Catatan Cak AT
Pernahkah Anda menyantap makanan olahan seperti sosis sambil memandangi langit sore, merasa hidup ini indah dan penuh kemudahan? Makanan tinggal goreng. Tidak ada tulang, tidak ada amis, bahkan tidak ada bentuk hewan aslinya.
Betapa mudah hidup ini, pikir Anda. Daging telah ditumbuk, dibumbui, dipadatkan, diawetkan, dan dijadikan silinder kecil yang praktis dan memikat selera. Rasanya? Gurih. Aromanya? Menggoda. Efeknya? Nah, di situlah letak tragedi dimulai.
Di dunia modern, makanan tak lagi sekadar sumber hidup, tapi justru rute tercepat menuju penyakit kronis. Dan ini bukan sekadar kata nenek bijak atau slogan influencer organik. Ini hasil studi terbaru yang terbit di _Nature Medicine_, dikupas secara gamblang oleh _EatingWell._
Intinya: makanan olahan itu seperti utang kartu kredit —nikmat di awal, menyiksa di akhir.
Mari bayangkan: hasil studi menunjukkan, hanya dengan makan dua sampai tiga sosis sarapan setiap hari, risiko Anda terkena diabetes tipe 2 naik 30%. Tiga sosis! Itu bahkan belum cukup untuk memuaskan anak SMA yang baru pulang futsal.
Tapi dampak dari makanan olahan itu begitu luar biasa, seperti minum sirup glukosa sambil berjoget di atas pankreas sendiri. Lucunya, kita semua tahu soda itu buruk. Bahkan produsen soda pun tahu — makanya mereka sekarang jualan versi “nol kalori” sambil tetap memamerkan kata “refreshing” dengan penuh percaya diri.
Tapi studi ini menyampaikan kejutan: bahaya soda yang sudah luar biasa itu pun masih kalah mematikan dibandingkan makanan olahan seperti sosis. Ternyata yang selama ini kita kira monster (soda), hanyalah _sidekick_. Monster utamanya? Ya itu: makanan yang “diproses”.
Saya tidak yakin siapa yang pertama mencetus istilah _“processed food”_ . Tapi, yang jelas, orang itu punya selera humor yang gelap. Karena pada kenyataannya, kitalah yang justru diproses: pankreas diproses sampai lelah, jantung diproses sampai nyeri, usus diproses sampai tumbuh tumor.
Makanan olahan — dari nugget ayam hingga ham kalkun, dari dendeng sapi instan hingga pizza beku yang bisa bertahan dua tahun tanpa kulkas — adalah bukti betapa umat manusia mampu menciptakan sesuatu yang tampak seperti makanan, tapi bekerja seperti racun bertahap. Dan tetap saja, laris manis.
Mengapa orang suka dan mau bayar beli penyakit? Karena praktis. Karena enak. Karena tak ribet. Karena di iklan disebut “disukai anak-anak”. Dan karena kita sudah terlalu lelah untuk mencuci sayur atau mengukus tempe. Lagipula, mana sempat kita mikir kesehatan kalau sedang rebutan _flash sale_ jam dua pagi?
Nah, justru karena itu, studi ini penting untuk dibahas. Penelitian ini diprakarsai oleh tim dari _Institute for Health Metrics and Evaluation,_ dipimpin oleh Dr. Demewoz Haile Woldegebreal bersama rekan-rekannya — Kassandra Harding, Susan McLaughlin, Charlie Ashbaugh, Vanessa Garcia, Nora Gilbertson, dan Michael Brauer. Lalu hasilnya diterbitkan di _Nature Medicine_ pada 30 Juni 2025.
Dengan data dari lebih dari 60 studi besar mencakup jutaan peserta, mereka menggunakan metode _Burden of Proof meta-regression_ yang canggih untuk menghitung hubungan antara konsumsi daging olahan, minuman manis, dan _trans fat_ dengan risiko penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung iskemik, dan kanker kolorektal.
Apa yang membuat penelitian ini layak diberi _standing ovation_ — selain karena keberaniannya menantang sosis — adalah pendekatan ilmiahnya yang jeli dan menyeluruh. Mereka tidak sekadar membaca ulang riset lama, tapi menyusun ulang peta risikonya dengan cara yang bisa diukur secara konkret.
Yang mereka teliti ini bukan lagi soal “mungkin berbahaya”, tapi soal “berapa persen kemungkinan Anda sakit kalau makan satu porsi sosis per hari.” Dan, dengan segala kerendahan hati, hasilnya menggentarkan. Sungguh mengertikan.
Misalnya, hanya dengan minum segelas soda (sekitar 240 ml) setiap hari, risiko Anda terkena diabetes naik 20%, dan risiko penyakit jantung bertambah 7%. Itu baru satu gelas — bukan pesta ulang tahun dengan _refill_ tak terbatas.
Dan jangan lupakan _trans fat,_ makhluk halus yang sering menyamar dalam biskuit kalengan dan donat warung. Mengonsumsi hanya 1% dari total kalori harian dari _trans fat_ sudah cukup untuk meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 11%. Persentasenya kecil, tapi efeknya? Langsung mengantarkan Anda ke IGD, tanpa antre BPJS.
Mari jujur sebentar. Apakah semua ini benar-benar baru bagi kita? Tidak juga. Kita semua pernah dengar bahwa makanan instan itu buruk. Tapi mendengar bahwa bahkan sedikit saja dari makanan olahan itu bisa memicu penyakit berat — itulah bagian yang menampar. Seperti tahu pasangan Anda selingkuh bukan saat mereka menghilang seminggu, tapi saat mereka mendadak perhatian.
Studi ini memang berbasis observasi — bukan eksperimen laboratorium yang mengurung relawan dan menyuapi mereka nugget selama lima tahun. Tapi tetap, datanya padat dan valid.
Semakin sering Anda makan makanan olahan, semakin besar kemungkinan tubuh Anda menjadi ladang subur bagi penyakit metabolik. Satu piring mungkin tidak membunuh, tapi konsistensi “praktis” adalah tiket pelan-pelan menuju instalasi penyakit dalam.
Yang lebih ironis, kita membesarkan generasi anak-anak dengan sosis dan keju leleh, lalu bingung mengapa mereka enggan makan sayur. Kita menyodorkan mereka minuman manis bergambar hewan lucu, lalu bertanya kenapa berat badan mereka naik tiap semester.
Kita mungkin sempat menyalahkan genetika, padahal yang kita wariskan bukan gen, tapi pola makan impulsif yang penuh bungkus plastik.
Tentu saja, tidak semua makanan olahan harus dibakar di alun-alun. Kita hidup di dunia nyata. Kadang kita memang butuh praktis. Tapi studi ini memberi kita alasan sah untuk mulai berpikir ulang. Tidak semua kenyamanan layak dipertahankan, jika artinya kita menyerahkan tubuh pada logika industri alih-alih logika kehidupan.
Jadi mari kita pelan-pelan: kurangi sosis, tinggalkan soda, kembali lirik dapur, bukan kotak _freezer._ Masak sesuatu yang bisa disebut makanan sungguhan. Mungkin tak secepat mie instan, tapi bisa memberi umur yang lebih panjang dan pikiran yang lebih waras.
Karena pada akhirnya, kita adalah apa yang kita makan. Dan tak ada satu pun dari kita yang ingin dikenang sebagai “produk gagal dari pabrik nugget.”
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 26/7/2025
Sumber:
– Manaker, Lauren. “Think Soda’s Bad for Diabetes Risk? Processed Meat May Be Even Worse, New Study Says.” EatingWell, Juli 2025.
– Studi diterbitkan di Nature Medicine, 30 Juni 2025.
– https://www.healthdata.org/news-release/processed-meat-sugary-drinks-trans-fats-linked-chronic-disease
– https://www.nature.com/articles/s41591-025-03775-8
– https://people.com/there-s-no-safe-amount-of-hot-dogs-to-eat-new-study-finds-11766439