ABNnews — Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Juniver Girsang secara tegas mendukung penuh disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
“Seluruh organisasi advokat yang ada di Indonesia bersepakat bahwa kami mengimbau kepada Komisi III maupun pemerintah melanjutkan pembahasan RUU KUHAP ini karena sangat-sangat urgen,” kata Juniver.
Pengesahan RUU KUHAP, menurutnya, menjadi mendesak karena KUHP yang baru direncanakan berlaku pada 2026. Tanpa aturan acara pidana yang baru, implementasi KUHP tidak akan berjalan efektif.
“Tahun 2026 akan berlaku KUHP, sementara acara yang mengatur KUHP itu, yaitu KUHAP, belum diputus. Apabila ini tidak diputus berarti tujuan dari KUHP tersebut akan terganggu,” ungkap dia.
Peran dan Perlindungan Hukum untuk Advokat
Selain itu, RUU KUHAP yang tengah dibahas sudah sangat memadai dalam hal perlindungan hak asasi manusia (HAM). Salah satu poin penting, menurutnya, adalah keterlibatan advokat sejak awal proses hukum, mulai dari tahap penyelidikan hingga eksekusi.
“Dengan RUU KUHAP, saksi sudah bisa didampingi oleh penasihat hukum sejak penyelidikan dan penyidikan. Ini mencegah adanya dugaan rekayasa kasus karena advokat sudah hadir dalam proses tersebut,” jelas Juniver.
Ia juga menyinggung pentingnya perlindungan hukum bagi advokat. Dalam draf RUU KUHAP terbaru, hal ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) yang menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut pidana maupun perdata selama menjalankan tugas secara profesional dan beretiket baik.
“Dulu pasal ini tidak ada. Sekarang sudah ada dan diakomodasi oleh pemerintah maupun DPR. Ini penting karena selama ini advokat kerap menjadi korban kriminalisasi saat membela klien,” ungkap Juniver.
Lebih Transparan dan Akuntabel
Dalam RUU KUHAP, lanjutnya, memberi hak bagi advokat untuk mengajukan keberatan jika menghadapi intimidasi atau pelanggaran prosedur oleh penyidik, dan keberatan tersebut wajib dicatat dalam berita acara.
Menurutnya, ketentuan ini akan mendorong penegakan hukum yang lebih transparan dan akuntabel.
“Tidak ada undang-undang yang sempurna. Tapi jangan karena ego sektoral, lalu pembahasan ini dihambat. Kami tidak mengganggu kewenangan aparat penegak hukum, kami hanya menuntut hak bagi advokat dan masyarakat pencari keadilan,” katanya.
Juniver menepis pula bahwa RUU KUHAP berpotensi melemahkan aparat penegak hukum sebab aturan yang ada justru malah menguntungkan masyarakat.
“Mereka tidak lagi mudah ditekan atau direkayasa karena ada advokat yang mendampingi sejak awal,” jelas dia.
Terakhir, dia mengimbau agar para advokat semakin profesional dalam menjalankan perannya, seiring dengan peningkatan peran dan perlindungan yang diberikan dalam RUU KUHAP.
Advokat Perempuan Dorong RUU KUHAP Segera Disahkan
Sementara, Advokat Perempuan Indonesia (API) mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) demi memastikan perlindungan hukum yang adil dan setara bagi seluruh pihak, khususnya perempuan dan anak.
Perwakilan API, Juliana, menyampaikan sejumlah catatan penting terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam sistem peradilan pidana.
Ia menekankan pentingnya pendekatan berbasis gender dan anak yang harus diakomodasi dalam RUU KUHAP.
“Hal-hal yang perlu menjadi perhatian terkait hal perlindungan perempuan dan anak itu juga kami menyoroti ada beberapa hal keharusan pendekatan berbasis gender dan anak. Penegak hukum wajib mendapatkan pelatihan tentang hak-hak perempuan dan anak, korban perempuan dan anak wajib didampingi oleh pekerja sosial, pendamping hukum atau psikolog sejak proses penyidikan,” ujar Juliana.
Ia juga menambahkan bahwa anak yang menjadi tersangka harus mendapatkan pendampingan dari orang tua atau wali dan pembimbing kemasyarakatan.
Pemeriksaan terhadap anak, menurutnya, wajib dilakukan di ruang khusus anak, tanpa intimidasi, dan tanpa penahanan yang sewenang-wenang.
“Proses pemeriksaan terhadap korban perempuan harus mencegah terjadinya trauma berulang, lalu pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual sebaiknya dilakukan oleh petugas yang berjenis kelamin sama tentunya. Lalu percepatan proses hukum dalam hal ini RUU harus menjamin adanya batas waktu pemeriksaan dan penyelesaian perkara,” beber dia.
Sementara itu, perwakilan API lainnya, Sutra Dewi, menyampaikan apresiasi atas upaya pembaruan hukum acara pidana yang dilakukan DPR melalui pembahasan RUU KUHAP.
Ia menyatakan bahwa RUU tersebut menghadirkan harapan baru bagi keadilan di Indonesia.
“Dalam hal ini Advokat Perempuan Indonesia mengapresiasi dan mendorong disahkannya RUU KUHAP ini segera. API menilai bahwa RUU KUHAP menghadirkan harapan baru bagi keadilan dengan fokus utama pada perlindungan hak korban, saksi, tersangka, serta penguatan peran advokat sendiri,” ujar Sutra Dewi.
Menurutnya, percepatan pengesahan RUU KUHAP sangat penting agar sistem hukum benar-benar dapat ditegakkan dengan adil dan seimbang, serta memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi seluruh elemen masyarakat.
“API mengapresiasi langkah ini dan mendorong percepatan RUU KUHAP agar sistem hukum benar-benar dapat ditegakkan dengan adil dan berimbang dalam memastikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi semua pihak,” tandas Sutra Dewi.***