Catatan Cak AT
Pagi itu, istri saya mendadak memeluk sajadah dengan lebih erat. “Mas, lihat itu,” bisiknya setengah takut, “ada keluarga kita pakai gambar tengkorak jadi foto WhatsApp. Serem!” Foto anak kami di WA sudah berubah menjadi tengkorak hitam, sejak 1 Agustus.
Saya menatap layar ponsel, lalu tersenyum. Saya luruskan istri: Itu bukan kutukan dari kuburan. Itu Jolly Roger. Simbol bajak laut. Bendera yang belakangan ini lebih sering dikibarkan ketimbang bendera partai yang biasa nempel di pohon-pohon kampung.
Sialnya, bukan hanya istri yang panik. Pemerintah juga. Bayangkan, negara seluas Indonesia yang pernah mengalahkan Belanda, Jepang, dan sinetron _stripping,_ kini dibuat gusar oleh selembar kain hitam bergambar tengkorak bertopi jerami. _Amazing,_ bukan?
Anda tahu, _One Piece_ bukan sekadar komik Jepang. Ia melegenda sebagai epos tentang kebebasan, solidaritas, dan tentu saja, melawan pemerintah global yang korup, tamak, dan tukang sensor. Cocok, bukan, dengan realitas negeri +62?
Simbol Jolly Roger adalah cermin. Di semesta _One Piece_, bendera itu tak sekadar mewakili bajak laut, tapi juga mimpi, perlawanan, dan kebebasan memilih jalan hidup sendiri, bahkan jika itu berarti menantang tatanan.
Bagi yang awam, bendera tengkorak yang kini ramai berkibar di sudut Indonesia, dikenal sebagai Jolly Roger. Sejatinya ia berakar dari kisah klasik bajak laut abad ke-18 yang mengibarkan simbol tengkorak sebagai tanda perlawanan terhadap kekuasaan maritim resmi.
Dalam semesta fiksi anime _One Piece_, bendera ini dihidupkan kembali sebagai lambang kru Bajak Laut Topi Jerami, pimpinan Monkey D. Luffy —tokoh utama yang bercita-cita menjadi Raja Bajak Laut.
Nama Jolly Roger sendiri mengacu pada sosok legendaris Gol D. Roger, Raja Bajak Laut terdahulu yang mengguncang dunia dengan kebebasannya. Luffy, yang mewarisi semangat dan kehendak Roger, menciptakan versinya sendiri, dikenal dengan bendera namanya.
Ia melukis bendera tersebut: tengkorak dengan topi jerami khas miliknya. Maka, bendera yang semula simbol ketakutan, dalam konteks _One Piece_, justru menjadi ikon keberanian, kebebasan, dan tekad tak kenal menyerah melawan penindasan.
Ketika rakyat Indonesia mengibarkan bendera Luffy di bulan kemerdekaan, mereka bukan sedang meniru Jepang. Mereka sedang mengingatkan kita: kadang yang paling patriotik bukan yang menyanyikan Indonesia Raya keras-keras, tapi yang berani bilang bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja.
Di saat-saat perayaan 17-an, rakyat malah merasakan 17 tahun dipermainkan. Maka, saat pemerintah bilang: “Kibarkan Merah Putih di setiap rumah!”, rakyat pun menjawab: “Oke, sekalian kami kibarkan Luffy juga.”
Pemerintah terkejut. “Itu provokasi! Melanggar UU Nomor 24 Tahun 2009!” Rakyat tak mau kalah, menjawab: “Kalau begitu, bikin juga UU tentang harga beras, biaya TKI, dan janji kampanye yang tak ditepati dari pemilu ke pemilu ke pemilu lagi!”
Bendera Luffy bukan penghinaan terhadap Merah Putih. Ia adalah tanda tanya besar yang dikibarkan dengan tiang bambu di halaman rakyat: Apakah kemerdekaan RI yang ke-80 ini memang layak dirayakan dengan bangga?
Jika pemerintah merasa terhina oleh selembar bendera fiksi, barangkali yang sedang terluka bukan simbol negara, melainkan legitimasi moral mereka sendiri.
Ada yang bertanya: adakah nilai seni dalam bendera tengkorak?
Jawaban saya: Tentu. Bahkan lebih jujur dari baliho caleg.
Simbol Jolly Roger adalah seni pop yang telah mengalami transkulturasi makna. Ia tidak lagi sekadar properti anime, tetapi telah direbut rakyat sebagai metafora hidup: kita semua sedang menumpang kapal bocor yang dinakhodai elite yang mabuk kekuasaan.
Seni bukan melulu lukisan yang digantung di galeri elite. Kadang ia tergantung di tiang bambu, melambai di depan gang sempit, diapit warung Indomie dan pos ronda. Di situlah bendera Luffy menjadi seni resistensi.
Ketika negara ketakutan, rakyat makin kreatif. Tapi, Menko Polkam menyebut ada konsekuensi pidana. Duh, Pak. Anda pikir kami ini kriminal, atau kreator konten? Jangan-jangan nanti orang bikin meme pun dimasukkan ke pasal makar.
Semua paham, ini bulan Agustus. Bulan sakral. Bulan semangat. Tapi rakyat justru merasa lebih nyambung dengan kru bajak laut fiktif ketimbang para pahlawan yang wajahnya kini ditempel di ATM.
Kalau pemerintah takut dengan bendera fiksi, mungkin karena realitas kita sudah terlalu absurd untuk dijelaskan dengan logika konvensional.
Pemerintah bilang: “Ini merusak nasionalisme.” Saya jawab: “Kalau nasionalisme cuma berarti mencintai simbol, bukan memperjuangkan nilai, maka kita semua sudah tenggelam sejak lama.”
Bendera Luffy tidak menggantikan Merah Putih. Ia menempel di sebelahnya, sebagai teman diskusi, bukan pesaing. Ia berkata pelan: Merah Putih, apa kau masih mewakili kami?
Barangkali kita memang sedang terjebak di kapal besar bernama Negara Republik Indonesia, yang arah layarnya dikendalikan oleh kru-kru yang tidak kita pilih.
Tapi setidaknya, dengan mengibarkan bendera One Piece, rakyat ingin berkata: Kami tidak mau tenggelam diam-diam.
Karena kemerdekaan bukan seremoni. Ia adalah perlawanan terus-menerus terhadap penindasan, dari siapa pun—termasuk dari bajak laut berseragam resmi.
Catatan saya untuk istri: Jangan takut. Tengkorak di bendera itu bukan tanda kematian. Justru ia hidup, menjeritkan hal-hal yang tidak bisa lagi kita ucapkan dalam bahasa rezim. Ia mungkin tidak sopan, tapi jujur.
Dan di zaman ini, kejujuran adalah bentuk tertinggi dari nasionalisme.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 3/8/2025