banner 728x250

Kesepakatan Dagang Baru RI-AS: Data Pribadi, Investasi Jumbo, dan Peluang Ekspor

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto

ABNnews – Negosiasi panjang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait kebijakan tarif dagang bilateral akhirnya membuahkan hasil.

Melalui Joint Statement yang dirilis pada 22 Juli 2025, Indonesia secara resmi mendapatkan penurunan tarif impor dari AS, dari 32% menjadi 19%.

Penurunan tarif ini menandai pencapaian penting dalam upaya menjaga daya saing ekspor Indonesia, khususnya di tengah tren proteksionisme global.

Meski penurunan tarif yang diperoleh Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara lain, pencapaian ini tetap menjadi langkah maju dalam memperkuat hubungan dagang strategis kedua negara.

AS tercatat sebagai mitra dagang utama Indonesia dengan pangsa ekspor mencapai 11,22% pada 2024. Selain itu, AS juga merupakan salah satu negara asal Penanaman Modal Asing (PMA) terbesar, dengan nilai investasi sebesar USD 3,7 miliar pada tahun yang sama.

“Joint Statement ini mencerminkan komitmen politik kedua negara dan akan menjadi fondasi bagi perjanjian perdagangan yang lebih komprehensif ke depan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pada Kamis (24/07).

Tarif Ekspor Berpeluang Turun Hingga Nol Persen

Pembahasan teknis lanjutan akan difokuskan pada daftar produk ekspor Indonesia yang akan mendapat tarif preferensial, bahkan berpotensi turun hingga mendekati 0%. Produk-produk tersebut meliputi kelapa sawit, kopi, kakao, komoditas agro dan mineral, komponen pesawat terbang, serta produk industri dari kawasan tertentu.

Dalam aspek digital, kesepakatan ini juga mengatur tata kelola pemindahan data pribadi lintas negara. Indonesia dan AS menyepakati pentingnya protokol cross-border data flow yang mengutamakan keamanan dan ketaatan pada regulasi domestik, khususnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

“Kesepakatan ini akan menjadi dasar legal bagi perlindungan data warga negara Indonesia yang menggunakan layanan digital berbasis AS,” ujar Airlangga.

Saat ini, terdapat setidaknya 12 perusahaan asal AS yang telah membangun dan mengoperasikan pusat data (data center) di Indonesia, termasuk Microsoft, Amazon Web Services (AWS), Google, Equinix, EdgeConneX, dan Oracle.

Fasilitasi Terbatas untuk Produk AS dan Pengakuan Sertifikasi FDA

Indonesia juga memberikan fasilitas terbatas berupa relaksasi TKDN untuk produk AS tertentu seperti Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), data center, dan alat kesehatan, dengan tetap mengacu pada mekanisme pengawasan lintas kementerian dan lembaga teknis.

Selain itu, Indonesia membuka kembali pengakuan terhadap sertifikat FDA untuk alat kesehatan, sebagaimana pernah diterapkan pada vaksin Covid-19.

Kerja Sama Industri Mineral Kritis dan Infrastruktur Strategis

Sektor mineral kritis menjadi salah satu poin penting kerja sama. Pemerintah menegaskan bahwa hanya produk hasil industri yang dapat diekspor, bukan dalam bentuk bahan mentah (ore). Untuk mendukung pembiayaan proyek strategis ini, perusahaan Indonesia, Danantara, bekerja sama dengan lembaga pembiayaan AS, Development Finance Corporation (DFC).

Pemerintah juga menekankan bahwa impor pangan hanya mencakup komoditas yang tidak diproduksi di dalam negeri, seperti gandum, kedelai, dan kapas. Kebijakan perizinan dan pengaturan melalui Neraca Komoditas akan terus digunakan untuk mengendalikan mekanisme pasokan dan permintaan nasional.

Proyek Investasi Jumbo dari AS: Dari CCS hingga AI dan CT Scanner

AS menyampaikan komitmen investasi strategis di Indonesia, antara lain:
* Pembangunan fasilitas Carbon Capture Storage (CCS) senilai USD 10 miliar oleh ExxonMobil

* Pusat data di Batam senilai USD 6,5 miliar oleh Oracle

* Infrastruktur cloud dan AI senilai USD 1,7 miliar oleh Microsoft

* Pengembangan AI dan layanan cloud senilai USD 5 miliar oleh Amazon

* Fasilitas produksi CT scanner pertama di Indonesia senilai Rp 178 miliar oleh GE Healthcare


Momentum Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja

Pemerintah berharap, kesepakatan dagang ini akan mendorong daya saing industri, memperkuat kapabilitas riset dan inovasi, mendukung perkembangan ekonomi digital, serta menciptakan ekosistem logistik yang lebih efisien.

“Jika tarif tetap 32%, itu artinya tidak ada perdagangan. Dampaknya bisa seperti embargo dagang, dan bisa mengancam satu juta pekerja di sektor padat karya,” tegas Airlangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *