTok atau televisi, anggota DPR mendapatkan exposure yang lebih besar daripada melalui pidato panjang.

Pro Kontra

Secara komunikatif, aksi sejumlah anggota DPR tersebut menimbulkan respon pro dan kontra. Dari pihak yang pro terutama dari para pejoget, aktivitas tersebut dianggap sebagai ekspressi kebahagiaan karena dapat mengikuti Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD (joint secsion). Dan kegiatan bersama tersebut biasanya dilakukan setahun sekali, yakni: setiap tanggal 16 Agustus (sehari sebelum HUT RI), untuk mendengarkan Pidato Presiden tentang RAPBN dan Nota Keuangan, serta Laporan Kinerja Lembaga Negara.

Joget ria bisa juga dilakukan mendadak, jika terjadi Sidang Umum/ Sidang Istimewa MPR. Misalnya: saat melantik Presiden/Wakil Presiden terpilih, saat memberhentikan Presiden/Wapres jika melanggar hukum/UUD (proses impeachment), atau saat amandemen UUD 1945. Khsuus joget ria sejumlah anggota yang kini melahirkan pro kontra berkaitan dengan HUT RI dan mendengarkan Pidato Presiden tentang RAPBN dan Nota Keuangan, serta Laporan Kinerja Lembaga Negara.

Selain itu, joget ria sejumlah anggota DPR tersebut juga bisa saja didorong oleh beredarnya kabar bahwa gaji, tunjangan atau fasilitas lainnya akan mengalami kenaikan. Tetapi bisa juga joget ria para wakil rakyat tersebut sangat mungkin sifatnya spontanitas dan reflek serta tanpa ada komando sebelumnya. Bisa juga ‘ulah’ wakil rakyat tersebut sebelumnya sudah direncanakan atau diskenariokan.

Aktor intelektualnya bisa siapa saja. Bisa berasal dari kalangan anggota DPR yang sudah akrab dengan dunia gembira (dugem), kaum sosialita, selebritis, atau pesohor. Kalangan ini tidak selalu harus dari anggota DPR yang berasal dari latar belakang artis, bisa juga dari kalangan dengan latar belakang lainnya lainnya. Artinya joget ria itu bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki latar belakang berbeda, termasuk dari sisi status sosial ekonomi atau latar belakang aliran politik: nasionalis, relijius atau sekularis.

Sementara dari kalangan yang kontra atau kritis dengan aksi panggung hiburan dari para wakil rakyat, menganggapnya sebagai tindakan tidak elok, tidak etis serta mencerminkan sikap wakil rakyat yang tidak atau kurang memiliki sense of crisis. Alias pongah, sombong atau takabur. Sebabnya, kondisi ekonomi bangsa saat ini secara umum tengah mengalami krisis ekonomi kerakyatan; sebagian besar dari rakyat tengah mengalami kesulitan ekonomi dan beban hidup yang makin berat. Bahkan diantara mereka banyak yang mengalami pengangguran.

Bahkan ada warganet yang mengusulkan pembubaran DPR. Kritik mana yang kemudian menimbulkan serangan balik dari Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni. Politisi dari Partai Nasdem tersebut merespons derasnya kritik publik terkait gaji dan tunjangan anggota dewan sebagai sikap “mental orang tolol sedunia.” Pernyataan itu ia lontarkan saat melakukan kunjungan kerja di Mapolda Sumatera Utara, Jumat (22/8).

Fenomena Serakahisme

Pro dan kontra terhadap aksi joget ria sejumlah anggota DPR perlu mendapat perhatian serius, dan mesti dijadikan evaluasi dan instrospeksi diri. Meskipun joget ria sebagai ekspressi atas kegembiraan saat HUT RI atau bakal kembali mendapat ‘durian runtuh’ , tidak dilarang oleh peraturan perundangan. Namun sebagai pejabat publik seyogianya berpijak di bumi, dengan menjaga kewarasan akal sehat dan etika politik. Kalaupun tetap ingin berjoget ria, sebaiknya tidak perlu direkam dan diekspos ke publik.

Keharusan untuk merawat kewarasan akal sehat dan etika politik seyogianya bukan hanya harus dilakukan oleh anggota DPR arau DPD, melainkan juga pejabat publik lainnnya. Sebenarnya bukan hanya joget ria yang mesti dilakukan secara proporsional dan beretika, melainkan juga terkait dengan orientasi, gaya dan sikap hidup. Problemnya saat ini, terdapat kecendrungan hedonisme pada sebagian elit yang berpotensi menjurus kepada berkembangnya ‘serakahisme’.

Dalam kontek ini, joget ria sejumlah elit politik perlu diwaspadai. Karena jangan-jangan, hal ini implikasi dari ‘serakahisme’ yang kini makin menggejala dan menjamur dalam politik-ekonomi atau ekonomi-politik yang berakar pada faktor-faktor struktural dan menguatnya fenomena dan potensi kleptokrasi. Yakni suatu sistem pemerintahan atau kekuasaan politik yang dikuasai oleh para pejabat yang korup, yang menggunakan wewenangnya untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya dengan cara merampok kekayaan negara.

Penulis: Achmad Fachrudin / Kandidat Doktor Universitas PTIQ

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *