ABNNews – Peneliti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Hans G Yosua mengkritisi pasal-pasal dan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah dibahas DPR RI.
Substansi dari RUU KUHAP sebenarnya secara umum tidak terlalu banyak perbedaan antara RUU KUHAP dengan KUHAP yang sekarang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Undang-undang ini mengatur tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia, termasuk prosedur penyidikan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi putusan dalam perkara pidana.
“Banyak hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang belum diakomodasi di dalam RUU KUHAP. Salah satu yang paling jelas mungkin adalah prinsip Habeas Corpus. Habeas Corpus secara sederhana adalah prinsip menyatakan bahwa orang yang ditangkap, jika dia tidak tertangkap tangan harus dihadirkan ke hadapan pengadilan untuk kemudian diperiksa apakah penangkapan dan penahanan yang dilakukan sudah sah atau belum,” ujar Hans kepada ABNnews.id, Senin, 28 Juli 2025.
“Nah di RUU KUHAP belum diatur secara rigid, jadi tidak terlalu berbeda sebenarnya dengan KUHAP yang sekarang berlaku. Jadi ada beberapa prinsip-prinsip ham tentu yang belum diakomodasi secara cukup dalam RUU KUHAP,” tambahnya.
Hans melanjutkan, KontraS juga mencatat beberapa pasal-pasal yang bermasalah dalam RUU KUHAP. Salah satunya, pasal yang berkaitan dengan upaya paksa.
Upaya Paksa
Upaya paksa itu apa? Upaya paksa itu dalam RUU KUHAP, mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penetapan tersangka, pencekalan sampai misalnya penyadapan.
“Nah ini kenapa berpotensi melanggar hak warga negara? Karena upaya paksa itu kan memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik untuk melakukan intrusi terhadap hak warga negara,” katanya.
Sementara, mekanisme check and balance dan juga judicial scrutiny atau pengawasan oleh lembaga peradilan itu masih sangat minim.
“Jadi ada wewenang yang besar untuk melakukan upaya paksa tapi minim pengaturan tentang bagaimana upaya paksa itu seharusnya diawasi oleh lembaga peradilan. Nah ini tentu berpotensi melanggar hak warga negara,” ungkap Hans.
KontraS, kata Hans, melihat pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHAP masih membuka pintu adanya penyiksaan, penghilangan paksa, atau penangkapan sewenang-wenang. Soalnya, secara substansial, kewenangan yang diberikan aparat di dalam RUU KUHAP terkait dengan upaya paksa kurang lebih sama, bahkan lebih meluas dibandingkan dengan KUHAP yang berlaku sekarang.
“Oleh karena itu, teman-teman yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kuhab menyarankan beberapa perubahan substansial, khususnya terkait dengan mekanisme check and balance dalam proses penegakan hukum pidana dan juga judicial scrutiny atau pengawasan peradilan dalam upaya-upaya paksa, termasuk penangkapan dan lain-lain,” jelas Hans.
“Nah, hanya dengan perubahan substansial seperti itulah, maka ada pertanggung jawaban yang bisa dimintakan atau dituntut jika terjadi peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM seperti penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang dalam proses penegakan hukum pidana,” tambahnya.
Jadi sampai saat ini, KontraS memandang berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan, tidak akan ada banyak perubahan dan tidak akan terlalu banyak perbaikan yang terjadi pada RUU KUHAP.
“Ketika KUHAP yang baru disahkan, pelanggaran HAM seperti penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa pidana dalam proses penegakan hukum pidana masih akan terus terjadi,” ungkapnya.
Upaya paksa ini, lanjut Hans, tentu dapat menyasar dalam tanda kutip seluruh atau semua elemen masyarakat termasuk masyarakat adat, jurnalis, dan kelompok rentan.
Contoh terbaru, tentang masyarakat adat. Misalnya, aksi protes masyarakat adat Maba Sangaji berkaitan dengan aktivitas tambang nikel yang merusak Hutan Adat Maba Sangaji dan Sungai Sangaji di Kabupaten Halmahera Timur.
Protes masyarakat adat Maba Sangaji justru mendapat tindakan represif dan ditangkap aparat kepolisian di Maluku Utara.
“Nah, ketika RUU KUHAP berlaku proses penangkapan kemudian penahanan itu bisa dilakukan dengan lebih mudah. Tentunya akan berpengaruh kepada kelompok-kelompok rentan,” katanya.
Pelibatan Pastisipasi Publik
Tidak hanya itu, Hans menilai, proses pembahasan RUU KUHAP belum memadai dalam melibatkan partisipasi publik. Menurutnya, DPR berargumen proses berjalan transparan sebatas, misalnya semua diskusi RUU KUHAP disiarkan secara live streaming lalu di upload ke website DPR.
“Tapi kan tidak cukup sampai di situ. Transparansi dan partisipasi publik itu harus dimaknai bukan hanya mendengarkan. Tetapi juga mempertimbangkan dan memberikan jawaban,” ujar Hans.
Partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningfull participation) mengacu kepada putusan MK ada tiga syarat yang harus terpenuhi.
Pertama, terpenuhinya hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
“Nah, sampai saat ini levelnya mungkin hanya sampai mendengarkan saja. Kita belum diberikan penjelasan mengapa misalnya ada beberapa masukan tentang perubahan substansial yang disarankan oleh teman-teman peneliti, organisasi masyarakat sipil itu tidak diakomodir di dalam RUU KUHAP,” ungkapnya.
Kemudian, Hans menambahkan, apakah semua masukan itu kemudian dipertimbangkan dalam proses perumusan undang-undang. Nah itu juga kita tidak tahu. Jadi kalau menurut saya memang ada upaya untuk melibatkan partisipasi publik, tetapi itu belum memadai, ini harus digarisbawahi.
“Pelibatan partisipasi publik sampai saat ini belum maksimal dilakukan dalam konteks perumusan RUU KUHAP,” tegasnya.
Hakim Komisaris
Terkait RUU KUHAP yang baru ini membuka ruang lebih besar untuk potensi pelanggaran oleh aparat penegak hukum? KontraS menilai wewenang yang besar dalam penegakan hukum pidana, seharusnya juga disertai dengan adanya pengawasan.
Siapa yang melakukan pengawasan? Hans mengatakan, idealnya lembaga peradilan melalui mekanisme Habeas Corpus atau mungkin mekanisme yang sering teman-teman sarankan hakim komisaris, atau hakim pemeriksa pendahuluan.
“Yaitu mekanisme di mana upaya paksa yang dilakukan, baik itu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan sampai penyadapan harus diperiksa keabsahannya oleh lembaga peradilan. Oleh mekanisme yang disebut hakim komisaris, Nah jika itu tidak diatur secara tegas,” jelasnya.
Terkait dengan judicial review, Hans mengatakan, masih menunggu karena masih proses pembahasan.
“Jadi kita masih harus melihat perkembangannya, bagaimana substansi pasal-pasal dalam RUU KUHAP. Kita tunggu pada saat pengesahan nanti. Kalau memang jadi disahkan pada tahun ini,” pungkasnya.***