Catatan Cak AT
Kalau Anda sempat mampir ke warung kopi politik medsos minggu-minggu ini, Anda mungkin akan menemukan obrolan absurd namun penuh semangat: “Prabowo kalah telak dari Trump! Data warga Indonesia diserahkan ke Amerika! Habis sudah kedaulatan digital kita!”
Hmm. Tunggu sebentar. Yang benar saja. Apakah Presiden Prabowo Subianto betulan menyerahkan data rakyat Indonesia ke Presiden Donald Trump dalam bungkus bakpia Jogja? Atau ini cuma drama harian medsos yang biasa melebih-lebihkan, mengawinkan paranoia dan patriotisme setengah matang?
Mari kita bongkar, perlahan tapi mendalam —pakai pisau analisis, bukan pisau gosip.
Jadi begini ceritanya: Indonesia dan Amerika sepakat dalam perjanjian tarif resiprokal. Singkatnya, kedua negara akan menurunkan tarif dagang agar hubungan ekonominya makin mesra.
Tapi dalam lampiran cinta itu, terselip klausul soal data. Trump juga pidato dengan memberi kesan seolah pihaknya dapat durian runtuh dari Indonesia. Nah, di sinilah sebagian netizen kita langsung teriak: “Wah, data pribadi rakyat dijual!”
Padahal, dalam perjanjian dokumen kedua negara tidak disebutkan adanya “penyerahan data” layaknya transaksi pasar loak. Yang dibahas kedua pihak hanyalah “kepastian hukum untuk pertukaran data pribadi lintas negara”.
Dalam bahasa warung: “Kalau data warga kita melintasi Samudra Pasifik, itu harus pakai paspor hukum yang jelas.” Bukan dijual. Bukan diserahkan. Bukan juga dijemput paksa oleh drone Pentagon.
Lalu, apakah Trump menang? Jika kita tinjau secara akademis dan konstitusional, sebenarnya ini bukan tentang siapa menang atau kalah, tapi tentang dua negara yang masih berusaha menyusun “aturan main digital”.
AS ingin Indonesia memberi kejelasan hukum dalam transfer data lintas batas. Itu saja. Lagi pula, jujur saja, sejak kapan kita tidak memberikan data ke perusahaan-perusahaan AS? Google tahu lokasi Anda, jam tidur, sampai jenis humor yang Anda sukai.
Meta penilik WhatApps bisa menyimpan status mantan Anda, status pacar Anda, bahkan status perasaan hingga segala obrolan Anda. TikTok, meski bukan milik AS, tak ketinggalan tahu Anda suka video kucing dan teori konspirasi.
Kalau mau jujur, rakyat Indonesia sudah “menyerahkan” data lewat syarat dan ketentuan yang tidak pernah dibaca saat mengisi form Registrasi semua aplikasi medsos tapi selalu dicentang. Maka dari itu, narasi “baru kali ini data warga dikirim ke luar negeri” adalah satire itu sendiri.
Lantas, apa sebenarnya yang diminta AS? AS tidak meminta file Excel berisi nama-nama warga Indonesia dari RT01 sampai RT35, dari Aceh hingga Papua. Yang mereka minta adalah kesetaraan hukum, bukan kesetaraan jumlah like di Instagram.
Menurut Bhredipta Socarana dari Access Partnership, yang diminta AS ini tentang kepastian hukum: ketika data warga Indonesia mengalir ke sistem Amerika, ada aturan yang mengikat, bukan sekadar kebebasan beringas ala kapitalisme digital.
Indonesia masih menyusun lembaga pengawas data pribadi, amanat dari UU No 27 Tahun 2022. Tanpa lembaga itu, AS tak bisa menganggap Indonesia sebagai negara “adequate” dalam pelindungan data. Jadi bukan AS yang belum cukup aman, tapi Indonesia yang kurang lengkap.
Kebijakan digital ibarat permainan catur —yang satu pakai papan, yang satu masih sibuk nyari bidaknya.
Mungkin Anda bertanya: kalau data sudah ke AS, apa risikonya Pertanyaan sah. Tapi juga perlu dibalik: “Selama ini, bukankah data kita sudah ada di AS?”
Ketika Anda daftar Gmail? Data Anda masuk ke server Google, di AS. Saat Anda belanja di Amazon? Informasi kartu kredit Anda nyangkut di sana. Ketika Anda browsing “cara cepat kaya tanpa modal”? Riwayat pencarian Anda terekam di negeri Paman Sam.
Bedanya, sekarang pemerintah berusaha menegosiasikan perlindungan hukum agar data itu tak liar seperti kucing jalanan. Dengan adanya perjanjian ini, Indonesia justru bisa memaksa AS tunduk pada protokol perlindungan yang kita tetapkan.
Inilah yang oleh Menko Airlangga disebut sebagai “pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur”. Tentu saja nego soal data yang diselipkan dalam kasus tarif ini belum sempurna, dan masih terus berproses. Tapi apa lebih baik membiarkan data mengalir tanpa payung hukum?
Masalah utama justru di dalam negeri. Kita punya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tapi belum punya pengawas independen. Kita punya semangat melindungi data, tapi masih gemar selfie pakai aplikasi Cina yang tidak jelas izin datanya.
Para akademisi seperti dari Elsam dan ICSF sudah mengingatkan: jangan sampai “perjanjian dagang” berubah jadi celah untuk “penguasaan data” oleh negara lain.
Tapi celah itu bisa ditutup kalau lembaga pengawas data pribadi benar-benar dibentuk dan diberi gigi hukum. Tanpa itu, kita seperti penjaga gudang yang belum punya kunci. Pintu bisa tertutup, tapi maling tetap bisa nyelip dari celahnya.
Namun, pertanyaan yang lebih gawat dari semua ini adalah: kenapa sampai sekarang lembaga pengawas data pribadi belum juga dibentuk? Jangan-jangan, justru karena terlalu efektif untuk dimanfaatkan.
Sebab kalau lembaga itu berdiri dan benar-benar independen, maka tak ada lagi yang bisa menyentuh data warga seenaknya —termasuk para penguasa sendiri. Juga para politisi yang seenaknya menggunakan data warga untuk pemetaan kampanye.
Bayangkan, data yang kini berserakan di kementerian, lembaga, aplikasi pelayanan publik, e-KTP, hingga SIM online, bisa jadi tambang emas politik yang sangat menggiurkan: tahu siapa saja yang bisa dibujuk, siapa yang bisa ditekan, bahkan siapa yang mungkin golput dan perlu “dihibur”.
Tanpa pengawasan, semua itu mengalir seperti air PDAM yang bocor —deras tapi tak jelas arahnya. Maka sangat mungkin, ketidakberesan ini bukan sekadar kelalaian birokrasi, melainkan hasil dari strategi diam-diam yang cerdik.
Mereka paham betul bahwa: kekuasaan digital adalah kuasa atas massa, dan mengawasinya justru merugikan pihak yang sedang duduk di singgasana.
Jadi, kembali ke soal apakah Prabowo menjual data rakyat ke Trump? Tidak. Apakah ada risiko? Ada. Apakah data kita selama ini aman? Juga tidak.
Masalahnya bukan di perjanjiannya. Masalahnya adalah ketika rakyat tidak sadar bahwa data mereka berharga, dan negara tidak cukup cepat membangun pagar hukum.
Karena pada akhirnya, bukan AS yang paling ingin tahu soal data Anda. Justru korporasi digital, iklan daring, dan algoritma psikografis-lah yang lebih lapar. Dan mereka tidak menunggu perjanjian untuk bertindak.
Jadi sebelum menuding Prabowo kalah telak, pastikan dulu Anda tidak kalah telak dalam memahami terms and conditions, syarat dan ketentuan yang mereka terapkan atas data Anda.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 28/7/2025