ABNnews — Bocah tiga tahun berinisial R asal Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, meninggal dengan penyakit yang langka. Seluruh tubuhnya dipenuhi cacing, bahkan sampai ke otak.
R sempat instalasi gawat darurat RSUD Syamsudin pada 13 Juli 2025 sekitar pukul 20.00 WIB dalam kondisi sudah tidak sadarkan diri. R dibawa menggunakan ambulans oleh tim relawan Rumah Teduh.
“Menurut pihak keluarga, sehari sebelumnya R hanya mengalami gejala demam, batuk, dan pilek,” kata Ketua Tim Penanganan Keluhan RSUD R Syamsudin SH, dr Irfanugraha Triputra, Selasa kemarin.
Awalnya dokter menduga ketidaksadaran R disebabkan oleh meningitis TB atau komplikasi dari TBC paru. Sebab Orang tua R juga sedang menjalani pengobatan TBC.
Namun dugaan itu berubah saat dokter melihat cacing keluar dari hidung R selama observasi di IGD. “Kemungkinan tidak sadarnya ada dua, antara faktor TBC atau karena infeksi cacing,” jelas dr Irfan.
Selain tidak sadarkan diri, kondisi vital R juga tidak stabil, terutama tekanan darahnya. Setelah penanganan awal untuk menstabilkan kondisi, R segera dirawat di ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit) setelah dikonsultasikan dengan spesialis anak.
Selama perawatan, kondisi R tidak membaik. Menurut Irfanugraha, infeksi cacing gelang (ascaris lumbricoudes) yang dialaminya sudah sangat parah dan menyebar ke organ vital, seperti paru-paru dan otak.
Dia menjelaskan, keluarnya cacing dari hidung menandakan bahwa cacing sudah menjalar hingga saluran pernapasan atau saluran pencernaan bagian atas. “Ini cenderung terlambat. Cacingnya sudah banyak sekali di dalam pencernaan dan sudah berukuran besar-besar,” terang dia.
“Infeksi bisa terjadi ketika telur cacing tertelan, baik melalui makanan, minuman, maupun tangan yang kotor. Telur akan menetas di usus, lalu berkembang jadi larva yang bisa menyebar lewat aliran darah ke organ-organ, bahkan otak. Itu sebabnya pasien bisa tidak sadar,” jelas Irfan.
“Tapi di lain sisi, yang sering kita temukan di paru, makanya kenapa cacing bisa keluar lewat saluran napas kita. Jadi dia merambat naik ke saluran atas ke hidung atau mulut. Kalau (pasien) kondisi tidak sadar, kan cacing dengan leluasa bisa bergerak ke mana-mana, termasuk ke BAB-nya juga, karena banyak sekali cacingnya. Sudah dipastikan sarang utamanya ada di usus,” sambungnya.
Lingkungan tempat tinggal R diduga memperbesar risiko infeksi. Ia tinggal di rumah panggung sederhana dengan tanah terbuka di bawahnya. “Sepertinya pasien sering bermain di tanah tanpa alas kaki. Itu memperbesar risiko infeksi,” kata dia.
Meski infeksi cacing kerap ditemukan, kasus separah R sangat jarang. Bahkan dokter menduga ada komplikasi lain. “Jadi kemungkinan penyebabnya kombinasi antara infeksi cacing dan TB,” ujar Irfan.
Oleh pihak rumah sakit R akhirnya dinyatakan menghembuskan napas terakhir pada 22 Juli 2025 pukul 14.24 WIB. R meninggal setelah menjalani perawatan selama sembilan hari.
Kasus R menjadi perhatian luas setelah video kondisinya saat dirawat di rumah sakit beredar di media sosial. Dalam video itu, terlihat tubuh R mengeluarkan cacing dalam jumlah besar. Jumlahnya disebut mencapai 1 kg.
Bidan Desa Kabandungan, Cisri Maryati mengungkap, bocah R dikenal sebagai salah satu anak dengan status BGM (bawah garis merah), istilah medis untuk kondisi gizi buruk. Karena itu, kata Cisri seperti dikutip detikjabar, R menjadi perhatian utama dalam pelayanan posyandu setempat.
“Ya kebetulan R itu sering ke posyandu, sehingga berat badannya kita kontrol. Memang sejak kecil Raya termasuk BGM itu di bawah garis merah, benar-benar terpantau kalau untuk berat badannya,” ungkapnya.
Ia mengatakan, erbagai intervensi telah dilakukan untuk mendukung tumbuh kembang R. Pemerintah desa, kata Cisri, telah memberikan bantuan gizi tambahan secara rutin, baik dari program reguler maupun dana desa.
“Jadi sehingga bantuan dari desa pun tetap kita prioritaskan untuk R, ada seperti susu, telor, ayam, dan buah-buahan. Terus kemarin itu ada program PMT lokal, untuk R itu dapat 60 hari, jadi terpantau setiap harinya, berat badannya juga kita pantau. Udah ada kenaikan berat badannya waktu kemarin dapat PMT lokal,” papar Cisri.
R juga tercatat sebagai penerima obat cacing rutin setiap enam bulan sekali dalam program kesehatan anak. “Sebetulnya obat cacing kalau untuk Raya dan semua anak-anak itu dapat setiap 6 bulan sekali, setiap bulan Februari dan Agustus. Jadi untuk R juga terakhir dapat itu bulan Februari itu obat cacing,” jelasnya.
Namun, kendala muncul ketika upaya merujuk R ke Puskesmas untuk konsultasi ahli gizi tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua. “Sudah berkali-kali untuk konsultasi minimal dengan ahli gizinya. Cuman memang kalau jawaban dari ibunya, nggak bisa. Mang Rizalnya nggak bolehin, katanya begitu,” kata Cisri.