banner 728x250

Sudah Terjadi Sejak 2024, Fenomena Rojali-Rohana Jadi Sinyal Melemahnya Ekonomi Masyarakat

Ilustrasi Rojali-Rohana. (Foto: istimewa)

ABNnews — Istilah Rojali dan Rohana belakangan ramai di media sosial. Adapun Rojali dan Rohana adalah akronim dari Rombongan Jarang Beli dan Rombongan Hanya Nanya.

Rojali dan Rohana dianggap mewakili perilaku yang kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari di pusat perbelanjaan. Kedua istilah ini digunakan untuk mereka yang mengunjungi pusat perbelanjaan secara beramai-ramai, tapi tidak melakukan transaksi pembelian atau berbelanja.

Kedua istilah itu viral dan mencuri perhatian warganet karena dinilai menggambarkan fenomena yang sering terjadi, tetapi jarang disadari. Terlepas itu, fenomena Rojali dan Rohana merupakan sinyal dari melemahnya ekonomi saat ini.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja mengungkap, meski kunjungan ke mal meningkat, namun pola belanja masyarakat dinilai berubah signifikan.

Fenomena Rojali dan Rohana tanda terganggunya konsiumsi masyarakat. “Faktor masalah daya beli ini sudah terjadi cukup lama sejak 2024. Jadi stimulus ataupun insentif yang diberikan oleh pemerintah Itu harus yang sifatnya langsung,” katanya.

Sementara dalam diskusi publik bertajuk “Angka Kemiskinan Turun, Kesejahteraan Naik”, peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, menyebut bahwa fenomena ini bukan sekadar soal gaya belanja, melainkan cerminan dari tekanan ekonomi yang semakin nyata di wilayah perkotaan.

“Yang mengkhawatirkan adalah penurunan tingkat kemiskinan di perkotaan, dari dari 6,66 di September tahun lalu menjadi 6,73 persen di Maret tahun ini,” kata Abra.

Ia menjelaskan, ada beberapa faktor utama yang mendorong kenaikan angka kemiskinan ini, terutama di kawasan kota yang sangat sensitif terhadap gejala naik-turunnya harga kebutuhan pokok, transportasi, hingga perumahan.

“Memang beberapa hal yang memang menjadi faktor penyebab terjadinya kenaikan tingkat kemiskinan di perkotaan karena wilayah perkotaan ini memang sangat sensitif terhadap terjadinya kenaikan harga-harga khususnya harga kebutuhan pokok, kemudian juga transportasi, dan juga harga untuk kebutuhan perumahan,” jelasnya.

Kondisi ini makin diperparah oleh pendapatan masyarakat perkotaan yang cenderung stagnan bahkan menurun terutama karena sebagian besar bekerja di sektor informal.

“Sehingga ini memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap kelompok rentan miskin di wilayah perkotaan di tengah pendapatan masyarakat di perkotaan relatif stagnan atau bahkan cenderung menurun karena mayoritas kan bekerja di sektor informal,” kata dia.

Dampaknya, kata Abra, pola konsumsi masyarakat pun bergeser sehingga kini lebih mengutamakan kebutuhan dasar dibandingkan dengan belanja barang-barang sekunder atau tersier, yang selama ini menjadi andalan pusat perbelanjaan.

“Karena adanya tekanan-tekanan tadi, tekanan terhadap daya beli masyarakat di wilayah perkotaan ya muncul kaya fenomena Rojali atau Rohana,” katanya.

“Lagi-lagi disebabkan karena mereka lebih memprioritaskan untuk kebutuhan dasar dibandingkan dengan kebutuhan sekunder ataupun kebutuhan tersier. Jadi memang ada shifting prioritas masyarakat di wilayah perkotaan,” pungkas Abra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *